Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sebelum Senja (Karya Sri Hartati)

Puisi “Sebelum Senja” karya Sri Hartati bercerita tentang perjalanan batin seseorang yang mencoba bangkit dari luka-luka sosial dan eksistensial di ..
Sebelum Senja

Harus sudah menemu persinggahan dalam pandang
bumi lain bagi pijakan kemudian
untuk nasib yang kini terjangkit koreng
karena meningkahi gelegar kenyataan telanjang
beruapkan peradaban modern yang mengepul hangat

Di jagad itu, sirna alam pekuburan surealis
tiada lagi malam menggelepar
tiada lagi dada sendat disuruk cemas
tiada lagi degup jantung panas
tiada lagi berkejaran dengan diri sendiri

Maka jejak pun segera ditatah
dengan berbekal sisa nyali yang ada
tanpa gentar menantang langit terang membentang
sampai kecambah dalam hati ini mengelopak
dan kuntum mesra kemanusiaan menyembul
setelah itu
biar saja langit tak lagi bening

Yogyakarta, 1997

Sumber: Astana Kastawa 2 (2015)

Analisis Puisi:

Puisi berjudul “Sebelum Senja” karya Sri Hartati merupakan bentuk ekspresi puitik yang kompleks, sarat dengan refleksi eksistensial dan sosial. Ia hadir bukan sebagai puisi yang ringan, melainkan sebagai narasi batin yang dalam, menyentuh persoalan kemanusiaan dan dinamika peradaban modern. Di tengah dunia yang kian bising dan membingungkan, penyair membawa pembaca menengok sebuah ruang batin menjelang senja—waktu yang seringkali menjadi metafora renungan akan hidup dan arah perjalanan manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian makna dan harapan di tengah kepungan realitas modern yang keras dan melelahkan. Penulis menggambarkan proses transisi batin seseorang yang tengah mencari “persinggahan”—sebuah simbol dari tujuan hidup, ketenangan, atau titik damai—sebelum segalanya menjadi senja, sebelum semuanya terlambat.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seseorang yang mencoba bangkit dari luka-luka sosial dan eksistensial di tengah dunia modern, dunia yang penuh dengan "gelegear kenyataan telanjang" dan "peradaban modern yang mengepul hangat". Dalam dunia itu, individu merasa seperti sedang tersesat dalam dunia surealis, kehilangan pegangan, dan dikejar oleh ketakutan serta keraguan. Namun di akhir puisi, tokoh liris mencoba menetapkan jejak dan menumbuhkan kembali harapan melalui "kecambah dalam hati" dan "kuntum mesra kemanusiaan".

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah dorongan untuk menemukan kembali sisi kemanusiaan dan harapan di tengah kekacauan peradaban modern. Penyair mengisyaratkan bahwa meskipun dunia telah terinfeksi oleh “koreng” luka sosial dan nilai-nilai yang tercabik, masih ada kemungkinan untuk memperjuangkan kebaikan, kemanusiaan, dan arah hidup yang benar.

Ungkapan seperti “berbekal sisa nyali yang ada” menggambarkan betapa kecilnya kekuatan yang tersisa, namun tetap penting untuk menghadapi kenyataan yang membentang. Puisi ini menolak pasrah pada keadaan—ia justru menyerukan perlawanan melalui keteguhan hati dan keberanian menapak.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa suram namun membara. Di awal, terdapat nada melankolis dan getir: luka, keresahan, bahkan kehilangan arah. Namun seiring bait berjalan, suasana berubah menjadi semacam kebangkitan: pembaca dibawa pada momen keberanian, semangat untuk menata kembali hidup, dan merengkuh kemanusiaan meskipun langit tak lagi bening. Perubahan suasana ini menegaskan harapan yang tumbuh dari penderitaan.

Amanat atau Pesan yang Disampaikan

Pesan utama yang bisa ditarik dari puisi ini adalah:
  • “Di tengah dunia yang rumit dan penuh luka, manusia harus tetap berani menapak, tetap menanam benih harapan, dan memperjuangkan sisi kemanusiaannya meskipun dalam kondisi paling suram sekalipun.”
Penyair ingin mengatakan bahwa perubahan, meski dimulai dari “sisa nyali”, tetaplah mungkin dan bermakna. Ia mendorong pembaca untuk tidak larut dalam kekalutan dunia, tetapi justru bertransformasi menjadi pribadi yang menemukan kembali akar kemanusiaannya.

Imaji

Beberapa imaji kuat yang bisa dikenali dalam puisi ini antara lain:
  • “gelegear kenyataan telanjang” – imaji auditif dan visual yang menunjukkan kerasnya realitas tanpa tabir.
  • “peradaban modern yang mengepul hangat” – metafora yang menghadirkan kesan tekanan sosial dan budaya yang mendidih.
  • “tiada lagi malam menggelepar”, “tiada lagi dada sendat disuruk cemas” – menggambarkan kebebasan dari ketakutan dan beban batin.
  • “kecambah dalam hati ini mengelopak” dan “kuntum mesra kemanusiaan menyembul” – imaji yang mencerminkan harapan baru yang tumbuh dalam jiwa.

Majas

Puisi ini juga kaya akan majas yang memperkuat kekuatan ekspresifnya:

Metafora:
  • “nasib yang kini terjangkit koreng” – menggambarkan kondisi hidup yang rusak dan penuh luka, tanpa menyebutkan luka secara literal.
  • “gelegear kenyataan telanjang” – realitas digambarkan sebagai sesuatu yang bising dan brutal, tanpa dibungkus ilusi.
Personifikasi:
  • “malam menggelepar”, “dada sendat disuruk cemas” – malam dan dada diperlakukan seolah memiliki perasaan dan bisa beraksi.
Hiperbola:
  • “berkejaran dengan diri sendiri” – sebuah cara untuk menggambarkan konflik batin yang mendalam dan tidak berkesudahan.
Simbolisme:
  • “langit tak lagi bening” – bisa dimaknai sebagai simbol dari dunia yang tidak lagi ideal atau penuh kekacauan moral.
Puisi “Sebelum Senja” karya Sri Hartati adalah refleksi puitik yang menyentuh, menggambarkan bagaimana manusia, di tengah luka dan kehampaan peradaban, tetap bisa menumbuhkan harapan dan mengukir makna baru dari hidup. Melalui simbol-simbol kuat, puisi ini tidak hanya bicara soal waktu yang hampir habis, tetapi juga tentang semangat untuk melanjutkan—dengan hati yang tetap berani dan langkah yang tetap terarah.

Dengan gaya bahasa yang padat, simbolik, dan reflektif, “Sebelum Senja” bukan hanya sebuah puisi, melainkan juga seruan untuk menyadari nilai-nilai terdalam dalam diri manusia sebelum semuanya menjadi gelap dan senja benar-benar tiba.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Sebelum Senja
Karya: Sri Hartati

Biodata Sri Hartati:
  • Sri Hartati lahir pada tanggal 3 Desember 1954 di Sukabumi, Jawa Barat.
  • Sri Hartati meninggal dunia pada tanggal 7 Maret 2001.
© Sepenuhnya. All rights reserved.