Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Permainan Tradisional (Karya Eko Purnomo)

Puisi “Permainan Tradisional” karya Eko Purnomo mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi tidak seharusnya menghapus permainan tradisional, tetapi ..

Permainan Tradisional


Kini kuterbujur kaku
Tak ada teman menginginkanku
Tak ada canda tawa bersamaku
Semua telah pergi meninggalkanku

    Posisiku telah tergantikan
    Dengan aneka mainan modern
    Anak-anak mulai meninggalkanku
    Biarkan aku termenung dengan kesendirianku

Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Permainan Tradisional” karya Eko Purnomo adalah salah satu puisi anak yang sarat pesan moral dan reflektif, meski disampaikan dalam bentuk yang sederhana. Puisi ini mengajak pembaca—khususnya anak-anak—untuk merenungkan perubahan zaman dan bagaimana kemajuan teknologi telah menggeser bentuk-bentuk kegembiraan masa lalu. Dengan bahasa yang lembut namun menyentuh, penyair menggambarkan nasib permainan tradisional yang kini mulai dilupakan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kepunahan dan kehilangan nilai permainan tradisional akibat perkembangan teknologi modern.

Melalui puisi ini, Eko Purnomo menyoroti perubahan gaya hidup anak-anak yang kini lebih memilih permainan digital dan modern daripada permainan tradisional yang dulu menjadi bagian penting dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

Tema ini tidak hanya berbicara tentang permainan semata, tetapi juga menyentuh aspek budaya, kebersamaan, dan nilai sosial yang terkandung dalam permainan tradisional. Dengan hilangnya permainan itu, ikut hilang pula sebagian nilai gotong royong, keceriaan alami, dan kehangatan pertemanan yang dulu menyertainya.

Puisi ini bercerita tentang permainan tradisional yang kini merasa kesepian dan terlupakan. Penyair menggunakan sudut pandang permainan tradisional itu sendiri—seolah ia berbicara dan merasakan perasaan ditinggalkan oleh anak-anak masa kini.

Baris-baris seperti:

“Kini kuterbujur kaku / Tak ada teman menginginkanku / Tak ada canda tawa bersamaku”

menunjukkan bahwa permainan tradisional yang dulu hidup dan penuh tawa kini hanya tinggal kenangan. Ia “terbujur kaku”, metafora untuk sesuatu yang mati atau tidak lagi digunakan.

Sementara pada bait berikutnya:

“Posisiku telah tergantikan / Dengan aneka mainan modern / Anak-anak mulai meninggalkanku”

menegaskan bahwa penyebab hilangnya permainan tradisional adalah perkembangan permainan modern yang lebih menarik secara visual dan praktis, tetapi kurang memiliki nilai kebersamaan. Puisi ini menutup dengan nada melankolis:

“Biarkan aku termenung dengan kesendirianku”

yang menggambarkan perasaan pasrah dan sedih atas hilangnya perhatian manusia terhadap warisan budaya tersebut.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik halus terhadap perubahan gaya hidup anak-anak modern yang lebih individualis dan kurang menghargai nilai kebersamaan serta budaya lokal.

Melalui personifikasi permainan tradisional, penyair menyampaikan pesan bahwa ketika anak-anak beralih pada permainan digital, mereka tidak hanya meninggalkan permainan lama, tetapi juga meninggalkan sebagian jati diri dan warisan budaya bangsa.

Selain itu, makna tersirat lainnya adalah kerinduan akan masa lalu yang penuh kebersamaan dan kesederhanaan.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi tidak seharusnya menghapus permainan tradisional, tetapi sebaiknya hidup berdampingan—karena permainan lama menyimpan nilai moral, sosial, dan edukatif yang tidak tergantikan oleh layar dan gawai.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi “Permainan Tradisional” terasa sedih, sunyi, dan penuh kerinduan.

Kata-kata seperti terbujur kaku, tak ada teman, dan kesendirianku menciptakan atmosfer melankolis yang menggambarkan kesepian benda-benda yang dulu penuh keceriaan.

