Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sebuah Sajak untuk Tuhan (Karya Ayatrohaedi)

Puisi "Sebuah Sajak untuk Tuhan" karya Ayatrohaedi bercerita tentang pengakuan manusia terhadap Tuhan sebagai satu-satunya Mahapencipta, yang telah ..
Sebuah Sajak untuk Tuhan

Tuhan dengan segala hati yang tulus
Kunyatakan bahwa tiada Mahapencipta
Selain kau, dari segala tiada
Kau jadikan segala rupa: langit dan angkasa
Bumi dan Samudra. Lengkap dengan segala isinya

Terlalu banyak nama, terlalu banyak warna
Yang semuanya adalah Kau.
Tak satu pun yang 'kan sama sekali serupa
Itu semua adalah lantaran Kau

Dan dengan segala hati yang tulus
Ku nyatakan bahwa Mahapencipta
Hanyalah Kau
Dari segala yang ada
Kau pulangkan kepada tiada: tubuh jadi tanah
Di nadi berhenti mengalir nada

Semua yang dari kau berasal
Pada-Mu pula 'kan kembali: pulang ke asal
Tak ada tawar menawar lagi, seperti
Yang terjadi di pasar setiap hari
Karena kamu berpangkal pada pasti.

Kembali pun tak mungkin ke tempat yang lain lagi.

Analisis Puisi:

Puisi "Sebuah Sajak untuk Tuhan" karya Ayatrohaedi merupakan bentuk perenungan spiritual yang dalam tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Disusun dalam diksi sederhana namun penuh makna, puisi ini menyiratkan sikap kepasrahan, pengakuan atas kebesaran Tuhan, dan kesadaran eksistensial manusia sebagai makhluk fana. Melalui larik-larik yang sarat imaji dan refleksi, Ayatrohaedi membawa pembaca pada pemahaman mendalam tentang keabadian Tuhan dan kefanaan ciptaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketuhanan dan kesadaran eksistensial manusia. Ayatrohaedi menegaskan keberadaan Tuhan sebagai Mahapencipta yang tunggal, yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan dan akan mengembalikannya pula ke ketiadaan. Ia mengangkat relasi antara yang abadi (Tuhan) dan yang sementara (ciptaan) sebagai poros utama sajaknya.

Di sisi lain, tema tentang kepasrahan total kepada kehendak Ilahi juga kuat terasa. Pengakuan yang tulus dari manusia terhadap kekuasaan Tuhan di seluruh semesta menjadi landasan dari isi dan semangat puisi ini.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan kesadaran spiritual yang mendalam: semua yang ada di dunia ini hanyalah bayang-bayang dari Tuhan. Keberagaman nama, bentuk, dan warna sejatinya hanya pantulan dari satu sumber: Tuhan sendiri.

Makna tersirat lainnya adalah kesementaraan hidup manusia. Penyair menyampaikan bahwa tubuh yang hidup akan kembali menjadi tanah, dan nada kehidupan akan berhenti mengalir di nadi. Itu bukan karena kekalahan, melainkan karena kepastian: segala sesuatu pasti kembali kepada Tuhan.

Baris seperti:

"Tak ada tawar menawar lagi, seperti / Yang terjadi di pasar setiap hari"

menunjukkan bahwa tidak ada negosiasi dengan kematian. Ini merupakan sindiran halus terhadap manusia yang sering kali menunda-nunda perenungan akhir hidup karena terlalu sibuk dengan urusan duniawi.

Puisi ini bercerita tentang pengakuan manusia terhadap Tuhan sebagai satu-satunya Mahapencipta, yang telah menjadikan segala sesuatu dari ketiadaan dan akan mengembalikan semuanya kepada ketiadaan pula. Puisi ini juga menggambarkan perjalanan hidup dari asal-usul ciptaan menuju kepulangan kembali kepada Tuhan, tanpa adanya pilihan lain atau kemungkinan lain selain menerima ketetapan-Nya.

Kisah yang diceritakan bersifat universal dan eksistensial. Ini bukan tentang individu tertentu, tetapi tentang setiap makhluk hidup yang tidak bisa lari dari asal dan tujuan keberadaannya.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa khusyuk, tenang, dan kontemplatif. Pembaca seakan diajak untuk duduk diam, menatap langit, dan merenungi kebesaran Tuhan serta kefanaan hidup mereka sendiri. Tidak ada kegaduhan, tidak ada amarah, hanya ketenangan dalam pasrah.

