Paradise Lost
Di atas ubun-ubunmu
Dan keturunanmu
Terbeku getah buah khuldi
Yang meleleh melawan kehendak-Ku
Ditiup tingkah angin
Kau 'kan terberai pecah.
Tapi dalam berai itu
Kepala 'kan menoleh-noleh:
Rindu! Gelisah!
Kembali ta'kan Kuizinkan
Sebelum kau melompat dari seribu kira
Ke seribu rupa
Dalam mencari yang tampak di langit,
Tapi letaknya di denyut jantung sendiri
Analisis Puisi:
Dalam tradisi puisi Indonesia modern, puisi "Paradise Lost" karya Mh. Rustandi Kartakusuma hadir sebagai sajak kontemplatif yang sarat simbol dan perenungan eksistensial. Dengan struktur soneta 4-4-3-3, puisi ini menjelajahi lapisan-lapisan batin manusia yang terus bergulat antara kehendak, kerinduan, dan pencarian makna.
Mengambil judul yang sama dengan karya besar John Milton, Paradise Lost versi Rustandi tidak sekadar mengulang narasi kejatuhan manusia dari surga, melainkan merefleksikannya dalam dimensi spiritual dan personal. Ia menghadirkan dialog yang puitik antara Sang Aku Ilahi dan manusia sebagai makhluk pencari yang rapuh.
Tema
Puisi ini mengangkat tema utama tentang pencarian spiritual dan keterasingan manusia dari kebenaran hakiki. Tema tambahan yang mengemuka adalah kejatuhan manusia akibat keingkaran, serta kerinduan eksistensial untuk kembali ke asal yang suci, yang dalam puisi ini tampak tidak mudah dicapai.
Puisi ini bercerita tentang manusia yang telah kehilangan “surga” atau keadaan fitrah, dan kini harus menempuh perjalanan panjang dan rumit untuk mencarinya kembali. “Getah buah khuldi” yang membeku di ubun-ubun manusia adalah simbol dari dosa asal atau konsekuensi pilihan yang salah. Sang Aku liris dalam puisi—yang bisa ditafsir sebagai Tuhan atau suara nurani ilahi—menegaskan bahwa “kembali ta'kan Kuizinkan / sebelum kau melompat dari seribu kira // ke seribu rupa”.
Ini menggambarkan manusia sebagai makhluk pencari, yang mesti melampaui keraguan, ilusi, dan berbagai wujud kehidupan, hingga menemukan kembali makna ilahiah bukan di langit yang jauh, melainkan “di denyut jantung sendiri”.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat filosofis dan spiritual. Sang penyair hendak menyampaikan bahwa kebenaran ilahi, kebahagiaan sejati, atau 'surga' bukanlah tempat, tetapi kesadaran yang melekat di dalam diri. Namun, untuk mencapainya, manusia harus menjalani proses panjang: dihancurkan, tercerai-berai, rindu, gelisah, dan akhirnya sadar.
Ada pula makna bahwa pengetahuan intelektual (“seribu kira”) tidak cukup, karena manusia juga harus menyelami keberagaman pengalaman (“seribu rupa”) untuk menyadari bahwa yang dicari sebenarnya selalu ada dalam dirinya sendiri.
Unsur Puisi
Berikut beberapa unsur puisi yang menonjol:
- Diksi: Kata-kata seperti “ubun-ubun”, “getah buah khuldi”, “seribu kira”, “denyut jantung” memperlihatkan diksi yang simbolik dan spiritual.
- Struktur: Puisi ini mengikuti gaya soneta modern dengan pola 4-4-3-3, yang memperkuat perkembangan tematik dan logika puitik secara bertahap: dari kejatuhan, kehancuran, pencarian, hingga pencerahan.
- Sudut Pandang: Terdapat suara dominan yang seperti berasal dari Tuhan atau entitas agung yang mengingatkan manusia—dalam gaya monolog ilahiah.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah hening, sakral, dan penuh ketegangan batin. Terasa atmosfer berat, seolah manusia sedang ditegur oleh kekuatan yang lebih tinggi. Namun di baliknya, ada juga suasana harapan—bahwa setelah penderitaan dan pencarian panjang, makna akan ditemukan dalam keheningan diri.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji simbolik dan filosofis, seperti:
- Visual: “Terbeku getah buah khuldi” — menggambarkan dosa atau kenangan terlarang yang membekas di tubuh manusia.
- Kinestetik: “kau ’kan terberai pecah”, “melompat dari seribu kira” — memperlihatkan gerak eksistensial manusia dalam pencarian spiritual.
- Internal atau Psikologis: “rindu! gelisah!”, “denyut jantung sendiri” — menciptakan imaji emosi dan kesadaran batin yang kuat.
Majas
Beragam majas digunakan untuk memperkuat makna dan nuansa puisi:
- Metafora: “getah buah khuldi” sebagai simbol dari dosa atau pengetahuan terlarang yang mengubah manusia.
- Personifikasi: “dalam berai itu / kepala ’kan menoleh-noleh” — kepala diberi kemampuan bertindak dalam situasi kehancuran.
- Paradoks: “mencari yang tampak di langit, tapi letaknya di denyut jantung sendiri” — menyajikan ironi eksistensial bahwa manusia mencari jauh sesuatu yang sebenarnya ada di dekat, bahkan dalam dirinya.
- Repetisi & Klimaks: Baris “rindu! gelisah!” sebagai puncak emosi spiritual sebelum fase transformasi pencarian.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa manusia tidak bisa kembali pada kesucian (surga) dengan mudah, melainkan harus menjalani perjalanan batin yang dalam dan penuh penderitaan. Ia harus melepaskan ilusi, menghadapi kehancuran ego, dan menyadari bahwa yang selama ini ia cari—Tuhan, surga, ketenangan—bukanlah di luar sana, tetapi tersembunyi dalam diri.
Pesan lainnya adalah kritik halus terhadap manusia modern yang sering mencari makna di luar, di langit dan langit sosial-budaya, padahal jawabannya ada pada “denyut jantung sendiri”.
Puisi "Paradise Lost" karya Mh. Rustandi Kartakusuma bukan sekadar sajak religius atau spiritual, melainkan meditasi puitik tentang kerinduan manusia terhadap keutuhan yang hilang. Dengan tema pencarian dan keterasingan spiritual, makna tersirat tentang kesadaran batin, serta unsur puisi yang terstruktur dengan baik dalam gaya soneta modern, puisi ini menjadi refleksi eksistensial yang mendalam.
Lewat imaji yang kuat dan majas yang simbolik, Rustandi Kartakusuma mengajak pembaca menyelami perenungan mendasar: bahwa jalan menuju “surga” bukan melalui pelarian, melainkan melalui pemahaman atas diri. Paradise tak hilang—ia hanya menunggu ditemukan kembali dalam sunyi jiwa manusia yang jujur dan tulus.
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma
Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
- Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
- Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.
