Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Desa Tua Kehilangan Penghuni (Karya Syamsu Indra Usman)

Puisi "Desa Tua Kehilangan Penghuni" karya Syamsu Indra Usman bercerita tentang sebuah desa tua yang kehilangan penghuni. Dikisahkan bahwa pada ...
Desa Tua Kehilangan Penghuni

Desa tua itu kehilangan penghuni
Saat menjelang maghrib desa nampak sepi
Saat pagi hari tak terdengar lagi burung-burung berkicau
Angin tak jua lagi berhembus seperti acap kali
Senandung lagu-lagu yang sering dilantunkan tak lagi mengalun
Para tetua adat tak lagi nampak berkumpul di emben-emben desa
Anak-anak dusun tak lagi terlihat pergi mengaji
Rumah-rumah telah lengang
Di sana sini tumbuh rumput-rumput belukar
Mereka telah lama pergi meninggalkan tanah leluhur
Desa tak lagi menjanjikan kehidupan
Tanah telah gersang sungai pun kering disiram kemarau.

Lubuk Puding, 2010

Sumber: Bisikan Malaikat (2012)

Analisis Puisi:

Puisi "Desa Tua Kehilangan Penghuni" karya Syamsu Indra Usman adalah salah satu karya yang menyuarakan keresahan tentang perubahan ruang hidup, khususnya desa sebagai simbol tradisi, harmoni, dan kebersamaan. Puisi ini bukan hanya sekadar menggambarkan kondisi fisik desa yang ditinggalkan, melainkan juga menghadirkan perasaan kehilangan, keterputusan, dan pergeseran nilai-nilai kehidupan yang sebelumnya begitu erat.

Melalui larik-larik yang sederhana namun penuh makna, penyair berhasil menghadirkan refleksi tentang bagaimana desa yang dulunya penuh kehidupan, kini berubah menjadi ruang sepi yang ditinggalkan. Untuk lebih memahami, mari kita telaah unsur-unsur penting dalam puisi ini.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehampaan dan keterasingan akibat hilangnya kehidupan di sebuah desa tua. Desa yang sebelumnya menjadi pusat kebersamaan, pendidikan, dan aktivitas sosial, kini ditinggalkan oleh para penghuninya. Tema ini juga bisa dikaitkan dengan persoalan urbanisasi, degradasi lingkungan, dan perubahan sosial yang membuat desa kehilangan daya tariknya sebagai tempat hidup.

Puisi ini bercerita tentang sebuah desa tua yang kehilangan penghuni. Dikisahkan bahwa pada waktu menjelang maghrib desa tampak sepi, pada pagi hari tidak terdengar lagi kicau burung, bahkan angin pun seolah berhenti berhembus. Simbol-simbol kehidupan desa seperti tetua adat yang biasa berkumpul, anak-anak yang pergi mengaji, serta rumah-rumah yang dulu ramai kini hanya meninggalkan lengang. Desa itu ditinggalkan karena tidak lagi mampu menjanjikan kehidupan—tanahnya gersang, sungainya kering, dan lingkungannya penuh belukar.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap hilangnya ikatan manusia dengan tanah leluhur dan akar tradisi. Desa yang ditinggalkan menggambarkan realitas sosial bahwa manusia semakin terasing dari ruang asalnya karena tekanan modernitas, kondisi ekonomi, dan degradasi lingkungan. Selain itu, puisi ini juga menyimpan pesan bahwa perubahan alam dan lingkungan berdampak besar pada keberlangsungan komunitas. Desa yang gersang dan sungai yang kering menegaskan betapa krisis ekologi dapat mengusir manusia dari tanah kelahirannya.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini adalah sepi, muram, dan penuh kehilangan. Dari gambaran “desa nampak sepi menjelang maghrib”, “tak terdengar lagi burung berkicau”, hingga “rumah-rumah telah lengang”, semua menghadirkan nuansa keterasingan yang mendalam. Penyair menempatkan pembaca seolah berjalan di sebuah desa tua yang sudah tak berpenghuni, di mana hanya sunyi dan kerusakan alam yang tersisa.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya menjaga desa, lingkungan, dan akar kebudayaan agar tidak hilang ditelan perubahan zaman. Penyair ingin mengingatkan bahwa meninggalkan tanah leluhur demi modernitas sering kali mengorbankan nilai kebersamaan, tradisi, dan ekologi. Amanatnya juga mengajak kita untuk merenungkan kembali hubungan antara manusia dengan alam—bahwa tanpa tanah yang subur dan air yang mengalir, sebuah desa tidak bisa bertahan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan imaji auditif.
  • Imaji visual tampak pada gambaran “rumah-rumah telah lengang”, “di sana sini tumbuh rumput-rumput belukar”, “tanah telah gersang sungai pun kering”. Semua membentuk bayangan nyata tentang desa yang ditinggalkan.
  • Imaji auditif muncul dalam “tak terdengar lagi burung-burung berkicau” dan “senandung lagu-lagu yang sering dilantunkan tak lagi mengalun”. Imaji ini menegaskan kesunyian yang menjadi inti suasana puisi.

Majas

Beberapa majas yang hadir dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “Angin tak jua lagi berhembus seperti acap kali”, seolah-olah angin memiliki kemauan untuk berhenti.
  • Repetisi – Pengulangan kata “tak lagi” yang menegaskan hilangnya kebiasaan, kehidupan, dan suara-suara di desa.
  • Metafora – Desa tua kehilangan penghuni menjadi metafora bagi hilangnya kehidupan tradisional dan terputusnya manusia dari akar budaya serta lingkungan.
Puisi "Desa Tua Kehilangan Penghuni" karya Syamsu Indra Usman menghadirkan refleksi mendalam tentang pergeseran sosial dan ekologi. Dengan bahasa yang sederhana, penyair berhasil melukiskan kehampaan yang terjadi ketika sebuah desa kehilangan kehidupan, baik karena alam yang tak lagi mendukung maupun karena manusia yang memilih pergi.

Lebih dari sekadar kisah tentang sebuah tempat, puisi ini adalah cermin perubahan zaman: bagaimana desa yang dulu menjadi ruang utama peradaban kini menghadapi ancaman sepi, gersang, dan dilupakan.

Puisi
Puisi: Desa Tua Kehilangan Penghuni
Karya: Syamsu Indra Usman

Biodata Syamsu Indra Usman:
  • Syamsu Indra Usman lahir pada tanggal 12 Oktober 1956 di Lahat, Sumatera Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.