Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kidung Sumerep (Karya Kang Thohir)

Puisi "Kidung Sumerep" karya Kang Thohir bercerita tentang kesadaran penyair dalam kondisi “sirep” atau tertidur, namun dalam tidur itu justru ...

Kidung Sumerep


Sirep ngimpi ingsun
Naliko jagat wus sumerep
Abune wong serakah lan ciloko

Aji aji mung kedok rupo
Tur batur nggo pepaido
Ing dunyo fatamorgono
Dados ngadohi larangane Sang Hyang Wenang
Ora wedi marang sang Hyang Widi

Brebes, 30 Juni 2025

Analisis Puisi:

Puisi "Kidung Sumerep" karya Kang Thohir merupakan karya sastra yang singkat namun sarat dengan makna. Judul puisi ini sendiri, yang berarti "Nyanyian yang Tertidur", sudah mengandung nuansa kontemplatif dan lirih, seolah mengajak pembaca masuk ke ruang gelap antara kesadaran dan mimpi, antara realitas dan refleksi. Melalui larik-lariknya yang berbahasa Jawa dengan gaya kidung, puisi ini menyampaikan kritik sosial dan perenungan spiritual dengan cara yang halus namun tajam.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah keruntuhan moral manusia dalam masyarakat modern yang dibungkus oleh kemunafikan dan kepalsuan. Puisi ini juga membawa nuansa spiritual dan kritik sosial, menyuarakan keprihatinan atas manusia yang melupakan ajaran ilahi karena terbuai oleh dunia fana.

Puisi ini bercerita tentang kesadaran penyair dalam kondisi “sirep” atau tertidur, namun dalam tidur itu justru terbuka pandangan batinnya terhadap dunia yang sedang diliputi kegelapan. “Jagat wus sumerep” menandakan bahwa dunia telah terang—bukan dalam arti tercerahkan, tetapi terbuka sehingga segala kebusukan dapat terlihat. Penyair menyaksikan "abune wong serakah lan ciloko", yakni sisa kehancuran akibat keserakahan manusia dan penderitaan yang ditimbulkannya.

Makna Tersirat

Secara makna tersirat, puisi ini merupakan refleksi atas zaman yang kehilangan arah moral dan spiritual. Larik "Aji aji mung kedok rupo / Tur batur nggo pepaido" menyiratkan bahwa nilai-nilai luhur hanya dijadikan kedok, bukan prinsip sejati. Nilai atau “aji-aji” dipakai sebatas tampilan luar, hanya sebagai alat untuk menipu orang lain (nggo pepaido). Dunia disamakan dengan “fatamorgana”, gambaran maya yang menipu, yang menuntun manusia menjauh dari Sang Hyang Wenang (Tuhan Penguasa).

Puisi ini menyuarakan kekecewaan dan kegelisahan terhadap manusia yang tidak lagi takut kepada Sang Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Esa). Ini bukan sekadar kritik moral, tetapi juga renungan eksistensial tentang hilangnya hubungan spiritual manusia dengan Tuhannya di tengah gempuran materialisme dan kemunafikan.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkuat kekuatan ekspresifnya:
  • Metafora, misalnya pada “aji aji mung kedok rupo” yang menyamakan nilai atau prinsip dengan topeng wajah, menggambarkan kemunafikan.
  • Personifikasi, pada larik “dunyo fatamorgono”, dunia digambarkan seolah memiliki sifat menipu dan memikat secara aktif.
  • Hiperbola secara implisit muncul pada penyebutan kerusakan dan keberanian manusia yang tidak takut kepada Tuhan, menggambarkan degradasi moral secara ekstrem.

Imaji

Puisi ini membangun imaji spiritual dan sosial yang kuat. Gambaran "abune wong serakah" membangkitkan visual abu kehancuran dan kebinasaan. Imaji dunia sebagai fatamorgana menimbulkan kesan panas, kosong, dan menyesatkan. Secara keseluruhan, imaji dalam puisi ini lebih condong ke arah visual dan spiritual, membentuk atmosfer kegelisahan dan kesadaran batin.

Puisi "Kidung Sumerep" adalah kidung kontemplatif yang secara halus tapi tajam menyampaikan amanat kepada manusia agar tidak tertipu oleh kemewahan dunia yang semu. Puisi ini mengajak pembaca untuk menyadari bahwa dalam keserakahan dan kepalsuan, manusia telah menjauh dari Tuhan dan nilai-nilai luhur. Lewat penggunaan simbol dan gaya bahasa Jawa yang khas, Kang Thohir berhasil menyampaikan renungan mendalam tentang realitas dunia dan pentingnya kembali kepada kesadaran spiritual.

Dalam dunia yang semakin keras dan penuh tipu daya, puisi "Kidung Sumerep" menjadi pengingat lembut namun menggetarkan: bahwa makna sejati hidup tidak akan pernah lahir dari fatamorgana dunia, tetapi dari ketulusan kembali pada Sang Hyang Widi.

Kang Thohir
Puisi: Kidung Sumerep
Karya: Kang Thohir

Biodata Kang Thohir:
  • Kang Thohir, merupakan nama pena dari Muhammad Thohir/Tahir (biasa disapa Mas Tair), lahir di Brebes, Jawa Tengah.
  • Kang Thohir suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD sampai masuk ke Pondok Pesantren. Ia menulis puisi, cerpen dan lain sebagainya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.