Namun di balik ketenangan itu, terdapat getar keagungan dan rasa tunduk yang sangat dalam—sebuah bentuk ekspresi spiritual dari seseorang yang telah menyadari bahwa dunia ini hanyalah persinggahan, dan bahwa perjalanan yang sesungguhnya adalah menuju kembali kepada Tuhan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat utama yang disampaikan puisi ini adalah:
  • Tuhan adalah satu-satunya sumber dan tujuan dari segala sesuatu.
  • Hidup adalah sementara, dan kepulangan kepada Tuhan adalah keniscayaan.
  • Manusia seharusnya bersikap tunduk dan ikhlas menerima kenyataan tersebut.
  • Tidak ada daya dan upaya untuk melawan siklus ini, karena semua telah ditetapkan sejak awal oleh Sang Pencipta.
Puisi ini mendorong pembacanya untuk merenung, bersyukur, dan tidak terjebak pada ilusi dunia. Pasar, sebagai simbol tawar-menawar, digambarkan sebagai dunia tempat manusia sering berpura-pura memiliki kontrol, padahal dalam hal kehidupan dan kematian, tidak ada ruang untuk negosiasi.

Imaji

Puisi ini menghadirkan beberapa imaji visual dan konseptual yang kuat, antara lain:
  • Imaji kosmis: “Langit dan angkasa / Bumi dan Samudra” Imaji ini melukiskan kebesaran Tuhan melalui ciptaan-Nya yang tak terhingga.
  • Imaji biologis dan kematian: “Tubuh jadi tanah / Di nadi berhenti mengalir nada” Menggambarkan kondisi tubuh setelah kematian, dengan metafora yang lembut dan puitis.
  • Imaji sosial: “Tak ada tawar menawar lagi, seperti / Yang terjadi di pasar setiap hari” Imaji ini membawa suasana pasar yang riuh, kontras dengan kepastian sunyi tentang kematian.
Melalui imaji-imaji tersebut, pembaca dapat merasakan keagungan Tuhan, kefanaan hidup, dan ketegasan takdir yang tak bisa dihindari.

Majas

Beberapa majas atau gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Repetisi (Pengulangan)
  • “dengan segala hati yang tulus” Pengulangan ini menegaskan ketulusan sang aku dalam menyampaikan pengakuannya kepada Tuhan.
Metafora
  • “Di nadi berhenti mengalir nada” → nada adalah metafora untuk denyut kehidupan.
  • “Tubuh jadi tanah” → tubuh kembali ke asal-muasalnya, yakni tanah.
Personifikasi
  • “Nada mengalir di nadi” → nada diberi sifat manusia, seolah-olah ia bisa mengalir dalam pembuluh darah.
Simbolisme
  • Pasar sebagai simbol dunia, tempat negosiasi dan tawar-menawar; di akhirat, simbol ini digugurkan karena semua pasti dan tidak bisa dinegosiasikan.
Paradoks
  • “Dari segala tiada / Kau jadikan segala rupa” Menyiratkan bahwa dari kekosongan, Tuhan mampu menciptakan keragaman bentuk. Ini memberikan efek ketercengangan dan pengagungan terhadap kekuasaan Tuhan.
Puisi "Sebuah Sajak untuk Tuhan" karya Ayatrohaedi adalah ekspresi spiritual yang menggugah dan penuh kesadaran akan keberadaan Tuhan. Dengan tema ketuhanan, makna tersirat tentang kefanaan, dan diksi sederhana yang mengandung kedalaman, puisi ini mengajak pembacanya untuk menunduk dan merenung. Imaji kosmis hingga sosial disuguhkan dengan tenang, dalam suasana kontemplatif yang memperkuat pesan bahwa hidup berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, tanpa bisa ditawar.

Dengan menyajikan kepasrahan sebagai bentuk kekuatan, Ayatrohaedi mengajarkan kita bahwa mengenali asal dan tujuan hidup adalah langkah pertama untuk memahami makna keberadaan.

Ayatrohaedi
Puisi: Sebuah Sajak untuk Tuhan
Karya: Ayatrohaedi
© Sepenuhnya. All rights reserved.