Lelaki Tua dan Laut
(direka dari legenda dan kejadian nyata
di P. Untung Jawa, Kep. Seribu)
angin datang menjelang
subuh mulai semilir
mengusir nyamuk menelusur pesisir
seorang tua di remang temaram bintang
menjinjing tas kecil melangkah sendu
memasuki ceruk dimana tertambat biduk
pak kecipak lantas sunyi. Diam
bagai mambang
duduk di biduk tanpa bintang temaram
aku tak tahu dan masih banyak tanya
bersama teman yang belum kering berbusa
cerita tentang seorang cantik yang diperkosa
dan dibunuh sesudahnya
bermakam di sebelah penginapan
menjadi legenda keji, sang suami pun
ditenggelamkan
entah di dasar mana
jasadnya tertimbun rumpun
tiba-tiba meluncur perlahan biduk keluar ceruk
kusapa lelaki tua yang duduk megayuh buritan
tak sepatah angguk pun tak sekata jawaban
dengan tenang melewati celah
lalu meghilang di derunya ombak
tak pernah lelah
demikian selalu di setiap pagi merebak...
Analisis Puisi:
Puisi “Lelaki Tua dan Laut” karya Joss Sarhadi merupakan karya puitik yang lahir dari perpaduan legenda dan kenyataan, bertolak dari latar nyata di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu. Sarhadi menghadirkan puisi yang tidak hanya berisi lanskap pantai dan laut di waktu dini hari, tetapi juga menyimpan misteri, duka, dan trauma yang mengendap di dalamnya.
Tema
Tema puisi ini adalah trauma, kesendirian, dan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. Dalam lanskap pesisir yang tenang, pembaca diajak menyaksikan figur lelaki tua yang setiap subuh pergi ke laut tanpa suara—satu simbol dari duka dan luka yang tak selesai. Laut, dalam puisi ini, menjadi ruang meditatif sekaligus saksi bisu atas tragedi yang tak terungkap.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa setiap manusia membawa cerita dan luka masing-masing—tak semuanya tampak di permukaan. Lelaki tua yang terus pergi melaut setiap pagi seakan hidup dalam ritus berulang yang tidak dijelaskan secara langsung. Namun, di balik rutinitas itu, pembaca disodorkan kisah kelam: seorang perempuan diperkosa dan dibunuh, sang suami ditenggelamkan.
Lelaki tua itu barangkali bukan sekadar nelayan biasa, melainkan representasi dari jiwa yang terluka, yang tak bisa tenang karena kejahatan masa lalu, atau justru arwah yang terus menjalani ritual pengembaraan dalam bentuk simbolis.
Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki tua yang setiap pagi, menjelang subuh, turun ke laut dengan perahu kecilnya. Ia melangkah dalam sunyi, memasuki ceruk dermaga, lalu mendayung perahunya ke laut tanpa sepatah kata. Di balik gambaran itu, tersimpan kisah kelam tentang tragedi: seorang wanita diperkosa dan dibunuh, lalu jasad suaminya ditenggelamkan, menjadi legenda kelam yang dikenang oleh masyarakat sekitar.
Lelaki tua itu tampak seperti bagian dari kisah tersebut—baik sebagai pelaku, korban yang tersisa, atau bahkan sosok hantu yang mengulang kembali nasibnya sendiri setiap fajar.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat melankolis, sunyi, dan mencekam secara halus. Puisi membuka dengan deskripsi alam pagi yang tenang—angin semilir, nyamuk, bintang remang. Namun, suasana berubah gelap ketika cerita kelam muncul dan semakin menyayat ketika biduk perlahan melaju ke laut tanpa kata dan jawaban. Suasana ini membangun efek misteri dan kesedihan yang tidak dituntaskan secara eksplisit, tetapi terasa menusuk dalam.
Amanat / Pesan
Pesan dari puisi ini bisa ditafsirkan sebagai peringatan bahwa kejahatan, terutama yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan, meninggalkan luka yang dalam dan panjang. Tragedi tidak selesai ketika darah berhenti mengalir; ia hidup dalam kenangan, dalam ruang-ruang senyap, dalam ritual yang diulang terus-menerus.
Puisi ini juga memberi refleksi bahwa tidak semua penderitaan manusia tampak atau bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kadang hanya simbol dan keheningan yang berbicara. Dan kadang pula, kesedihan dan kerinduan tidak mencari solusi, tetapi mencari bentuk untuk tetap hidup.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji yang kuat dan sinematik:
- Visual: “subuh mulai semilir”, “bintang temaram”, “lelaki tua menjinjing tas kecil”—memberikan gambaran nyata dan tenang akan suasana dini hari.
- Auditori: “pak kecipak lantas sunyi”—menyuarakan keheningan yang dalam dan puitis.
- Kinestetik: “meluncur perlahan biduk keluar ceruk”, “melewati celah lalu menghilang di derunya ombak”—menghidupkan gerakan dan suasana laut.
Semua imaji tersebut memperkuat kesan atmosferik puisi: tenang tapi penuh luka.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa gaya bahasa (majas) yang memperindah sekaligus memperkuat makna:
- Personifikasi: “pak kecipak lantas sunyi. Diam bagai mambang”—memberikan kesan makhluk mistis atau aura gaib dalam suasana hening.
- Simbolisme: “lelaki tua”, “biduk”, “laut”, “ceruk”—semuanya simbol dari kesendirian, luka masa lalu, atau bahkan pengembaraan jiwa.
- Metafora: “cerita tentang seorang cantik yang diperkosa” menjadi metafora untuk luka kolektif atau trauma sosial yang diwariskan dari waktu ke waktu.
- Repetisi: “tak sepatah angguk pun tak sekata jawaban” menegaskan keheningan dan keterputusan dari dunia sosial.
Puisi “Lelaki Tua dan Laut” karya Joss Sarhadi adalah puisi yang penuh kontemplasi, atmosfer, dan tragedi yang menggantung. Ia tidak menjelaskan secara gamblang, namun justru di situlah kekuatannya—pembaca diajak menafsirkan, merasakan, dan bergumul dengan sunyi yang diciptakan penyair. Laut menjadi ruang eksistensial, dan lelaki tua menjadi tokoh universal: siapa saja yang menanggung luka dan tetap setia pada perjalanan, meski tak tahu ujungnya.
Dengan gaya pengisahan yang lirih namun kuat, puisi ini menawarkan pengalaman membaca yang tidak sekadar indah secara bahasa, tapi juga membekas secara emosional.
Puisi: Lelaki Tua dan Laut
Karya: Joss Sarhadi
Biodata Joss Sarhadi:
Nama lengkapnya adalah Joseph Suminto Sarhadi.