Analisis Puisi:
Puisi "Senja Nan Luka" karya Mustiar AR merupakan potret lirih dari kegelisahan batin seorang lelaki tua yang hidup dalam sepi, dikepung kenangan, dan terpenjara oleh janji-janji masa lalu yang belum tertunaikan. Dalam balutan bahasa yang sarat makna dan metafora, puisi ini menyentuh sisi terdalam dari pengalaman manusia: kerinduan akan pulang, harapan yang rapuh, dan kelelahan yang tak terucap.
Tema
Puisi ini mengusung tema tentang kesepian, penyesalan, dan kerinduan akan rumah atau kampung halaman menjelang akhir hidup. “Senja” di sini bukan hanya simbol waktu menjelang malam, tapi juga metafora usia senja—fase hidup ketika seseorang mulai menghadapi kefanaan dan kenangan masa lalu. Puisi ini juga mengandung nuansa spiritual dan eksistensial tentang kepulangan, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin dan emosional.
Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki separuh baya yang duduk dalam sepi, membiarkan waktu berlalu dengan menyulam harapan yang diselimuti asap dan kepedihan. Ketika senja tiba dan gerimis turun, lelaki itu pergi tanpa arah yang jelas. Ia meninggalkan pesan di ranting rapuh—sebuah simbol dari kondisi dirinya yang rapuh secara fisik dan emosional.
Pesan yang dititipkan adalah wasiat kematian: jika ia mati, jasadnya ingin dihanyutkan ke samudera, agar janjinya—entah kepada siapa—ditunaikan dalam gelombang laut. Dan yang paling menyayat, di akhir puisi ia berbisik lirih, “Mak, aku ingin pulang.” Sebuah seruan yang begitu manusiawi, rindu akan pelukan ibu, akan rumah, akan tempat yang disebut "asal."
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat dalam dan menyentuh. Lelaki separuh baya itu mewakili manusia-manusia yang terlantar, tersisih, atau terasing di usia senja. Ia menyulam asa dalam kesepian dan mungkin menghadapi penyesalan atas janji-janji yang belum terpenuhi—baik janji kepada diri sendiri, kepada orang tercinta, atau bahkan kepada kehidupan itu sendiri.
Permintaan untuk dihanyutkan ke samudera menandakan keinginannya untuk larut, lebur, dan disucikan oleh alam. Samudera di sini menjadi simbol keabadian, pelepasan, atau kepulangan metafisis.
Kalimat terakhir—“Mak, aku ingin pulang”—menjadi pusat emosional puisi ini. Ia mengandung kerinduan purba manusia: untuk kembali ke tempat yang paling otentik, tempat di mana cinta dan penerimaan tidak bersyarat pernah ada—pelukan seorang ibu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah sendu, muram, dan penuh luka batin. Senja yang temaram dan bumi yang “menggigil di pelukan gerimis” menciptakan atmosfer dingin dan pilu. Pembaca dapat merasakan keheningan yang mencekam, seperti waktu yang melambat, seolah menunggu sesuatu yang tak akan pernah tiba.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini bisa dibaca sebagai peringatan tentang pentingnya menepati janji dan memelihara hubungan dengan orang-orang terkasih sebelum terlambat. Puisi ini juga menyuarakan bahwa di balik tubuh renta dan sunyi, sering kali ada hati yang penuh luka, kenangan, dan harapan untuk pulang—baik pulang secara harfiah maupun pulang dalam arti batin.
Ada pula pesan tentang kerinduan universal manusia terhadap ibu, rumah, dan kampung halaman. Bahwa setinggi apapun manusia pergi, pada akhirnya yang diinginkan hanyalah kepulangan yang damai.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual dan perasaan yang kuat:
Visual:
- “Senja kian temaram” – menggambarkan redupnya cahaya, pertanda waktu yang makin tua.
- “Bumi menggigil di pelukan gerimis” – personifikasi bumi yang terasa dingin dan menderita, seolah ikut merasakan kesedihan tokoh.
- “Di ranting rapuh, ia titipkan pesan” – gambaran konkret yang menjadi simbol harapan dan wasiat yang ditinggalkan dalam keadaan rapuh.
Emosional:
- “Mak, aku ingin pulang” – imaji emosional yang sangat kuat, mampu menyentuh sisi personal pembaca tentang arti rumah dan kehangatan seorang ibu.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
Personifikasi:
- “Bumi menggigil di pelukan gerimis” – bumi digambarkan seperti manusia yang bisa merasa kedinginan dan kesedihan.
- “Mematuk-matuk hari sepi” – hari sepi diperlakukan seolah-olah bisa dipatuk seperti makanan, memperlihatkan kehidupan yang dijalani seadanya.
Metafora:
- “Menyulam asa dikepung asap” – menyulam asa adalah metafora dari membangun harapan di tengah kesuraman hidup.
- “Ranting rapuh” – sebagai simbol dari kondisi fisik dan psikologis yang mulai melemah, tempat wasiat atau pesan dititipkan.
Hiperbola:
- “Hanyutkan jasadku ke samudera” – permintaan ini meski tidak literal, mengandung kekuatan ekspresif untuk menggambarkan pelepasan dan keinginan menyatu dengan alam.
Repetisi simbolik:
- Pengulangan tokoh “lelaki separuh baya itu” menegaskan kesendiriannya dan menjadi penanda fase kehidupan yang sedang dijalani.
Puisi "Senja Nan Luka" karya Mustiar AR adalah puisi yang menggambarkan perjalanan batin manusia menjelang senja kehidupannya. Dengan tema tentang kesepian, kerinduan, dan penyesalan, puisi ini bercerita tentang seorang lelaki yang bergulat dengan kenangan dan janji-janji lama.
Melalui makna tersirat yang dalam, suasana dalam puisi yang pilu, serta kekuatan imaji dan penggunaan majas yang menyentuh, puisi ini menyampaikan amanat tentang pentingnya pulang—baik secara fisik maupun spiritual—sebelum waktu benar-benar habis. Dan di balik semua itu, kita diingatkan bahwa setiap manusia, setua atau sekeras apapun wajahnya, tetaplah anak dari seorang ibu yang suatu hari ingin berkata, “Mak, aku ingin pulang.”
Karya: Mustiar AR