Analisis Puisi:
Puisi "Kwatrin Embun" karya Gunoto Saparie adalah karya pendek namun kaya makna. Tersusun dalam empat baris atau kwatrin, puisi ini menyuguhkan perenungan hening tentang pagi, waktu, dan hasrat manusia. Larik-lariknya sederhana, namun justru di dalam kesederhanaan itulah tersimpan kepekaan puitik terhadap alam dan jiwa.
Tema
Puisi ini mengangkat tema tentang keheningan pagi dan refleksi jiwa. Ada nuansa kontemplatif yang hadir saat subuh menjelang dan embun menggantung di ujung daun. Dalam momen itu, penyair seperti sedang berdialog dengan alam dan dirinya sendiri. Tema lain yang bisa disimpulkan adalah tentang pengendapan hasrat dan keikhlasan melepas keinginan di hadapan kebesaran waktu dan alam.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman pribadi seorang penyair yang menyentuh embun dingin di suatu pagi. Dengan penuh kesadaran, ia menggambarkan waktu subuh yang baru saja menyempurnakan dini hari. Pada saat yang sama, di ufuk atau horison, tampak kabut atau kesamaran yang secara simbolik “mengaburkan segala keinginan”.
Meskipun hanya terdiri dari empat baris, puisi ini memuat narasi batin yang cukup utuh: penyair menyentuh embun, menyadari waktu, dan mengalami perenungan dalam sunyi yang mendalam.
Makna Tersirat
Puisi ini memiliki makna tersirat yang mendalam. Sentuhan terhadap embun bukan hanya peristiwa fisik, melainkan simbol dari kesadaran akan kefanaan dan kesejukan hidup yang sesaat. Embun itu “dingin”, menandakan ketenangan yang bisa jadi menyentuh perasaan batin atau pengalaman spiritual.
Frasa “subuh baru saja melengkapkan dini hari” menyiratkan momen transisi antara gelap menuju terang, antara tidur menuju kesadaran, antara kekacauan batin menuju keheningan spiritual. Di waktu inilah, menurut puisi, horison tampak “sayup”, dan pada titik itu pula “segala keinginan” menjadi samar—seolah-olah keinginan manusia menjadi tidak berarti di hadapan waktu dan alam semesta.
Dengan kata lain, makna tersirat puisi ini menyentuh nilai keikhlasan, ketundukan terhadap waktu, dan kesadaran untuk menahan keinginan dalam kesunyian pagi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat hening, dingin, dan reflektif. Terasa ada ruang batin yang luas dan sunyi saat embun disentuh dan fajar mulai menjelang. Kesayupan di horison menggambarkan suasana batin yang pasrah dan tenang, serta mungkin mengandung sedikit nuansa melankolis.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah ajakan untuk menundukkan diri pada kesederhanaan dan keheningan. Melalui embun dan subuh, penyair ingin menyampaikan bahwa dalam keheningan alam terdapat pelajaran tentang kehidupan. Bahwa manusia perlu sesekali berhenti mengejar keinginan dan menyatu dengan alam yang tenang. Ada kebijaksanaan dalam mengaburkan ambisi, dan ada kedamaian dalam menyentuh hal-hal kecil seperti embun.
Puisi ini seolah berkata bahwa kesadaran batin sering kali muncul di saat-saat paling sunyi dan sederhana—bukan dalam kegemilangan siang atau hiruk pikuk ambisi dunia.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji yang lembut dan menenangkan:
- “Kuraba embun dingin suatu pagi” – imaji taktil (sentuhan) yang menghadirkan pengalaman nyata menyentuh embun, membangkitkan sensasi sejuk dan syahdu.
- “Yang berlinangan di ujung daun” – imaji visual yang indah, memperlihatkan embun yang menggantung seperti air mata, menambah kesan lembut dan emosional.
- “Subuh baru saja melengkapkan dini hari” – imaji waktu yang mempersonifikasikan subuh sebagai sosok yang menyempurnakan kegelapan malam, menandakan awal kehidupan yang baru.
- “Di horison sayup mengabur segala keinginan” – imaji visual dan batiniah yang menggambarkan suasana kabur di ufuk, sekaligus menandakan kaburnya hasrat manusia, menjadi simbol penyerahan diri.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang halus namun efektif:
Personifikasi:
- “Subuh baru saja melengkapkan dini hari” – subuh dipersonifikasikan sebagai entitas yang aktif dan berperan, seolah ia yang menyempurnakan malam.
Metafora:
- “Di horison sayup mengabur segala keinginan” – horison dipakai sebagai metafora dari harapan atau batas kehidupan yang menyerap semua keinginan manusia, menjadikannya samar atau tak lagi penting.
Repetisi Bunyi:
- Pilihan kata seperti “subuh”, “sayup”, dan “mengabur” memberikan ritme lembut dan suara puitis yang memperkuat suasana hening dan tenang.
Simbolisme:
- Embun menjadi simbol dari ketenangan, kesederhanaan, dan kesadaran spiritual.
- Horison menjadi simbol dari batas antara dunia dan ketakterjangkauan, antara hasrat dan ketenangan.
Puisi "Kwatrin Embun" karya Gunoto Saparie adalah potret puitis dari momen singkat namun mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan gaya bahasa yang sederhana, puisi ini menyuguhkan tema keheningan, kesadaran spiritual, dan pelepasan hasrat. Ia bercerita tentang seseorang yang menyentuh embun pagi sambil merenungi perubahan waktu, lalu menyadari bahwa semua keinginan bisa mengabur di hadapan alam dan waktu.
Makna tersirat puisi ini menyentuh nilai-nilai spiritual dan eksistensial, dengan imaji kuat yang membangkitkan suasana hening serta didukung oleh majas seperti personifikasi dan metafora yang indah. Amanatnya mengajak pembaca untuk menemukan kedamaian dalam kesederhanaan dan memahami bahwa dalam keheningan alam, tersimpan hikmah besar yang kadang dilupakan manusia yang sibuk mengejar keinginan.
Puisi "Kwatrin Embun" bukan hanya puisi tentang pagi, tetapi juga tentang kesadaran untuk menjadi lebih tenang, ikhlas, dan bijaksana dalam menjalani hidup.
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.
Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
