Kita Tak Akan Merindukannya
Senja berlalu lagi
Membawa sisa-sisa rindu
Seperti gulungan ombak itu
Yang semakin jauh dan cepat
Mengempas bibir pantai
Menandakan
Kerinduannya pada
Lembutnya pasir pantai
Lebih baik kita menonton mereka
Daripada merasakan kerinduan yang sama
Sebaiknya kita
Biarkan jari-jemari
Menari di atas lembutnya pasir pantai
Lebih baik lagi, kita berteriak di sini
Meneriakkan segala amarah, kekecewaan, dan penyesalan!
Lalu ucapkan selamat tinggal pada mereka
Tenang, kita takkan merindukannya
Seperti ombak merindukan pantai.
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul “Kita Tak Akan Merindukannya” karya Dwiana Putri Setyaningsih merupakan salah satu karya yang termuat dalam buku Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Meski masuk dalam kategori puisi anak, sajiannya yang puitis dan reflektif membuka ruang tafsir yang luas dan mendalam bagi pembacanya dari berbagai kalangan. Puisi ini bukan hanya mengisahkan perasaan sederhana, melainkan mengajak pembaca untuk menyelami dan menyikapi perasaan rindu, kecewa, dan luka batin secara lebih dewasa.
Tema
Puisi “Kita Tak Akan Merindukannya” mengangkat tema tentang perpisahan dan penerimaan. Alih-alih meromantisasi kerinduan atau kehilangan, puisi ini menghadirkan pilihan sikap yang tegas dan tegar: tidak lagi merindukan mereka yang telah pergi atau menyakiti, dan memilih untuk menyembuhkan diri sendiri. Tema ini sangat relevan, bahkan bagi anak-anak yang mungkin mengalami perpisahan, kehilangan, atau perubahan dalam hidupnya — baik kehilangan teman, pindah rumah, atau menghadapi konflik emosi.
Makna Tersirat
Di balik larik-larik sederhana puisi ini, terdapat makna tersirat mengenai keberanian untuk melepaskan dan membebaskan diri dari belenggu perasaan yang menyakitkan. Penulis menyarankan agar kita tidak membiarkan diri terus terjebak dalam kerinduan atau kesedihan yang berulang. “Lebih baik kita menonton mereka / Daripada merasakan kerinduan yang sama” menjadi semacam ajakan untuk berdiri sebagai pengamat, bukan korban dari emosi sendiri. Kerinduan diibaratkan seperti ombak yang selalu kembali ke pantai — suatu siklus yang bisa terus berulang. Namun, manusia memiliki pilihan untuk tidak terjerumus dalam siklus itu.
Puisi ini bercerita tentang bagaimana seseorang (kemungkinan dua tokoh atau sekelompok “kita”) berusaha melepaskan diri dari kerinduan dan luka emosional yang pernah mereka alami. Lewat simbol alam seperti senja, ombak, dan pantai, pembaca diajak melihat bahwa alam pun memiliki siklus rindu dan kembali, namun manusia bisa memilih jalan berbeda: melepaskan, berteriak, mengutarakan rasa kecewa, dan akhirnya mengucapkan perpisahan. Kata “mereka” dalam puisi bisa merujuk kepada siapa pun yang pernah menyakiti, atau kepada kenangan yang menyisakan luka.
Imaji
Dwiana Putri Setyaningsih menyuguhkan imaji visual dan kinestetik yang kuat. Misalnya:
- “Seperti gulungan ombak itu / Yang semakin jauh dan cepat / Mengempas bibir pantai” – memberi gambaran nyata tentang kekuatan dan dinamika emosi, digambarkan lewat pergerakan ombak.
- “Biarkan jari-jemari / Menari di atas lembutnya pasir pantai” – menciptakan sensasi lembut dan damai, sebagai bentuk pelarian dari luka batin.
- “Lebih baik lagi, kita berteriak di sini” – imaji ini menghadirkan perasaan melepaskan beban emosional dengan lantang.
Imaji-imaji tersebut membangun hubungan antara dunia batin tokoh dan elemen alam, memperkuat efek emosional puisi.
Majas
Dalam puisi ini terdapat beberapa majas (gaya bahasa) yang memperkuat makna dan keindahan:
- Personifikasi – “Seperti gulungan ombak itu / Yang semakin jauh dan cepat / Mengempas bibir pantai” menggambarkan ombak seolah memiliki perasaan dan tujuan, yakni “kerinduan” kepada pasir pantai.
- Metafora – “Senja berlalu lagi / Membawa sisa-sisa rindu” menyamakan senja sebagai pembawa rindu, padahal senja adalah fenomena alam yang tidak membawa apa-apa secara harfiah.
- Hiperbola – “Meneriakkan segala amarah, kekecewaan, dan penyesalan!” menunjukkan luapan emosi yang dilebihkan untuk menegaskan betapa dalam luka yang dirasakan.
- Simile – “Seperti ombak merindukan pantai” merupakan perbandingan langsung menggunakan kata “seperti”, yang menjadi penutup kuat dalam puisi ini.
Ketegaran dalam Puisi Anak
Meski puisi ini tergolong sebagai puisi anak, “Kita Tak Akan Merindukannya” memperlihatkan bahwa dunia anak juga dipenuhi oleh perasaan yang dalam dan kompleks. Puisi ini menjadi pengingat bahwa anak-anak pun perlu dikenalkan pada cara menyikapi emosi dengan bijak, bukan hanya diajarkan untuk menyimpan atau melupakan.
Pilihan untuk “tidak merindukan” dalam puisi ini bukan sekadar bentuk pelarian, tetapi adalah sikap berani untuk menetapkan batas bagi diri sendiri. Ketimbang terus-menerus dilanda kenangan menyakitkan, puisi ini menawarkan pilihan untuk menyembuhkan diri melalui kegiatan yang menyenangkan, seperti menari di pasir atau bahkan berteriak sebagai bentuk katarsis.
Puisi “Kita Tak Akan Merindukannya” karya Dwiana Putri Setyaningsih dari buku Surat dari Samudra bukan sekadar menyampaikan kisah rindu dan perpisahan. Ia menawarkan perspektif baru: bahwa melepaskan dan tidak merindukan adalah hak setiap individu. Dengan tema yang kuat, makna tersirat yang reflektif, serta penggunaan imaji dan majas yang indah, puisi ini pantas diapresiasi sebagai karya sastra yang dapat menjangkau hati anak-anak maupun pembaca dewasa.
Karya: Dwiana Putri Setyaningsih
Biodata Dwiana Putri Setyaningsih:
- Dwiana Putri Setyaningsih lahir pada tanggal 6 Maret 2002 di Banjarnegara.