Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Praha (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi “Praha” karya Wayan Jengki Sunarta bercerita tentang seseorang yang mengenang Praha, kota yang pernah ia diami (atau kunjungi) bersama sosok ...
Praha
untuk: m.n.

di praha, katamu, cuaca seperti
senyum sesosok ibu di tepi mimpi
yang berbagi dengan pagi
dan seremah roti tak beragi

kota bermantel bulu
ketika tiba musim salju
orang-orang mengenakan sweter
bermain gitar di muka tungku

di sudut apartemen sederhana
sekarung gandum mesti siaga
setermos susu panas di meja makan
dan cawan-cawan anggur berdentingan
ketika malam kian menggigilkan
tiang-tiang telepon
dan lampu-lampu kota

di jalan-jalan yang mengigau
gelandangan seperti burung gereja tua
yang patah sayap
salju selembut kapas
tiba-tiba bisa jadi bringas
melumat sumsum hingga tandas

namun, praha adalah praha
di mana waktu yang kelu
alpa akan janji setia
lubang kunci berkarat
pagi mendadak sekarat
dan kau tak mesti kembali
pada mimpi...

Januari, 2010

Analisis Puisi:

Puisi “Praha” karya Wayan Jengki Sunarta adalah karya puitik yang sarat atmosfer dingin dan melankolis, membawa pembaca ke kota Praha dengan nuansa personal dan reflektif. Di balik lanskap musim salju dan kehidupan harian yang sederhana, tersembunyi rindu, luka, dan ingatan yang perlahan membeku. Dalam puisinya, Wayan membangun ruang pengalaman yang kaya akan simbol dan kesan, bukan sekadar lukisan kota Eropa, tetapi juga perjalanan batin manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kerinduan akan tempat, kenangan, dan janji yang tertinggal di masa lalu. Tema ini dibalut dengan narasi tentang ketidakhadiran, kefanaan waktu, serta konflik antara harapan dan kenyataan. Praha menjadi lambang ruang yang menyimpan berbagai rasa: dari hangatnya kebersamaan hingga dinginnya perpisahan.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini mengandung beberapa makna mendalam:
  • Praha bukan hanya kota, tapi simbol memori yang tak tuntas, perasaan yang tak selesai.
  • Dingin dan salju menjadi metafora untuk kekosongan, keterasingan, dan rasa kehilangan, baik secara fisik maupun emosional.
  • Waktu yang “kelu” dan “lubang kunci berkarat” menyiratkan relasi yang retak, janji yang tak ditepati, serta ketidakmungkinan untuk kembali ke masa lalu.
  • Roti tak beragi, termos susu, dan sweter menjadi lambang kehidupan sederhana yang dulu akrab namun kini terasa asing dan jauh.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang Praha, kota yang pernah ia diami (atau kunjungi) bersama sosok tertentu, kemungkinan kekasih atau orang tercinta. Kini, dari jarak atau waktu yang membentang, sang penyair menggambarkan kota itu dalam sudut pandang yang puitis, penuh nostalgia, namun juga getir.

Puisi membentang seperti sebuah surat atau memoar, mengenang momen-momen kecil—sarapan sederhana, orang-orang bermain gitar, udara dingin, gelandangan di jalanan—yang kini terasa pahit karena telah berlalu dan mungkin tak akan kembali.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini memunculkan suasana melankolis, sunyi, dan dingin. Ada kedamaian semu dari suasana musim salju, namun juga keterasingan dan kegelisahan yang menyelinap di baliknya. Kata-kata seperti “mimpi”, “gigil”, “lubang kunci berkarat”, dan “pagi mendadak sekarat” menambah kesan suram dan getir dari kenangan yang membeku.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan yang dapat diambil dari puisi ini:
  • Kenangan, seindah apa pun, tidak bisa selalu diulang. Terkadang waktu terlalu kelu untuk memberi kita kesempatan kembali.
  • Ketidakhadiran adalah bagian dari hidup, dan memeluk perasaan itu adalah salah satu cara berdamai dengan luka.
  • Tempat dan waktu menyimpan makna emosional yang dalam; mengenang adalah cara manusia untuk menghidupkan kembali apa yang pernah hangat.
  • Tidak semua perjalanan berakhir dengan kepulangan; ada perjalanan yang hanya bisa kita teruskan dalam ingatan.

Imaji

Puisi “Praha” sangat kaya dengan imaji visual, auditif, dan taktil, seperti:
  • “cuaca seperti senyum sesosok ibu di tepi mimpi” – metafora lembut yang memunculkan kehangatan sekaligus kesedihan.
  • “kota bermantel bulu”, “gelandangan seperti burung gereja tua”, “salju selembut kapas” – membentuk citra visual kota musim dingin yang memukau namun juga keras.
  • “denting cawan anggur”, “gitar di muka tungku”, “lampu-lampu kota” – menguatkan atmosfer intim namun sepi.
  • Imaji “salju tiba-tiba bisa jadi bringas” dan “lubang kunci berkarat” menandakan bahwa hal-hal yang dulu akrab bisa berubah menjadi asing dan menyakitkan.

Majas

Puisi ini juga dihiasi berbagai majas yang memperkaya lapisan maknanya:

Metafora:
  • “cuaca seperti senyum sesosok ibu di tepi mimpi” – membandingkan kelembutan suasana dengan kasih ibu yang tidak nyata.
  • “gelandangan seperti burung gereja tua” – menghadirkan imaji kelemahan dan kesendirian.
Personifikasi:
  • “waktu yang kelu, alpa akan janji setia” – waktu seolah menjadi sosok yang tak peduli lagi.
  • “pagi mendadak sekarat” – pagi diberi karakter kematian atau kehancuran.
Simile dan simbolisme:
  • “salju selembut kapas” – sekaligus menyiratkan keindahan dan potensi kehancuran.
  • “termos susu panas”, “cawan anggur berdentingan” – sebagai simbol kehangatan rumah dan kenangan kebersamaan.
Puisi “Praha” karya Wayan Jengki Sunarta adalah meditasi puitis atas waktu, tempat, dan kenangan yang membekas dalam jiwa. Ia menarasikan kota sebagai ruang batin, di mana kehidupan masa lalu bersemayam dan kerinduan tidak selalu menemukan pelabuhan. Dengan gaya bahasa yang lembut namun tajam, puisi ini mengajak kita menyelami makna dari kehilangan, keterasingan, dan harapan yang terkubur di bawah salju kenangan.

Dalam dunia yang terus berubah, kadang kita hanya bisa berdiri di persimpangan antara mimpi dan kenyataan, seperti si aku lirik dalam puisi ini—yang pada akhirnya menyadari bahwa “kau tak mesti kembali pada mimpi.”

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Praha
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.