Kidung Banyu Moto Bagaskoro
Banyu moto bagaskoro
Tumibo ing sukmo
Dados penguripan abune howo
Wegah ditinggalno
Ing pekoyone dunyo
Nek repan sedo
Opo mung urip iku sawang sinawang
Ndelok omah-omah apik
Kejobo moto
Mergo aweh-aweh marang tonggo
Weh, angger poma
Manut ing Sang Hyang Wenang
Nek uripmu pengin tenang
Barokah tumerep ing kayang
Brebes, 8 Juli 2025
Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Kidung Banyu Moto Bagaskoro" karya Kang Thohir merupakan bentuk perenungan mendalam tentang kehidupan, kematian, dan makna sejati dari kebahagiaan. Ditulis dengan bahasa Jawa yang penuh simbolisme dan spiritualitas, puisi ini memancarkan aura kebijaksanaan khas tradisi lokal. Meskipun puisi ini pendek, kedalamannya melampaui panjang bait-baitnya.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kehidupan dan kebijaksanaan spiritual. Puisi ini berbicara tentang keterikatan manusia pada dunia, pencarian makna hidup, serta anjuran untuk pasrah dan berserah diri kepada Tuhan agar memperoleh ketenangan dan keberkahan. Ada pula tema-tema pendukung seperti kesadaran sosial, pengaruh materi terhadap pandangan hidup, dan ketakutan akan kematian.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merenungkan hakikat hidup dan kematian, serta dilema manusia dalam menghadapi kenyataan dunia yang penuh godaan. Dalam bait pertama, air mata (banyu moto) dari sang “bagaskoro” (matahari) menjadi simbol kesedihan atau penderitaan yang meresap ke dalam jiwa manusia (tumibo ing sukmo). Air mata itu menjadi bagian dari napas kehidupan, menunjukkan bahwa derita atau duka adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia.
Dalam kelanjutannya, tokoh dalam puisi merasa berat untuk meninggalkan dunia, menunjukkan keterikatan emosional dan materiil terhadap kehidupan fana. Namun, penyair juga menggugat pandangan umum bahwa hidup adalah tentang siapa yang memiliki lebih banyak, siapa yang tinggal di rumah yang lebih indah. Penutup puisi menawarkan solusi spiritual: pasrah kepada Sang Hyang Wenang (Tuhan), karena hanya dengan mengikuti kehendak-Nya, hidup bisa menjadi tenang dan penuh barokah.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini mengajak pembaca untuk:
- Tidak terjebak pada ilusi dunia yang terlihat indah dari luar, tapi belum tentu membawa kedamaian batin.
- Mengikis rasa iri atau minder terhadap orang lain yang tampak lebih mapan atau beruntung, karena semuanya bisa jadi hanya “sawang sinawang” — tampak indah, tapi belum tentu bahagia.
- Menemukan ketenangan sejati melalui spiritualitas, bukan melalui materi.
- Menerima kenyataan hidup, termasuk penderitaan, sebagai bagian dari perjalanan menuju kebijaksanaan dan pemahaman sejati tentang makna eksistensi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini cenderung kontemplatif dan hening, seperti seseorang yang duduk sendiri sambil memandangi kehidupan dari kejauhan. Ada kegetiran yang lembut, namun bukan putus asa — melainkan semacam kesadaran tenang bahwa semua hal duniawi bersifat fana. Suasana tersebut diperkuat oleh penggunaan diksi khas spiritual Jawa yang membuat pembaca merasa seperti diajak bertapa dalam jiwa sendiri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Beberapa amanat yang bisa ditarik dari puisi ini adalah:
- Jangan terlalu mencintai dunia, karena kehidupan ini sementara dan bisa berakhir kapan saja.
- Hindari rasa iri atau silau terhadap kehidupan orang lain, karena yang tampak di luar belum tentu cerminan kebahagiaan sejati.
- Utamakan hidup yang tenang dan berkah, yang bisa dicapai melalui kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan.
- Berbuat baik kepada sesama, karena keberkahan bisa datang dari tindakan sosial yang sederhana seperti memberi kepada tetangga.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini memunculkan sejumlah imaji kuat, seperti:
- "Banyu moto bagaskoro" (air mata matahari): Menggambarkan kesedihan yang luas dan dalam, seolah langit pun ikut menangis.
- "Tumibo ing sukmo" (jatuh ke dalam jiwa): Menyiratkan bahwa kesedihan itu bukan sekadar emosi sesaat, tetapi sesuatu yang meresap sampai ke inti eksistensi.
- "Ndelok omah-omah apik" (melihat rumah-rumah bagus): Imaji sosial yang menunjukkan perbandingan kehidupan antarindividu, seringkali memicu kecemburuan.
- "Mergo aweh-aweh marang tonggo" (karena suka memberi kepada tetangga): Menggambarkan bahwa keberlimpahan bisa jadi hasil dari perbuatan baik, bukan sekadar keberuntungan.
Majas dalam Puisi
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “Banyu moto bagaskoro” (air mata matahari) — memberi sifat manusiawi (menangis) pada matahari.
- Metafora: “Dados penguripan abune howo” (menjadi kehidupan dari napas nafsu) — menggambarkan bahwa kesedihan bisa menjadi bahan bakar kehidupan jika disikapi secara spiritual.
- Antitesis: “Opo mung urip iku sawang sinawang” (apakah hidup hanya tentang saling memandang/membandingkan?) — menyoroti pertentangan antara tampilan luar dan kenyataan batin.
Puisi "Kidung Banyu Moto Bagaskoro" adalah puisi yang sederhana dalam bentuk, tetapi kaya dalam makna. Karya Kang Thohir ini mengajak pembaca untuk memikirkan ulang arah hidupnya, mempertanyakan hal-hal yang sering dianggap penting, dan membuka hati pada kemungkinan bahwa kedamaian sejati hanya akan hadir ketika manusia berserah kepada Tuhan dan berbagi kepada sesama. Dalam balutan budaya Jawa yang lembut dan filosofis, puisi ini menjadi kidung renungan yang menyentuh.
Karya: Kang Thohir
Biodata Kang Thohir:
- Kang Thohir, merupakan nama pena dari Muhammad Thohir/Tahir (biasa disapa Mas Tair), lahir di Brebes, Jawa Tengah.
- Kang Thohir suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD sampai masuk ke Pondok Pesantren. Ia menulis puisi, cerpen dan lain sebagainya.