Kidung Suroso
Ono ngaji suroso
Akhlake kudu tombo
Utawi ngaji supi
Nanging mboten ngrumati
Saking panggonan dewek
Menungso dehi akal
Nggo mikir lan ngadohi kang mboten angsal
Ngaji toto ing kalbu
Nek ngawaruhi dohir lan batin
Ojo ngularani
Sekabehane ati
Nek uripe yahwiji ing Manunggaling Kawulo Gusti
Kanthi pituture kang sejati
Brebes, 8 Juli 2025
Analisis Puisi:
Puisi "Kidung Suroso" karya Kang Thohir adalah puisi bernapas sufistik yang kental dengan nuansa etika dan spiritualitas Jawa. Seperti namanya, kidung ini tak sekadar lantunan kata, tetapi merupakan doa dalam bentuk sastra, yang mengalir dari renungan batin mendalam akan pentingnya hidup dengan adab dan hati yang jernih. Puisi ini tidak menghentak atau menggurui, melainkan mengajak pembaca merenung secara halus tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap dalam kehidupan pribadi dan spiritual.
Tema
Puisi ini mengangkat tema etika spiritual dalam laku kehidupan, khususnya dalam konteks keislaman Jawa yang sarat dengan pendekatan tasawuf (sufisme). Ada penekanan kuat pada hubungan antara ilmu, adab, dan pemahaman batin sebagai jalan menuju Manunggaling Kawula Gusti — kesatuan hamba dengan Tuhan, sebuah konsep utama dalam kosmologi Jawa-Islam.
Puisi ini bercerita tentang nasihat kehidupan bagi orang yang belajar agama atau ilmu hikmah, khususnya mengaji atau mendalami pengetahuan keislaman. Namun puisi ini memperingatkan bahwa ilmu saja tidak cukup tanpa akhlak. Penyair menyindir orang yang belajar ilmu sufi (suphi) namun tidak mempraktikkan kesucian hati, atau bahkan tidak menjaga hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya (“saking panggonan dewek”).
Puisi ini juga mengingatkan bahwa manusia dibekali akal agar bisa membedakan antara yang boleh dan tidak, serta agar menggunakan ilmu itu untuk membersihkan hati, bukan menyakiti orang lain.
Makna Tersirat
Di balik larik-lariknya yang sederhana, puisi ini menyimpan sejumlah makna tersirat yang dalam:
- Ilmu tanpa akhlak adalah sia-sia. Belajar agama (ngaji) hanya akan menjadi formalitas jika tidak dibarengi dengan perubahan sikap dan hati.
- Tasawuf atau ilmu batin bukan untuk pamer, melainkan untuk menyucikan diri.
- Kesucian batin adalah jalan sejati menuju Tuhan, bukan sekadar ritual lahiriah.
- Pencerahan sejati datang dari dalam hati, bukan dari gelar, pengetahuan luar, atau kebiasaan formal keagamaan.
- Menjadi hamba yang utuh berarti menyatu dengan Tuhan secara batiniah, dalam keheningan, kerendahan hati, dan cinta kasih terhadap sesama.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini membangun suasana tenang, kontemplatif, dan penuh kelembutan, seperti percakapan seorang guru bijak kepada muridnya. Tak ada kemarahan atau kecaman keras, melainkan ajakan lembut untuk kembali pada niat murni dalam beragama dan bersikap.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa pesan moral dan spiritual yang dapat diambil dari puisi ini antara lain:
- Jangan hanya mengejar ilmu lahiriah tanpa menyentuh aspek batin.
- Ilmu yang benar harus disertai adab dan akhlak.
- Hati yang bersih lebih penting daripada pengetahuan yang luas.
- Tujuan hidup spiritual adalah menyatu dengan Tuhan melalui kesadaran hati, bukan hanya hafalan atau kebiasaan.
- Jangan menyakiti orang lain atas nama agama atau merasa lebih tahu.
Imaji
Meskipun puisi ini minim deskripsi fisik atau gambaran visual yang mencolok, imaji batinnya sangat kuat, seperti:
- “Ngaji toto ing kalbu” – menggambarkan upaya menyusun dan menata hati seperti taman spiritual.
- “Yahwiji ing Manunggaling Kawulo Gusti” – menciptakan imaji batiniah tentang kesatuan antara manusia dan Tuhan dalam kebeningan yang hening dan damai.
- “Ati” dan “pituture sejati” – memunculkan kesan suara hati yang murni sebagai kompas moral dan spiritual.
Majas
Puisi ini menggunakan sejumlah majas secara halus namun fungsional:
Metafora:
- “Ngaji toto ing kalbu” – bukan berarti belajar di dalam hati secara literal, melainkan menyimbolkan introspeksi dan pendidikan batin.
- “Urip yahwiji” – hidup yang menyatu; tidak secara fisik, melainkan spiritual.
Paradoks:
- Mengaji tapi tidak merawat akhlak — menunjukkan ironi antara pengetahuan dan praktik.
Eufemisme:
- Ungkapan seperti “nglarani ati” dan “pituture sejati” digunakan dengan bahasa yang lembut dan sopan untuk menyampaikan pesan mendalam tanpa menyakiti pembaca.
Puisi "Kidung Suroso" adalah puisi reflektif yang menggambarkan nilai-nilai spiritualitas Jawa yang berpadu dengan etika Islam. Dalam dunia yang kini ramai dengan pencarian identitas dan saling menunjukkan kebenaran, Kang Thohir mengajak kita semua untuk kembali ke inti: hati yang bersih, akhlak yang tulus, dan ilmu yang diamalkan dengan bijak. Ini bukan sekadar kidung atau doa — ini adalah ajakan untuk hidup dengan adab dan kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan.
Dengan puisi ini, pembaca seolah diajak bertapa dalam kata, untuk akhirnya menyadari bahwa kesatuan sejati dengan Tuhan tidak tercapai melalui simbol, tetapi melalui kejujuran hati dan laku hidup sehari-hari.
Karya: Kang Thohir
Biodata Kang Thohir:
- Kang Thohir, merupakan nama pena dari Muhammad Thohir/Tahir (biasa disapa Mas Tair), lahir di Brebes, Jawa Tengah.
- Kang Thohir suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD sampai masuk ke Pondok Pesantren. Ia menulis puisi, cerpen dan lain sebagainya.