Kidung Royo-Royo
Dunyo iki wis suram
Ndak ono asmoroni sejati
Atos neng sakjerone ati
Jagat ugah royo-royo
Bekti luhur Sang Moho Pangripto
Nyukuri sakonone
Akehi mawas diri ing kalbu
Ing sakjerone rogo
Ojo iri meri marang tonggo
Urip bakal ayem lan ora ciloko
Nek urip asmoro marang datur Kang Kuoso
Sing nduweni dunyo
Eling lan pengeling marang sedulur seksomo
Ati padang koyo lintang lan wulan
Ugo koyo srengenge
Manfaatke marang makhluk sekabehane
Urip barokah
Seneng atine
Ayem pikirane
Yahwiji tur dzat Kang Agung
mugio ngeridhoni
Brebes, 8 Juli 2025
Analisis Puisi:
Dalam khazanah sastra Jawa modern, banyak puisi yang tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi estetika, tetapi juga sarana spiritual, moral, dan filosofis. Salah satunya adalah “Kidung Royo-Royo” karya Kang Thohir, yang menawarkan renungan mendalam tentang kehidupan, keikhlasan, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Disusun dalam gaya kidung yang lekat dengan tradisi Jawa, puisi ini menjadi wahana etika dan spiritualitas dalam bahasa yang sederhana namun sarat makna.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kehidupan spiritual yang damai dan penuh berkah melalui sikap ikhlas, syukur, dan penghambaan kepada Tuhan. Karya ini juga mengusung nilai-nilai kebijaksanaan Jawa, seperti hidup selaras dengan sesama, menjauhkan diri dari iri dengki, serta menjaga kejernihan hati dan pikiran.
Puisi ini bercerita tentang kondisi dunia yang dianggap semakin suram, penuh kepalsuan dan kehilangan cinta sejati. Namun di tengah kegelapan itu, penyair mengajak manusia untuk tetap bersandar pada nilai-nilai luhur — bersyukur kepada Tuhan, menjaga hati dari iri dan dengki, serta mengutamakan cahaya batin yang bermanfaat bagi sesama.
Setiap larik dalam puisi ini seperti membentuk sebuah nasihat hidup, seolah-olah seorang guru atau sesepuh sedang membimbing anak-anak zaman agar tidak larut dalam gelapnya dunia yang dipenuhi kemunafikan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam “Kidung Royo-Royo” adalah pentingnya mengembalikan orientasi hidup kepada nilai-nilai spiritual dan moral yang mendalam, bukan semata-mata pada kemewahan duniawi atau nafsu pribadi. Dunia mungkin tampak gelap (“dunyo iki wis suram”), tetapi cahaya bisa ditemukan dalam hati yang jernih, pikiran yang damai, dan rasa syukur kepada Tuhan.
Puisi ini juga menyampaikan bahwa cahaya sejati bukan berasal dari luar, tetapi dari dalam hati, yang bersih dari kebencian dan diisi oleh cinta kasih terhadap sesama serta penghambaan kepada Yang Mahakuasa.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini cenderung hening, bijak, dan reflektif. Ada nada keprihatinan terhadap kondisi zaman, tetapi juga ada harapan besar yang terletak pada kesadaran batin dan kesetiaan kepada Tuhan. Penyair mengajak pembaca untuk mengambil jarak dari hiruk pikuk dunia dan masuk ke ruang kontemplasi yang damai.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini sangat jelas, yakni:
- Jangan terjebak pada kebencian dan iri hati, karena hal itu akan mencelakakan diri sendiri.
- Syukuri hidup seadanya, karena dengan menerima takdir dan berterima kasih atas kehidupan, seseorang akan mendapatkan ketenangan.
- Eling marang Gusti (ingat kepada Tuhan) adalah kunci kebahagiaan sejati.
- Bersinarlah bagi orang lain, seperti bintang, bulan, atau matahari, yang memberi manfaat bagi semesta.
Imaji
Puisi ini menggunakan imaji cahaya untuk menggambarkan kondisi batin ideal:
“Ati padang koyo lintang lan wulan / Ugo koyo srengenge”
→ Ini membangun imaji terang yang kuat, seakan hati manusia bisa menyinari dunia seperti benda-benda langit jika ia terhubung dengan Sang Pencipta.
Ada juga imaji dunia yang gelap dan kacau, terlihat dari:
“Dunyo iki wis suram”
→ Dunia digambarkan redup, tidak lagi memancarkan keindahan atau cinta yang sejati, menandakan zaman yang telah kehilangan nilai-nilai luhur.
Majas
Puisi ini mengandung beberapa majas penting yang memperkuat efek maknanya:
Metafora:
- “Ati padang koyo lintang lan wulan” → Hati manusia disamakan dengan cahaya bintang dan bulan, sebagai simbol kejernihan dan manfaat.
- “Urip barokah / Seneng atine / Ayem pikirane” → Kehidupan yang diberkahi diidentikkan dengan kedamaian pikiran dan kebahagiaan batin, suatu bentuk metafora spiritual.
Hiperbola:
- “Ndak ono asmoroni sejati” → Pernyataan bahwa cinta sejati sudah tiada di dunia bisa dianggap sebagai bentuk hiperbola untuk menekankan kekosongan nilai.
Anaphora dan repetisi:
- Pengulangan frasa seperti “Ati padang…” atau “Urip…” memberikan irama dan kekuatan retoris khas puisi nasihat.
Puisi “Kidung Royo-Royo” karya Kang Thohir adalah cermin dari kekayaan spiritual dan budaya masyarakat Jawa. Ia bukan hanya sebuah puisi, melainkan kidung kehidupan yang mengajak pembacanya untuk merenung, menyucikan hati, dan kembali kepada nilai-nilai ilahiah. Di tengah zaman yang dikatakan “suram”, Kang Thohir justru menghadirkan terang — bukan dengan sorotan duniawi, tetapi melalui hati yang “padang”, bening, dan penuh cinta.
Dengan tema spiritualitas dan moralitas, makna tersirat yang dalam, serta penggunaan imaji cahaya dan majas metaforis, puisi ini menjadi penuntun sunyi di tengah hiruk-pikuk dunia yang riuh. Seperti kidung-kidung leluhur, ia bukan untuk diteriakkan, tetapi untuk direnungi — sebagai suara hati yang merindukan cahaya Yang Mahasuci.
Karya: Kang Thohir
Biodata Kang Thohir:
- Kang Thohir, merupakan nama pena dari Muhammad Thohir/Tahir (biasa disapa Mas Tair), lahir di Brebes, Jawa Tengah.
- Kang Thohir suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD sampai masuk ke Pondok Pesantren. Ia menulis puisi, cerpen dan lain sebagainya.