Siapa
kubuka jendela taman berjalan
di antara pohonan sungai menjalar
kusampaikan serapah kemenyan luka
buaya terbang menggigit sisa
ku tak ingin indah eloknya rupa
paras sungai ambillah kalian
aku menyelam di kediaman batu
apalah diri kalau tak duri
menikam nikam di dalam diam
siapa bernyanyi? entahlah! siapa tahu? tak tahulah! apa yang
baku? kalau tak kamu! mengapa rindu? kalau tak batu! diancuk
nyeri badan bergoyang, siapa sayang kalau tak malang
kurentang tangan di atas pohonan
burung menari di jemari darah
mengalir hari di pembuluh matari
mengalir badan di kediaman bulan
kekasih telukmu dalam
batang ampas jiwa terkurung
merpati sayapmu jadi
langit tak sampai seharihari
meski kutahu maunya abad
aku bercakap kenyerian saat
siapa tegang? kelamin zaman. Mengapa hari? kurancap siang!
apa yang lebat? jembut duka. mengapa rapat? nyerinya saat!
ha ha ha ha jarum berserabut dalam mulut tawa kembalikan ke-
abadian kata kudaku, kekasih telukmu dalam kapalku sampai
pelabuhan hilang, merpati sayapmu jadi langit tak sampai se-
hari hari
siapa tenggangngngng
1979
Sumber: O Amuk Kapak (1981)
Analisis Puisi:
Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair Indonesia paling eksperimental, yang dikenal melalui pendekatannya terhadap puisi sebagai bentuk “mantera” dan “permainan kata” yang merdeka dari beban logika. Dalam puisi “Siapa”, kita disuguhkan sebuah karya yang memadukan absurditas, simbolisme liar, dan kebebasan bunyi dalam ritme yang menghantui. Puisi ini menjadi ruang yang membuka makna dari lapisan-lapisan bahasa, kesadaran, dan tubuh.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah eksistensi manusia dalam kekacauan bahasa, cinta yang absurd, dan pencarian identitas melalui tubuh dan luka. Ada juga sentuhan tema rasa sakit, kehilangan, absurditas cinta, serta keinginan melawan logika formal kehidupan modern. Sutardji seperti menolak keutuhan logika dan justru menggali pengalaman manusia melalui kekacauan bunyi dan asosiasi liar dalam kata.
Makna Tersirat
Secara makna tersirat, puisi ini melontarkan pertanyaan tentang siapa kita dalam dunia yang absurd dan penuh kepalsuan. Tokoh aku liris dalam puisi tampak ingin melepaskan diri dari norma estetika dan logika bahasa, memilih menelusuri sisi gelap diri dan dunia lewat tubuh, luka, dan gairah. Kalimat seperti:
“apalah diri kalau tak durimenikam nikam di dalam diam”
…menunjukkan bahwa keberadaan manusia tak lain adalah luka—duri yang menyakiti dalam kesunyian. Hal ini bisa dibaca sebagai refleksi spiritual atau psikis: bahwa eksistensi kita penuh dengan derita yang tersembunyi namun nyata.
Puisi ini juga menyisipkan kritik terhadap bahasa baku dan norma sosial, misalnya dalam:
“apa yangbaku? kalau tak kamu!”
Pernyataan ini menantang struktur makna yang mapan. Ada unsur pembebasan dari kaidah—baik bahasa maupun cinta. Penyair seolah mencibir keteraturan dan memilih kekacauan sebagai kejujuran.
Secara naratif, puisi ini bercerita tentang perjalanan batin dan tubuh seorang tokoh aku liris yang melewati ruang dan waktu yang tak stabil. Ia membuka jendela, berjalan di taman, menyelam ke dalam batu, dan menyatu dengan luka, darah, dan nyeri. Ia seolah menyusuri perjalanan cinta yang tidak romantis, melainkan berdarah dan menyakitkan. Kekasih yang disebutkan tak pernah benar-benar nyata, tetapi menjadi simbol dari keterasingan dan kerinduan yang tak pernah sampai:
“kekasih telukmu dalambatang ampas jiwa terkurung”
Cinta dalam puisi ini bukan kebahagiaan, melainkan penjara eksistensial yang menyesakkan.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji yang mencolok dan tak biasa. Imaji ini seringkali bersifat surealistik, membentuk lanskap mental yang mengganggu tapi memikat. Misalnya:
- “burung menari di jemari darah”: imaji visual dan kinestetik yang memadukan kelembutan dan kekerasan.
- “jarum berserabut dalam mulut tawa”: imaji auditif dan taktil yang membentuk rasa perih dari tawa yang bukan sukacita.
- “merpati sayapmu jadi langit tak sampai sehari-hari”: metafora kehilangan harapan dan keterputusan dari harapan-harapan kecil dalam hidup.
Imaji dalam puisi ini tidak mendeskripsikan realitas secara langsung, melainkan membentuk lanskap emosional yang bergelora.
Majas
Beberapa majas (gaya bahasa) dominan dalam puisi ini adalah:
Metafora: Hampir seluruh puisi dibangun lewat metafora, contohnya:
- “aku menyelam di kediaman batu” — metafora keterasingan atau kekakuan emosional.
- “kelamin zaman” — sindiran terhadap kondisi zaman yang dikaitkan dengan tubuh dan birahi.
Personifikasi: Ada penyematan sifat hidup kepada hal tak bernyawa, misalnya:
- “burung menari di jemari darah” — darah diberi citra tubuh yang bergerak.
Paralelisme dan pengulangan: Digunakan untuk memperkuat efek mantra dan musikalitas:
- “siapa bernyanyi? entahlah! siapa tahu? tak tahulah!”
Simbolisme erotik dan tubuh: Kalimat seperti:
- “apa yang lebat? jembut duka”
adalah bentuk eksplisit dari pencampuran simbol tubuh dan rasa sakit. Ini menunjuk pada majas hiperbola sekaligus simbolisme tubuh sebagai penderitaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini secara samar menyampaikan pesan tentang keterasingan manusia dalam bahasa, cinta, dan eksistensi. Di tengah absurditas dunia, pencarian makna melalui cinta atau tubuh seringkali berakhir dalam luka dan kebingungan. Puisi ini seolah berkata bahwa kehidupan bukanlah narasi yang rapi, tapi serpihan-serpihan bunyi dan rasa yang tak terkatakan.
Ada pula amanat tersembunyi yang bersifat subversif terhadap sistem, yaitu bahwa kebenaran personal, kenikmatan, dan kesakitan tidak selalu bisa dijelaskan lewat tatanan sosial yang baku.
Puisi “Siapa” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebuah eksplorasi eksistensial yang intens melalui kebebasan bahasa, tubuh, dan luka. Dengan tema tentang pencarian diri dan cinta dalam kekacauan, puisi ini menampilkan makna tersirat tentang absurditas hidup, disampaikan dengan imaji yang liar dan penuh majas simbolik serta erotik. Ia bercerita tentang seorang aku liris yang menyelam dalam kehancuran dan gairah, sambil terus menantang pertanyaan siapa yang bernyanyi, siapa yang rindu, siapa yang tetap waras dalam zaman gila.
Sutardji tidak menawarkan jawaban. Ia justru membuka ruang bagi pembaca untuk tenggelam dalam absurditas bahasa yang menggoda, seperti luka yang merindukan sembilu.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
