Analisis Puisi:
Puisi "Banda Aceh" karya L.K. Ara adalah karya singkat namun sarat makna. Meskipun hanya terdiri dari empat larik, puisi ini mampu menyampaikan perasaan mendalam terhadap sebuah kota yang memiliki sejarah panjang, luka, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.
Tema
Tema puisi ini adalah kenangan dan sejarah. Penyair mengajak pembaca merenungkan ingatan masa lalu tentang Banda Aceh yang terpatri kuat dalam benak, seakan menjadi pahatan sejarah yang tak akan hilang.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengenang Banda Aceh melalui simbol-simbol sejarah yang masih tersisa. Batu bersejarah menjadi medium bisu yang menyimpan cerita masa lalu. Sentuhan fisik—“kuraba dengan rindu”—menunjukkan bahwa kenangan itu bukan hanya tersimpan di pikiran, tetapi juga dirasakan dengan emosi yang kuat.
Makna Tersirat
Makna tersiratnya adalah bahwa sejarah sebuah tempat bukan hanya tersimpan di buku atau arsip, tetapi juga tertanam dalam benda-benda nyata yang menyimpan jejak masa lalu. Ada rasa kehilangan dan kerinduan di balik penggambaran itu, seolah penyair merindukan suasana atau orang-orang yang pernah hadir di masa lampau. Puisi ini juga memberi pesan bahwa ingatan sejarah adalah sesuatu yang harus dijaga dan dihargai.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang muncul adalah melankolis dan penuh kerinduan. Larik-lariknya menciptakan kesan hening, seperti seseorang yang berdiri di depan sebuah monumen bersejarah, memandangi dan merasakan beban emosional dari kenangan yang tersimpan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya mengenang dan menghargai sejarah. Masa lalu, meski telah berlalu, tetap memiliki nilai yang tak ternilai karena membentuk identitas suatu tempat dan masyarakatnya.
Imaji
- Imaji visual: “pahatan sejarah di batu” menggambarkan relief atau prasasti yang merekam peristiwa masa lalu.
- Imaji peraba: “kuraba dengan rindu” menghadirkan sensasi fisik menyentuh batu bersejarah, seakan ingin menyerap kembali kenangan yang terkandung di dalamnya.
Majas
- Metafora: “pahatan sejarah di batu” menjadi lambang dari kenangan dan peristiwa yang terekam secara permanen.
- Personifikasi: “goresan bisu” memberi sifat manusia pada benda mati, seolah batu itu mampu bercerita namun memilih diam.