Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pengemis (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Pengemis" karya Gunoto Saparie bercerita tentang pertemuan seorang pengemis dengan seseorang yang sedang makan sup makaroni. Saat pengemis ...
Pengemis

seorang pengemis menadahkan tangan
ketika aku ingin menghabiskan sup makaroni
benarkah aku belum terlampau kenyang?
kucari uang recehan namun kutemukan hanya puisi

Analisis Puisi:

Puisi "Pengemis" karya Gunoto Saparie merupakan sebuah refleksi sosial yang sederhana namun mengena. Dengan diksi yang lugas, penyair berhasil menggugah kesadaran pembaca tentang kesenjangan sosial, kemanusiaan, dan ironi kehidupan sehari-hari. Meskipun singkat, puisi ini menyimpan lapisan makna yang dalam, yang bisa diurai dari sisi tema, makna tersirat, imaji, hingga amanat yang disampaikan.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kemanusiaan dan kesenjangan sosial. Kehadiran seorang pengemis yang meminta-minta di tengah situasi makan seseorang, menjadi simbol nyata tentang bagaimana kemiskinan selalu hadir berdampingan dengan kenyamanan orang lain.

Puisi ini bercerita tentang pertemuan seorang pengemis dengan seseorang yang sedang makan sup makaroni. Saat pengemis itu menadahkan tangan, orang tersebut tersadar dan bertanya kepada dirinya sendiri: benarkah ia sudah benar-benar kenyang? Namun alih-alih memberikan uang receh, ia justru menemukan "puisi" dalam dirinya. Kisah singkat ini menjadi cermin tentang benturan antara kenyamanan pribadi dan penderitaan orang lain.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran nurani terhadap penderitaan orang lain yang sering kali muncul secara tiba-tiba, tetapi tidak selalu berujung pada tindakan nyata. Sang aku lirik tidak menemukan uang receh untuk memberi pengemis, melainkan hanya "puisi". Ini bisa dibaca sebagai kritik diri sekaligus sindiran sosial: bahwa kepekaan kadang berhenti pada kata-kata indah tanpa terwujud dalam tindakan konkret untuk menolong.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah reflektif sekaligus ironis. Ada perasaan iba, sedikit bersalah, namun juga pasrah ketika keinginan untuk membantu tidak terwujud dalam bentuk nyata. Suasana yang sederhana tetapi meninggalkan kesan mendalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah pentingnya kepekaan sosial dan keberanian untuk bertindak nyata. Rasa iba saja tidak cukup bila tidak disertai dengan tindakan. Penyair seolah mengingatkan bahwa kehidupan tidak hanya tentang memuaskan diri sendiri, tetapi juga berbagi dengan sesama yang kekurangan.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji visual dan imaji rasa yang kuat. Imaji visual muncul pada adegan “seorang pengemis menadahkan tangan” yang langsung membentuk gambaran konkret di benak pembaca. Imaji rasa hadir pada perasaan sang aku lirik ketika menyadari ada pengemis yang membutuhkan, namun ia hanya bisa menyodorkan puisi, bukan uang atau makanan. Imaji sederhana ini berhasil menggugah empati pembaca.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Majas pertanyaan retoris: “benarkah aku belum terlampau kenyang?” yang menggugah kesadaran diri, bukan untuk dijawab.
  • Majas metafora: “kutemukan hanya puisi” yang menyimbolkan keterbatasan aksi nyata, karena yang tersisa hanyalah kata-kata, bukan bantuan material.
Puisi "Pengemis" karya Gunoto Saparie membuktikan bahwa karya sastra tidak harus panjang untuk menghadirkan kedalaman makna. Dengan bahasa yang sederhana, puisi ini berhasil menyinggung kesenjangan sosial dan menohok nurani pembacanya. Ia mengajak kita merenung: sudahkah kita benar-benar peka terhadap penderitaan orang lain, ataukah kita hanya mampu mengungkapkannya dalam kata-kata tanpa aksi nyata?

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Pengemis
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.


Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia--Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta.  Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.