Kidung Kundolini
Mripite sang bayu
Mlebu ing rogo
Ngileng lintang ora ono
Howo wis sayu
Nek woyo udan ing wayah wengi
Jagate wis sejen
Ketiban pepaise dunyo ing akhire jaman
Rojo amurko
Saking durjono
Ngilmu sirep amukti mlebu kawulan
Deneng lumrahe ing angkoro murko
Jagat royo wis loyo lan tuwo
Bronjol elek sayekti abune duso
Tumerep aweh-aweh kahanan menungso
Alih-alih dados wong sekti
Meneng anteng tur semedi
Eben sukmo agung mareki
Koyo aji luhur noto ing kalbu
Tur mbuka aji cokro ajno lan kundolini
Saking Sang Hyang Widi
Brebes, 3 Juli 2025
Analisis Puisi:
Puisi "Kidung Kundolini" karya Kang Thohir adalah sebuah karya sastra yang tidak hanya menyentuh aspek estetika bahasa, tetapi juga membawa pembaca pada dimensi spiritual dan filosofis yang mendalam. Puisi ini menggunakan bahasa Jawa sebagai medium untuk mengungkapkan gagasan tentang kejatuhan moral dunia, pencarian kesadaran batin, serta proses spiritual untuk menyatu dengan yang Ilahi. Dalam setiap baitnya, "Kidung Kundolini" menyuarakan pergolakan zaman dan perjalanan jiwa menuju pencerahan.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kemerosotan moral dunia dan kebangkitan kesadaran spiritual. "Kidung Kundolini" menggambarkan dunia yang telah berubah drastis dan dikuasai oleh kekacauan (angkoro murko), namun juga menyelipkan harapan melalui praktik semedi dan pembukaan energi batin (kundalini) sebagai jalan menuju kedamaian dan persatuan dengan Sang Hyang Widi (Tuhan).
Makna Tersirat
Di balik bait-baitnya yang penuh simbol, puisi ini menyampaikan makna tersirat tentang kegelisahan zaman dan harapan akan pencerahan rohani. Misalnya:
- "Mripite sang bayu / Mlebu ing rogo" menggambarkan roh atau napas semesta yang masuk ke tubuh, memberi isyarat bahwa alam dan manusia saling terhubung secara spiritual.
- "Jagate wis sejen / Ketiban pepaise dunyo ing akhire jaman" menandakan bahwa dunia telah berubah secara drastis, diliputi gemerlap palsu duniawi dan kekacauan moral menjelang akhir zaman.
Namun dalam kondisi dunia yang “loyo lan tuwo” (tua dan melemah), muncul anjuran untuk kembali menyendiri, bermeditasi, dan membuka kesadaran batin:
- "Meneng anteng tur semedi / Eben sukmo agung mareki"—diam, tenang, dan bertapa menjadi jalan untuk menyentuh jiwa agung.
- "Mbuka aji cokro ajno lan kundolini"—mengaktifkan pusat energi spiritual (chakra) untuk mencapai kesadaran lebih tinggi, yang akan mengantarkan manusia kepada kebijaksanaan luhur dan pencerahan dari Sang Pencipta.
Puisi ini bercerita tentang kehancuran nilai-nilai dunia akibat kerakusan dan kejahatan manusia, yang kemudian diimbangi dengan seruan untuk menempuh jalan spiritual. Dalam puisi ini, digambarkan dunia yang dipenuhi penderitaan karena ulah manusia sendiri—seperti digambarkan dalam kata "Rojo amurko / Saking durjono". Namun, alih-alih terjebak dalam kerusakan itu, si penyair menyarankan pengembaraan ke dalam diri, menuju keheningan dan kesadaran jiwa melalui pertapaan, semedi, dan pembukaan cakra kundalini.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah suram, reflektif, dan mistis. Ada nuansa kesedihan dan kekhawatiran terhadap kondisi dunia, namun juga ada semangat harapan dalam diam dan kesadaran. Keheningan batin menjadi pusat dari suasana puisi, yang mendesak manusia untuk berhenti mengejar gemerlap dunia dan kembali pada nilai-nilai luhur spiritualitas Jawa.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama puisi ini adalah bahwa di tengah dunia yang rusak oleh angkara murka, hanya dengan kesadaran spiritual dan pengembalian jiwa kepada Sang Pencipta-lah manusia dapat menemukan keselamatan dan kedamaian. Puisi ini mengajak pembaca untuk menjauh dari kerusakan duniawi dan kembali kepada keheningan batin melalui meditasi, semedi, dan pembukaan energi kundalini—yang akan menuntun manusia pada kebijaksanaan dan penyatuan dengan Tuhan (Sang Hyang Widi).
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji spiritual dan kosmis, di antaranya:
- “Mripite sang bayu / Mlebu ing rogo” – gambaran visual dan spiritual tentang napas atau kekuatan alam yang menyatu dengan tubuh.
- “Ngileng lintang ora ono / Howo wis sayu” – membayangkan langit kosong dan hawa yang lesu, menciptakan suasana senyap dan kosong dari cahaya moral.
- “Bronjol elek sayekti abune duso” – gambaran kekacauan dunia yang dipenuhi oleh debu dosa, menggambarkan kehancuran etika manusia.
Majas
Puisi ini kaya akan majas simbolik dan metaforis, antara lain:
Metafora:
- “Jagate wis sejen” – dunia tidak lagi sama, menjadi simbol dari perubahan nilai dan moral yang merosot.
- “Mbuka aji cokro ajno lan kundolini” – membuka pusat energi batin, sebagai metafora pencerahan spiritual.
Simbolisme:
- “Kundolini” sendiri adalah simbol dari kekuatan spiritual yang tersembunyi di dalam tubuh manusia, yang bisa diaktifkan melalui laku batin.
- “Meneng anteng tur semedi” – simbol dari praktik spiritual yang mendalam, menjadi jalan menuju kebijaksanaan.
Personifikasi:
- “Jagat royo wis loyo lan tuwo” – dunia digambarkan seperti makhluk hidup yang sudah lemah dan tua.
Puisi "Kidung Kundolini" adalah puisi yang menggabungkan nilai-nilai spiritualitas Jawa, perenungan zaman, dan laku batin dalam balutan kidung penuh simbolisme. Kang Thohir dengan indah menyuarakan keresahan zaman modern yang diwarnai kemerosotan nilai dan menggambarkan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah kembali ke dalam diri, menyatu dengan semesta, dan menggapai Sang Hyang Widi melalui pencerahan batin.
Puisi ini bukan hanya sekadar bentuk ekspresi estetik, tapi juga seruan jiwa—bahwa ketika dunia menjadi bising dan penuh kepalsuan, hanya dalam hening dan semedi kita dapat menemukan kebijaksanaan yang sejati. Melalui Kundolini, pembaca diajak menapaki jalan spiritual yang dalam, untuk kembali menjadi manusia yang sejati dalam keharmonisan dengan semesta dan Sang Pencipta.
Karya: Kang Thohir
Biodata Kang Thohir:
- Kang Thohir, merupakan nama pena dari Muhammad Thohir/Tahir (biasa disapa Mas Tair), lahir di Brebes, Jawa Tengah.
- Kang Thohir suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD sampai masuk ke Pondok Pesantren. Ia menulis puisi, cerpen dan lain sebagainya.