Namun di balik kesedihan itu, tersimpan juga suasana reflektif — mengajak pembaca berpikir tentang perubahan nilai dan perilaku manusia di era modern. Penyair tidak menyesali kemajuan, tetapi menyayangkan bagaimana kemajuan itu menyebabkan keterputusan dari akar budaya sendiri.

Imaji

Puisi ini menampilkan imaji visual dan emosional yang cukup kuat.
  • Imaji visual muncul dalam gambaran “terbujur kaku” — membuat pembaca membayangkan permainan tradisional (seperti gasing, engklek, atau kelereng) yang teronggok diam, tak lagi dimainkan.
  • Imaji emosional muncul dari frasa “biarkan aku termenung dengan kesendirianku”, yang menggugah perasaan iba dan nostalgia terhadap masa kanak-kanak yang penuh tawa bersama teman-teman di halaman rumah atau lapangan.
Imaji-imaji ini membuat puisi menjadi hidup, meski dengan bahasa sederhana, karena pembaca bisa “melihat” dan “merasakan” perubahan yang dimaksud penyair.

Majas

Puisi ini memanfaatkan beberapa majas yang memperkuat suasana dan pesan moralnya:
  • Personifikasi: Seluruh puisi ini menggunakan gaya personifikasi — permainan tradisional digambarkan seperti manusia yang bisa “terbujur kaku”, “merenung”, dan “merasa ditinggalkan”. Contoh: “Tak ada teman menginginkanku” – permainan tradisional seolah memiliki perasaan sedih dan rindu akan kehadiran anak-anak.
  • Metafora: Frasa “terbujur kaku” adalah metafora dari sesuatu yang mati atau tidak lagi hidup, dalam hal ini melambangkan hilangnya eksistensi permainan tradisional.
  • Repetisi dan paralelisme: Pengulangan struktur seperti “Tak ada teman... Tak ada canda... Semua telah pergi...” memberikan ritme kesedihan yang berulang, menegaskan rasa kehilangan.
  • Hiperbola lembut: Ungkapan “biarkan aku termenung dengan kesendirianku” memberi kesan mendalam dan dramatis, meski bukan dalam arti berlebihan, melainkan memperkuat nuansa pilu.
Majas-majas tersebut menjadikan puisi sederhana ini tetap kaya makna dan mudah dipahami anak-anak, sambil tetap meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca dewasa.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi “Permainan Tradisional” adalah agar kita tidak melupakan warisan budaya dan permainan masa lalu yang mengandung nilai kebersamaan, kreativitas, dan keceriaan alami.

Penyair ingin menyampaikan bahwa kemajuan teknologi memang membawa kenyamanan dan kesenangan baru, tetapi kita perlu tetap menjaga dan melestarikan tradisi lama yang memiliki nilai-nilai luhur.

Bagi anak-anak, puisi ini mengajarkan pentingnya mengenal permainan tradisional sebagai bagian dari identitas budaya bangsa.

Bagi orang dewasa, puisi ini menjadi pengingat untuk memperkenalkan kembali permainan tersebut agar tidak punah dimakan waktu.

Puisi “Permainan Tradisional” karya Eko Purnomo adalah karya yang sederhana namun sangat menyentuh. Dengan tema kehilangan budaya dan makna tersirat tentang pentingnya melestarikan warisan masa lalu, puisi ini berhasil menggambarkan kesedihan permainan tradisional yang kini dilupakan.

Melalui imaji visual, suasana melankolis, dan penggunaan majas personifikasi serta metafora, penyair berhasil menghidupkan kembali kenangan masa kecil dan mengajak pembaca untuk merenung.

Pada akhirnya, puisi ini mengandung amanat yang jelas: jangan biarkan permainan tradisional mati. Ia bukan sekadar bentuk hiburan, melainkan bagian dari jati diri, kebersamaan, dan keindahan sederhana yang perlu dijaga dari generasi ke generasi.

Eko Purnomo
Puisi: Permainan Tradisional
Karya: Eko Purnomo

Biodata Eko Purnomo:
  • Eko Pumomo, biasa dipanggil Eko, lahir pada tanggal 4 Januari 1998 di Karanganyar, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.