Peka Bertanggung Jawab
ketika papan tulis penuh tulisan dan bapak ibu guru tidak punya lahan
siapa yang pantas disalahkan?
Anak-anak yang piket pun saling melemparkan
sehingga kelas berubah riuh tuduhan
Pak guru di depan hanya menebar senyuman sekaligus membatin
Karakter kalian belum ditunjukkan
"Kalau tidak ada yang menghapus, saya akan piket sendiri
Kalian yang nanti bergiliran menerangkan", itu pernyataan guru
yang sangat kami khawatirkan
sebelum tragedi terjadi, akulah yang maju menunjukkan kepekaan
tanggung jawabku diuji--harga diriku dipuji
semoga kalian bisa sehebat ini.
Semarang, 2018
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Puisi anak-anak bukanlah sekadar rangkaian kata sederhana yang berima atau menyenangkan dibaca. Di balik kejenakaan dan kejujuran diksi-diksinya, tersimpan nilai-nilai mendalam yang membentuk karakter anak sejak dini. Salah satu contohnya ialah puisi berjudul "Peka Bertanggung Jawab" karya Budi Wahyono, yang diterbitkan dalam antologi Surat dari Samudra oleh Balai Bahasa Jawa Tengah pada tahun 2018.
Konflik Kecil di Kelas yang Sarat Nilai
Secara garis besar, puisi ini bercerita tentang sebuah situasi di ruang kelas yang cukup akrab dalam kehidupan sehari-hari: papan tulis penuh tulisan, guru tidak mendapat tempat menulis, dan anak-anak saling tuding dalam urusan piket. Dalam kekacauan tersebut, guru menanggapi dengan bijak, tidak langsung memarahi, tetapi memberi tantangan moral. Pada akhirnya, seorang anak memberanikan diri untuk bertindak, menghapus papan tulis sebagai bentuk kepekaan dan tanggung jawab.
Situasi ini mungkin terlihat sederhana, namun justru dari hal-hal kecil seperti inilah karakter anak-anak mulai terbentuk. Narasi dalam puisi menggambarkan konflik ringan, tetapi penting dalam pembelajaran sosial dan emosional anak.
Tema: Kepedulian dan Tanggung Jawab sebagai Karakter Dasar Anak
Tema utama puisi ini adalah kepekaan sosial dan tanggung jawab pribadi. Melalui konflik ringan dalam kehidupan di sekolah, penyair mengangkat bagaimana anak-anak dilatih untuk tidak hanya menjalankan tugas secara formal, tetapi juga membentuk kesadaran moral dan keberanian untuk bertindak benar, meskipun tanpa diperintah.
Tema ini sangat relevan dengan pembentukan karakter dalam dunia pendidikan dasar. Pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan sikap dan nilai. Dalam puisi ini, hal itu dibentuk lewat peristiwa kecil yang membekas.
Makna Tersirat: Menjadi Pribadi yang Inisiatif dan Berani Bertindak
Makna tersirat dari puisi ini tidak sekadar soal piket atau kebersihan kelas. Lebih jauh, puisi ini menyampaikan pentingnya inisiatif pribadi, pengambilan tanggung jawab, serta keberanian untuk bertindak meskipun orang lain hanya diam atau malah saling menyalahkan.
Guru dalam puisi tidak langsung memberi sanksi. Ia memberi sindiran yang halus: "Kalau tidak ada yang menghapus, saya akan piket sendiri. Kalian yang nanti bergiliran menerangkan." Ini adalah semacam jebakan edukatif yang menguji apakah murid-murid cukup peka untuk memahami kondisi sosial di sekitarnya. Dan ketika satu anak mengambil peran itu, ia tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga memperoleh pengakuan sosial: "harga diriku dipuji".
Amanat: Jangan Menunggu Disuruh untuk Berbuat Baik
Pesan moral atau amanat dalam puisi ini sangat jelas: jangan tunggu disuruh untuk berbuat baik. Anak-anak diajak untuk menjadi pribadi yang tanggap terhadap keadaan, tidak hanya menunggu komando atau lari dari tanggung jawab. Bahkan ketika situasi tampak tidak kondusif—anak-anak saling tuding, guru diam—masih ada ruang bagi seseorang untuk memilih bertindak positif.
Amanat lainnya adalah setiap tindakan baik akan dikenang dan dihargai, seperti ditunjukkan lewat kalimat "harga diriku dipuji". Puisi ini mengajarkan bahwa keberanian mengambil tanggung jawab bukan hanya menyelesaikan masalah, tapi juga menumbuhkan rasa percaya diri.
Imaji: Visualisasi Kehidupan Sekolah yang Nyata
Puisi ini menyajikan imaji visual yang kuat. Misalnya:
"ketika papan tulis penuh tulisan dan bapak ibu guru tidak punya lahan"
→ Membentuk gambaran nyata papan tulis yang penuh coretan.
"kelas berubah riuh tuduhan"
→ Menciptakan imaji suara dan situasi gaduh, anak-anak saling menyalahkan.
"Pak guru di depan hanya menebar senyuman sekaligus membatin"
→ Imaji gestur dan ekspresi yang penuh makna dari seorang guru.
Imaji yang sederhana namun konkret ini memudahkan pembaca, khususnya anak-anak, untuk membayangkan situasi dan masuk ke dalam suasana puisi.
Majas: Personifikasi dan Ironi Ringan
Puisi ini juga mengandung beberapa bentuk majas yang memperkuat gaya penyampaiannya:
Personifikasi
"Pak guru di depan hanya menebar senyuman sekaligus membatin"
→ Kegiatan "membatin" adalah bentuk personifikasi dari tindakan batin yang diberi nyawa seolah dapat dilihat.
Ironi halus
Ketika guru berkata, "Kalau tidak ada yang menghapus, saya akan piket sendiri", ini mengandung ironi karena maksudnya bukan betul-betul ingin piket, tetapi menantang anak-anak untuk sadar.
Metafora sosial
"Karakter kalian belum ditunjukkan"
→ Menggunakan metafora untuk menyebut bahwa perilaku anak-anak belum mencerminkan nilai atau karakter yang baik.
Majas-majas ini tidak berat, tetapi cukup halus dan efektif membentuk warna khas puisi anak-anak yang ringan namun tetap bermakna.
Puisi Anak yang Mendidik Tanpa Menggurui
Puisi "Peka Bertanggung Jawab" karya Budi Wahyono adalah salah satu contoh karya sastra anak yang berhasil menyampaikan nilai-nilai pendidikan karakter tanpa kesan menggurui. Melalui konflik kecil yang sangat dekat dengan dunia anak, puisi ini menyampaikan nilai-nilai penting seperti kepekaan, keberanian bertanggung jawab, dan pentingnya inisiatif dalam menyelesaikan masalah.
Tema tentang tanggung jawab sosial disampaikan dengan cara yang mudah dipahami. Makna tersirat dari pentingnya tindakan proaktif dan kesadaran sosial menjadikan puisi ini sangat cocok dijadikan bahan ajar dalam pendidikan karakter di sekolah dasar.
Dengan menyisipkan imaji konkret, penggunaan majas yang ringan namun kuat makna, serta amanat moral yang aplikatif dalam kehidupan nyata, puisi ini membuktikan bahwa sastra anak dapat menjadi alat pendidikan yang ampuh—menyentuh nalar sekaligus rasa.
Karya: Budi Wahyono
