Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Saka Punjering Panguripan (Karya Suripan Sadi Hutomo)

Puisi "Saka Punjering Panguripan" karya Suripan Sadi Hutomo bercerita tentang perjalanan batin manusia dalam menafsirkan hidup yang fana dan dunia ...
Saka Punjering Panguripan (1)


liwat sadhuwuring ayang-ayang
aku weruh glibeting si gatholoco
mlebu ronge si menco

liwat ing sandhuwuring ayang-ayang
aku krungu surake si jaka lodang
ngelemke sega wadhang

menyang ngendi paranku
menyang ngendi playuku
urut ilining banyu wudu


Saka Punjering Panguripan (2)


pandhom kang tansah mubeng seser
kaya dene klibate paser

gandewa kang manjing panah pusaka
kemelon ing dhuwuring iga

ya gene sliramu ora percaya
urip iki dudu ayang-ayang mega?


Saka Punjering Panguripan (3)


kasampurnan kang luwih sampurna
dununge ora na pasar bawera
uga ora na ing telenging kutha
kang mripat kaya watu kemlasa

dudu iki, dudu ika
awit ika lan iki
awit iki lan ika
: iki – ika, ika – iki

tampanana jiwa kang umop kaya
obyaking samodra
tampanana jiwa kang ngoyot kaya
banyu bune akasa

endhek dhuwure graita
ana ing slira

Surabaya, 31 Mei 1984

Sumber:  Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)

Analisis Puisi:

Puisi "Saka Punjering Panguripan" (yang berarti "Dari Inti Kehidupan") karya Suripan Sadi Hutomo adalah karya sastra yang mengalir dari kedalaman renungan spiritual, eksistensial, dan simbolik. Terbagi menjadi tiga bagian, puisi ini menyajikan permenungan tentang asal-usul, arah, dan hakikat hidup manusia. Dengan gaya puitik yang kental akan bahasa Jawa klasik dan metafor sufistik, puisi ini menjadi ruang kontemplatif untuk memahami apa yang sejatinya menjadi poros kehidupan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah hakikat hidup dan pencarian spiritual menuju kebenaran sejati. Dalam setiap bagiannya, puisi ini mencoba menyelami pertanyaan eksistensial seperti: dari mana manusia berasal, ke mana ia menuju, dan apa makna sejati dari kehidupan itu sendiri.

Tema-tema pendukung mencakup:
  • Pertentangan antara realitas dan bayangan (maya).
  • Ketidakyakinan terhadap dunia materiil.
  • Pencarian jiwa terhadap yang ilahi atau mutlak.
  • Keheningan sebagai jalan penerimaan dan pemahaman.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin manusia dalam menafsirkan hidup yang fana dan dunia yang penuh tipuan. Dalam bagian pertama, penyair menggambarkan penglihatan batin yang melampaui realitas semu (“liwat sadhuwuring ayang-ayang”), di mana tokoh-tokoh simbolik seperti si gatholoco dan si jaka lodang muncul sebagai representasi hawa nafsu, kegelapan, atau kekacauan spiritual.

Bagian kedua memperlihatkan pergolakan antara keraguan dan keyakinan, menyentuh aspek ketuhanan dan ketidakpastian eksistensi. Tokoh puitik menanyakan mengapa hidup tidak dipahami sebagai semu, sebagai bayangan belaka, meski simbol-simbol telah ditampilkan di sekitarnya.

Bagian ketiga adalah klimaks spiritual. Di sini, inti kehidupan tidak ditemukan di pasar, di kota, atau di tempat ramai lainnya, melainkan dalam jiwa yang pasrah, luas, dan mengakar dalam alam semesta. Penutupnya menyiratkan bahwa pemahaman tertinggi hanya dapat ditemukan di dalam diri sendiri.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini mengandung pesan-pesan berikut:
  • Hidup bukan semata realitas fisik, melainkan lapisan-lapisan persepsi dan kesadaran.
  • Segala yang tampak bisa menipu: apa yang kita lihat, dengar, dan anggap nyata, mungkin hanyalah bayangan atau ilusi (ayang-ayang).
  • Kebenaran hidup hanya dapat ditemukan dengan menyelami batin dan memaknai jiwa secara jernih dan pasrah.
  • Kekacauan dunia luar (digambarkan melalui “si gatholoco”, “pasar bawera”, dan “mripat kaya watu kemlasa”) bisa menutup jalan menuju kasampurnan sejati.
  • Penemuan spiritual bukan berada di luar diri, melainkan di dalam tubuh dan jiwa sendiri: "endhek dhuwure graita ana ing slira".

