Malas
Seorang anak tidur
sepanjang kasur
berbaring tiada pusing
karena nikmat lalu tiarap
beralas malas
anak yang sama
nonton televisi sepanjang hari
apa saja dia tonton
maraton
ketika di kelas
si malas tak etika
ribut merebut atribut
topi, dasi tertinggal dekat televisi
buku-bukunya membisu
terganjal dekat bantal
si malas takkan punya kanvas
tuk gambar segarnya kehidupan
yang ada, dia berandai kata
beralas malas
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul “Malas” karya Gatot Supriyanto dalam buku Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018) menjadi salah satu puisi anak yang tampil jujur dan lugas dalam menyampaikan kritik sosial melalui lensa dunia anak-anak. Meski ditulis dalam gaya sederhana, puisi ini mengandung pesan mendalam tentang kebiasaan buruk yang kerap luput dari perhatian, khususnya sikap malas yang menghambat masa depan anak-anak.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kemalasan dan akibatnya terhadap perkembangan diri anak. Dengan gaya penceritaan yang ringan dan mengalir, Gatot Supriyanto secara tegas menggambarkan betapa sikap malas bisa menjadi penghalang besar dalam proses belajar, berkarya, bahkan membangun masa depan.
Makna Tersirat
Puisi ini mengandung makna tersirat bahwa kemalasan bukan sekadar sikap sesaat, tetapi bisa menjadi gaya hidup destruktif jika tidak segera diubah. Anak yang terbiasa menunda-nunda, menolak belajar, dan larut dalam hiburan tanpa batas—seperti menonton televisi sepanjang hari—akan kehilangan kesempatan emas untuk berkembang.
Makna lainnya adalah bahwa masa depan butuh usaha nyata. Seseorang yang hanya “berandai kata” tanpa bergerak akan kehilangan “kanvas” kehidupan yang seharusnya bisa digambarnya sendiri dengan semangat, ilmu, dan kreativitas.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang sangat malas dalam kesehariannya. Dari pagi hingga malam, ia lebih banyak tidur dan bermalas-malasan di kasur. Ketika tidak tidur, waktunya habis untuk menonton televisi tanpa seleksi. Dalam kehidupan sekolah, ia pun tidak memperlihatkan etika dan tanggung jawab: sering ribut, lupa atribut, dan tidak peduli pada buku-buku pelajaran.
Puisi ini menggambarkan bahwa kemalasan tidak hanya terjadi di rumah, tetapi juga terbawa ke ruang kelas dan menjadi kebiasaan buruk yang merugikan. Anak ini hidup dalam dunia pasif, di mana beralas malas menjadi simbol dari semua aktivitasnya yang kosong dari makna.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini dapat digambarkan sebagai sindiran halus namun tegas. Meskipun ditulis dengan gaya jenaka dan ringan, pembaca bisa merasakan suasana yang menyiratkan keprihatinan terhadap perilaku anak yang tidak produktif. Nada puisinya mengandung kekhawatiran terhadap masa depan anak jika terus dibiarkan hidup dalam kebiasaan buruk.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini mengandung pesan moral yang kuat, antara lain:
- Jangan biasakan diri untuk bermalas-malasan, karena waktu yang hilang tidak bisa kembali.
- Kemalasan akan membunuh potensi diri dan menjauhkan anak dari mimpi serta cita-cita.
- Hiburan boleh dinikmati, tapi jangan sampai melupakan tanggung jawab, terutama dalam belajar dan bersikap baik di sekolah.
- Masa depan yang cerah perlu disiapkan sejak dini, bukan dengan angan-angan belaka, tetapi dengan kerja nyata.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji visual dan gerak yang sangat konkret dan mudah dibayangkan:
- “Seorang anak tidur sepanjang kasur” – memberikan imaji visual tentang seseorang yang menguasai seluruh tempat tidur tanpa niat bangun.
- “Berbaring tiada pusing”, “tiarap beralas malas” – menciptakan gambaran sikap tubuh dan suasana hati yang tak peduli sekitar.
- “Topi, dasi tertinggal dekat televisi” dan “buku-bukunya membisu terganjal dekat bantal” – menghadirkan suasana rumah yang berantakan dan penuh kemalasan.
- “Si malas takkan punya kanvas tuk gambar segarnya kehidupan” – imaji ini sangat kuat dan puitis, menggambarkan bahwa orang malas akan kehilangan kesempatan untuk menciptakan kisah hidup yang indah.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
Personifikasi
- “Buku-bukunya membisu” – buku digambarkan seperti makhluk hidup yang bisa diam karena tidak pernah disentuh atau dibaca.
- “Topi, dasi tertinggal dekat televisi” – benda-benda menjadi saksi bisu dari kelalaian si anak.
Metafora
- “Beralas malas” – frasa ini menjadi simbol dari gaya hidup yang dilandasi kemalasan sebagai dasar dari semua tindakan.
- “Takkan punya kanvas tuk gambar segarnya kehidupan” – hidup diibaratkan sebagai kanvas kosong, dan anak malas tidak akan bisa melukis apa pun di atasnya karena tak punya kemauan.
Repetisi
- Pengulangan kata “malas” dan bentuk variasinya di berbagai larik mempertegas tema utama puisi serta membangun irama yang menekankan kebiasaan buruk tersebut.
Ironi
- Meskipun anak itu “tidak pusing” dan merasa “nikmat” saat tidur, justru pembaca merasakan bahwa kenyamanan semacam itu akan membawa dampak negatif di masa depan.
Puisi Anak yang Mengajak Merenung
Puisi “Malas” karya Gatot Supriyanto adalah puisi anak yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan mengajak merenung. Ia menampilkan tokoh anak yang akrab dalam kehidupan sehari-hari—anak yang lebih suka tidur, menonton TV, dan mengabaikan kewajiban sekolah. Namun lebih dari itu, puisi ini menyuarakan peringatan halus tentang konsekuensi dari kemalasan.
Dengan bahasa sederhana dan gaya yang mengalir, puisi ini cocok dibaca oleh anak-anak, guru, maupun orang tua sebagai bahan diskusi ringan namun bermakna. Sebab, jika anak sejak kecil terbiasa beralas malas, bukan tidak mungkin kelak mereka kehilangan kesempatan untuk “melukis” kehidupan yang segar dan penuh warna.
Puisi ini adalah pengingat bahwa masa depan dibangun hari ini, bukan dengan tidur panjang atau angan kosong, tapi dengan bangkit, belajar, dan bertanggung jawab.
Karya: Gatot Supriyanto
Biodata Gatot Supriyanto:
- Gatot Supriyanto lahir pada tanggal 8 Oktober 1962 di Pontianak.