Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sedih (Karya Dwiana Putri Setyaningsih)

Puisi “Sedih” karya Dwiana Putri Setyaningsih bercerita tentang seorang anak atau tokoh liris yang sedang dilanda kesedihan mendalam. Ia merasa ...

Sedih


Aku terdiam
Di antara sunyi yang makin mencekam
Aku ingin berkata
Tapi aku hanya bisa mengtmyah kata-kata

Aku menangis
Di antara petir yang membuat hati teriris
Aku ingin tertawa terbahak-bahak
Tapi aku hanya membuat gelisah meledak

Aku bersedih
Di antara orang yang hatinya pedih
Aku ingin tersenyum
Tapi aku hanya bisa membuat tangis mengaum

Aku mengantuk
Di antara burung kecil yang mematuk-matuk
Aku ingin senyum mentari merekah
Tapi, aku hanya bisa membuatnya meledak marah

Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)

Analisis Puisi:

Puisi berjudul “Sedih” karya Dwiana Putri Setyaningsih merupakan salah satu karya yang termuat dalam buku Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Meski termasuk dalam kategori puisi anak, puisi ini justru mengusung nuansa yang kelam dan reflektif, menggambarkan kompleksitas emosi yang bisa dialami siapa saja, termasuk anak-anak. Dengan struktur 4 bait dan masing-masing 4 baris, puisi ini mengalir dengan intensitas rasa yang padat, mengantar pembaca menyelami perasaan sedih yang tidak bisa diekspresikan secara utuh.

Tema

Puisi “Sedih” mengangkat tema kesedihan yang terpendam. Kesedihan itu tidak hadir dalam bentuk air mata belaka, tetapi dalam kebisuan, kekecewaan, kegelisahan, bahkan rasa takut untuk mengekspresikan diri. Tema ini menegaskan bahwa anak-anak pun mengalami gejolak batin yang dalam dan kadang sulit diungkapkan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah tentang ketidakmampuan seseorang untuk menyalurkan emosi secara bebas. Tokoh dalam puisi ingin bicara, tertawa, atau tersenyum, tetapi terhalang oleh suasana yang tidak mendukung atau oleh tekanan batin yang berat. Ini bisa dibaca sebagai bentuk keterasingan batin, perasaan yang kerap muncul saat seseorang merasa tidak didengarkan, tidak dimengerti, atau takut akan respons lingkungan.

Secara lebih dalam, puisi ini juga bisa dipahami sebagai sindiran terhadap dunia yang kurang peka terhadap perasaan anak-anak, yang seringkali menekan mereka agar diam, sabar, atau “baik-baik saja” meskipun hati mereka sedang tidak baik-baik saja.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang tampak dalam karya ini antara lain:
  • Bait: Terdiri dari 4 bait, dengan masing-masing bait terdiri dari 4 baris.
  • Diksi: Penggunaan kata-kata seperti “mencekam”, “teriris”, “mengaum”, dan “meledak marah” menciptakan suasana yang dramatis dan emosional.
  • Gaya Bahasa: Didominasi oleh penggunaan majas yang memperkuat suasana puisi.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak atau tokoh liris yang sedang dilanda kesedihan mendalam. Ia merasa sendirian, tidak mampu bicara, dan tidak bisa menunjukkan perasaan sebenarnya. Ia ingin tertawa dan tersenyum, tetapi emosi negatif yang kuat menahannya. Di sekitar tokoh, dunia tampak kelam: petir yang mengiris, orang-orang yang pedih, dan bahkan burung kecil yang mematuk-matuk. Semua ini memperkuat narasi bahwa dunia batin si tokoh dipenuhi rasa takut, pilu, dan tekanan emosional.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah sunyi, mencekam, dan gelap. Penggunaan diksi seperti “mencekam”, “teriris”, “mengguncang”, dan “meledak marah” menciptakan suasana batin yang penuh tekanan. Suasana ini mencerminkan bahwa kesedihan dalam puisi bukanlah tangisan biasa, melainkan emosi yang memuncak tetapi terbungkam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa kesedihan yang tidak disuarakan bisa menjadi beban yang semakin berat. Orang-orang — termasuk anak-anak — membutuhkan ruang aman untuk mengungkapkan perasaannya. Jangan abaikan tanda-tanda kesedihan yang tidak terlihat, karena diam bisa jadi bentuk jeritan paling nyaring. Puisi ini juga menyampaikan pesan empati: penting bagi kita untuk memahami bahwa tidak semua orang bisa tersenyum meski mereka ingin, dan tidak semua kesedihan bisa terlihat dari permukaan.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji visual dan audio yang kuat, seperti:
  • “petir yang membuat hati teriris” – menyuguhkan visual sekaligus rasa perih dalam metafora.
  • “gelisah meledak”, “tangis mengaum”, “meledak marah” – menciptakan gambaran bunyi dan letupan emosi yang intens.
  • “burung kecil yang mematuk-matuk” – menambahkan suasana gangguan kecil yang membuat keadaan semakin tidak nyaman.
Imaji-imaji ini memperkuat tekanan emosi dalam puisi dan membuat pembaca bisa merasakan kesedihan si tokoh dengan lebih nyata.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:

Personifikasi:
  • “sunyi yang makin mencekam” – sunyi diberi sifat seperti makhluk yang bisa menakuti.
  • “tangis mengaum”, “gelisah meledak”, “senyum mentari” – emosi dan elemen alam diberi tindakan manusia atau hewan.
Metafora:
  • “petir yang membuat hati teriris” – menyandingkan kekuatan petir dengan rasa sakit emosional.
  • “aku hanya membuatnya meledak marah” – menggambarkan bahwa senyuman si tokoh bisa menjadi pemicu amarah, mungkin dari orang lain.
Hiperbola:
  • “tangis mengaum” – memperkuat kesan bahwa kesedihan bukan hanya diam, tetapi menggelegar dalam batin.
  • “meledak marah” – emosi dilukiskan dengan intensitas letupan.

Menyuarakan Sunyi dalam Diri Anak

Puisi “Sedih” karya Dwiana Putri Setyaningsih adalah contoh nyata bahwa puisi anak tak melulu tentang tawa dan permainan. Ia bisa menjadi ruang yang jujur untuk menampung dan mengekspresikan rasa sedih yang sulit diucap. Dengan gaya bahasa yang puitis, struktur yang rapi, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini menyampaikan suara anak-anak yang merasa terpenjara oleh emosi mereka sendiri.

Puisi ini mengajarkan pembaca untuk tidak menganggap remeh kesedihan, terutama kesedihan anak. Setiap emosi, sekecil apa pun, perlu didengar dan dimengerti. Karena di balik diamnya seorang anak, bisa saja tersembunyi badai emosi yang menunggu untuk disapa.

Dwiana Putri Setyaningsih
Puisi: Sedih
Karya: Dwiana Putri Setyaningsih

Biodata Dwiana Putri Setyaningsih:
  • Dwiana Putri Setyaningsih lahir pada tanggal 6 Maret 2002 di Banjarnegara.
© Sepenuhnya. All rights reserved.