Nyanyi Sunyi
Memang sesekali
Masih ada cericit burung gereja di pohon dewandaru depan rumahku
Selalu sendiri. Tengok kanan kiri
Bukan mencari teman yang sudah diyakini takkan bertemu lagi
Sepertinya dia bertanya: Adakah yang pedulikan daku?
Sekalipun yang hendak menghabisi...
Analisis Puisi:
Puisi “Nyanyi Sunyi” karya Joss Sarhadi adalah potret permenungan yang lembut namun menyayat. Dalam bait pendek ini, penyair menghadirkan seekor burung gereja yang bernyanyi di pohon dewandaru, sebuah simbol lokal yang menyiratkan keanggunan dan spiritualitas. Namun, alih-alih riang, suara burung ini adalah nyanyian kesunyian, yang sekaligus menjadi refleksi atas kesendirian dan ketidakpedulian dunia terhadap yang lemah, bahkan terhadap yang sedang menanti ajal.
Meskipun puisi ini bersahaja dari segi struktur, ia memiliki kedalaman filosofis dan emosional yang kuat, sebagaimana sering dijumpai dalam puisi-puisi Joss Sarhadi. Penyair menyusupkan makna melalui pengamatan kecil, namun dampaknya begitu luas: tentang hidup, kematian, dan keberadaan yang sering kali terabaikan.
Tema
Puisi ini mengangkat tema tentang kesunyian eksistensial dan pengabaian terhadap makhluk kecil atau mereka yang tak bersuara. Tema lainnya yang tersirat adalah penerimaan terhadap takdir, terutama ketika dunia telah berubah menjadi tempat yang dingin dan apatis.
Puisi ini bercerita tentang seekor burung gereja yang masih sesekali terdengar bersuara di pohon dewandaru di depan rumah sang penyair. Ia selalu sendirian, dan saat menoleh ke kanan dan kiri, bukan karena berharap bertemu kawannya, tetapi semata-mata karena refleks dalam sunyi. Lebih jauh lagi, sang burung bahkan seolah menyuarakan tanya lirih: apakah masih ada yang peduli kepadanya, meskipun yang peduli itu adalah mereka yang mungkin justru hendak menghabisinya.
Dalam cerita kecil ini, tersimpan kegetiran: bahwa dalam dunia yang keras, kehadiran pun bisa terasa seperti kesia-siaan, dan yang paling setia sekalipun—seperti burung itu—hanya bernyanyi untuk dirinya sendiri.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap dunia yang makin asing dan tidak peduli, bahkan terhadap suara-suara lemah yang hanya ingin didengar sebelum ajal menjemput. Burung gereja di sini bukan hanya hewan, tetapi simbol dari individu yang terasing, makhluk yang terlupakan, atau jiwa-jiwa kecil yang hanya bisa memanggil dengan harap tipis.
Lebih jauh, ada juga makna bahwa kesepian tidak selalu butuh solusi, karena terkadang ia adalah keniscayaan. Dunia tidak selalu akan mendengar, dan bahkan jika mendengar, belum tentu merespons. Ironi muncul ketika satu-satunya perhatian yang mungkin datang hanyalah dari mereka yang justru hendak membinasakan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat lirih, kontemplatif, dan murung. Nuansa sepi menyelimuti tiap kata, terutama melalui gambaran burung yang sendirian, menoleh, dan menyuarakan pertanyaan yang tidak dijawab. Ini adalah kesunyian yang bukan sekadar hening, tetapi sunyi yang hidup—mengandung luka, tanya, dan kepasrahan.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat dan khas:
- Visual: “cericit burung gereja di pohon dewandaru” memberikan gambaran konkret yang bisa dibayangkan: seekor burung kecil di pohon, dalam suasana pagi atau sore yang tenang.
- Kinestetik: “tengok kanan kiri” – memperkuat kesan aktif dari makhluk kecil itu yang resah, walau tahu ia sendiri.
- Psikologis/Emosional: “bertanya: Adakah yang pedulikan daku?” – menghadirkan imaji suara lirih yang sarat luka.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: Burung gereja diberi kemampuan bertanya dan berperilaku seperti manusia—bertanya, menoleh, menanti kepedulian.
- Simbolisme: burung gereja melambangkan makhluk kecil, lemah, atau individu tak berdaya; pohon dewandaru dapat menyimbolkan kesakralan atau ketenangan spiritual yang sudah tak lagi ramai.
- Paradoks: Pertanyaan burung tentang “yang peduli”, bahkan jika itu adalah “yang hendak menghabisi”, mencerminkan kebingungan moral dan keputusasaan—seolah-olah bahkan ancaman pun lebih baik daripada diabaikan sepenuhnya.
- Ironi: Burung mencari perhatian, tapi satu-satunya yang mungkin hadir adalah mereka yang berbahaya baginya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa kesepian dan pengabaian adalah luka yang nyata dalam kehidupan, baik bagi manusia maupun makhluk lain. Dunia yang terus bergerak kadang melupakan mereka yang paling sederhana. Bahkan suara kecil sekalipun—seperti cericit burung—menyimpan harapan untuk didengar.
Pesan lainnya adalah kesadaran tentang kemanusiaan kita sendiri: bagaimana kita menyikapi yang lemah, yang sunyi, yang tidak bersuara. Dalam burung kecil yang bertanya lirih, barangkali ada bayangan dari diri kita sendiri yang juga menanti uluran empati dalam diam.
Puisi “Nyanyi Sunyi” karya Joss Sarhadi adalah sajak pendek yang menyimpan kegetiran dan filosofi hidup yang mendalam. Dengan tema kesunyian dan pengabaian, makna tersirat tentang kerapuhan dan harapan untuk didengar, serta penggunaan imaji dan majas yang subtil namun kuat, puisi ini menjadi representasi dari suara-suara kecil yang sering tak terdengar di dunia yang terlalu bising dan sibuk.
Joss Sarhadi mengajarkan kita bahwa tidak semua nyanyian harus keras. Kadang, justru nyanyi sunyi itulah yang paling menyentuh—karena lahir dari kesendirian yang tulus, dan bertahan walau tak dijawab.
Puisi: Nyanyi Sunyi
Karya: Joss Sarhadi
Biodata Joss Sarhadi:
Nama lengkapnya adalah Joseph Suminto Sarhadi.