Suasana dalam Puisi

Puisi ini membangun suasana mistis, kontemplatif, dan penuh teka-teki, dengan sensasi seolah pembaca dibawa ke alam antara kesadaran dan mimpi. Terkadang muncul ketegangan batin, tetapi tidak pernah memuncak ke kecemasan — karena setiap bagian diserap dalam proses perenungan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Beberapa pesan moral dan spiritual yang dapat ditarik antara lain:
  • Jangan terjebak dalam keramaian dunia, karena ketenangan dan pencerahan tidak berada di tengah hiruk-pikuk, tetapi di kedalaman jiwa.
  • Kenalilah dirimu sendiri sebagai awal dari perjalanan menuju pemahaman hakiki tentang hidup.
  • Terimalah bahwa kebenaran bukan sesuatu yang harus dicari jauh-jauh, melainkan disadari dari dalam, dari keheningan batin.
  • Waspadai ilusi dan kesementaraan dunia, karena dunia sering menampilkan kebenaran palsu dalam bentuk kesenangan atau kekuasaan.

Imaji

Puisi ini dipenuhi dengan imaji-imaji simbolik dan abstrak, seperti:
  • “glibeting si gatholoco mlebu ronge si menco” – bayangan sosok gelap yang menyusup masuk ke ruang terdalam, menggambarkan pengaruh buruk atau kekacauan spiritual yang masuk ke dalam diri.
  • “ngelemke sega wadhang” – suara pujian yang ironis, menggambarkan pujian palsu terhadap kehampaan.
  • “gandewa kang manjing panah pusaka” – senjata sakral yang masuk ke tubuh, menggambarkan kekuatan spiritual yang menyatu dengan eksistensi.
  • “mripat kaya watu kemlasa” – mata yang keras dan tak berjiwa, menggambarkan manusia modern yang kehilangan nurani.
  • “obyaking samodra” dan “banyu bune akasa” – jiwa digambarkan sebagai lautan dan air langit, menciptakan imaji kosmis yang sangat kuat.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:

Metafora

Hampir seluruh puisi menggunakan metafora. Misalnya:
  • “kasampurnan kang luwih sampurna” – bukan kesempurnaan biasa, tetapi transendental.
  • “gandewa kang manjing panah pusaka” – menggambarkan persatuan kekuatan dan spiritualitas.
Personifikasi
  • Misalnya pada bagian “mripat kaya watu kemlasa”, mata yang disamakan dengan batu, menunjukkan hilangnya rasa.
Repetisi dan Paralelisme
  • “dudu iki, dudu ika / awit ika lan iki / awit iki lan ika” – pengulangan dan pembalikan kata untuk menciptakan efek puitik, sekaligus menekankan bahwa kebenaran tidak bisa disederhanakan hanya menjadi ‘ini atau itu’.
Simbolisme
  • Sosok-sosok seperti si gatholoco, si jaka lodang, gandewa, dan paser adalah simbol dari kekuatan baik dan buruk, serta pusaka jiwa dalam budaya Jawa.
Puisi "Saka Punjering Panguripan" adalah sebuah mantra filsafat dalam bentuk puisi. Suripan Sadi Hutomo menghadirkan perpaduan antara spiritualitas Jawa, kesadaran mistik, dan filsafat hidup yang mendalam. Bukan puisi yang bisa dibaca sekilas dan selesai, tetapi perlu diselami seperti seseorang yang mencari mutiara dalam kedalaman lautan batin. Tema yang kompleks, makna yang bertingkat, dan pilihan simbol yang puitis menjadikan puisi ini sebuah karya besar dalam khazanah sastra Jawa modern.

Bagi pembaca yang bersedia diam sejenak dan membuka ruang batin, puisi ini bisa menjadi petunjuk menuju “punjering panguripan” — pusat dari kehidupan itu sendiri.

Puisi Saka Punjering Panguripan
Puisi: Saka Punjering Panguripan
Karya: Suripan Sadi Hutomo

Biodata Suripan Sadi Hutomo:
  1. Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
  2. Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.