Pintu
Terlampau deraskah hujan siang tadi?
Halaman jadi becek berlumpur
Di kamar depan yang bocor atapnya
masih basah ubin di sudut
Berapa keraskah angin petang ini?
Semak semak perdu mosak masik
dan buah jambu berceceran
Malam larut, seseorang membuka pintu
Maka tegaklah ia di depan panorama kecil yang kelabu
Disimak risik risik lirih,
suara suara redam yang jauh dan dalam
Segala penjuru, sekalian bunyi
berkisah padanya tentang sebuah hari
ketika segala sesuatu terjadi
selagi dia karam di mimpi
1976
Sumber: Horison (Desember, 1977)
Analisis Puisi:
Puisi “Pintu” karya Landung Simatupang adalah karya puitik yang bernapas tenang, namun menyimpan kedalaman tafsir. Ia tidak lantang menjerit, tidak juga meledak-ledak dalam simbol-simbol politis atau metafor rumit. Justru dalam kesederhanaannya, puisi ini membawa kita merenung tentang keberadaan, kesadaran, dan waktu—melalui metafora pintu dan peristiwa-peristiwa kecil di sekitarnya.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kesadaran yang tertunda dan keterasingan diri dari dunia nyata. Ada kesan bahwa seseorang sedang "terlambat hadir" dalam kehidupannya sendiri, atau mengalami semacam keterputusan dengan peristiwa yang terjadi di luar dirinya. Melalui metafora hujan, angin, halaman, dan suara-suara samar, puisi ini merekam jarak antara dunia luar dan kesadaran batin seseorang.
Secara naratif, puisi ini bercerita tentang seseorang yang baru tersadar setelah semuanya terjadi. Hujan deras, angin kencang, dan kekacauan kecil di luar rumah menjadi tanda-tanda bahwa waktu telah berlalu dengan intensitasnya sendiri. Namun, tokoh dalam puisi ini seolah baru “membuka pintu” kesadarannya ketika malam larut, saat segala kejadian sudah menjadi kenangan yang suram.
Baris:
"Malam larut, seseorang membuka pintu / Maka tegaklah ia di depan panorama kecil yang kelabu"
memberi gambaran tentang momen keterlambatan: ketika seseorang baru menyadari dan menyaksikan dunia yang telah berubah setelah dirinya "karam di mimpi".
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini cukup dalam dan multi-layer:
- Keterlambatan dalam menyadari kehidupan: seseorang seringkali baru sadar akan realitas atau kebenaran setelah segalanya berlalu.
- Kerapuhan manusia dalam menghadapi waktu dan alam: hujan yang deras, angin yang kencang, dan rumah yang bocor bisa dibaca sebagai simbol ketidakberdayaan.
- Pintu sebagai metafora antara kesadaran dan ketidaksadaran: membuka pintu bisa dibaca sebagai “kembali ke realitas”, kembali dari mimpi atau delusi, dari ketidaktahuan menuju pemahaman.
- Redamnya suara sebagai bentuk keterasingan: segala peristiwa hanya terdengar sebagai “risik-risik lirih”, suara yang tak sepenuhnya utuh—seperti kenangan yang mulai pudar.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis, tenang, dan kontemplatif, tetapi juga mengandung sedikit ketegangan. Perubahan cuaca, kebocoran, dan semak yang berantakan menciptakan suasana yang kacau, namun dikisahkan dalam cara yang lembut dan pasrah. Ini menciptakan kontras antara dinamika alam dan keheningan batin manusia.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyiratkan pesan bahwa:
- Kesadaran terhadap kehidupan tidak selamanya hadir tepat waktu.
- Kadang manusia melewatkan banyak hal penting karena terlelap secara batin atau terlalu asyik dengan dirinya sendiri.
- Perlu membuka “pintu” diri lebih awal, agar kita bisa hidup selaras dengan ritme semesta—bukan sekadar menjadi pengamat yang datang terlambat.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji visual dan auditif, yang membuat pembaca bisa membayangkan suasana yang digambarkan:
Visual:
- “Halaman jadi becek berlumpur”
- “masih basah ubin di sudut”
- “buah jambu berceceran”
- “panorama kecil yang kelabu”
Imaji-imaji ini membentuk lanskap rumah dan lingkungan sekitar yang nyata, seolah-olah pembaca sedang berdiri di tempat yang sama.
Auditif:
- “risik-risik lirih”
- “suara-suara redam yang jauh dan dalam”
Imaji bunyi ini memperkuat kesan sunyi dan kontemplatif dalam puisi.
Majas
Beberapa majas digunakan secara halus dalam puisi ini:
- Personifikasi: “Segala penjuru, sekalian bunyi / berkisah padanya” → bunyi dianggap memiliki kemampuan bercerita.
- Metafora: “karam di mimpi” → menggambarkan seseorang yang tenggelam dalam ketidaksadaran, dalam dunia mimpi atau penyangkalan.
- Epanalepsis (pengulangan dalam bentuk reflektif): Pola seperti “berapa keraskah...”, “terlampau deraskah...” memberi irama dan efek renung yang dalam.
- Simbolisme: “Pintu” adalah simbol dari kesadaran, batas antara dunia luar dan dunia batin.
Puisi “Pintu” karya Landung Simatupang adalah sajak kontemplatif yang menyentuh ruang batin manusia: ruang di mana waktu, ingatan, dan kesadaran bersilangan. Dalam hujan yang deras, angin yang merusak, dan malam yang larut, puisi ini merekam momen keterlambatan manusia dalam menyadari bahwa dunia terus bergerak, bahkan ketika dirinya tertidur atau tenggelam dalam mimpi.
Melalui penggunaan imaji yang kuat dan majas yang lembut, Landung mengajak kita untuk tidak membiarkan diri “karam di mimpi”, tapi segera membuka pintu dan menyimak kisah hidup yang tak pernah berhenti bercerita.
Karya: Landung Simatupang
Biodata Landung Simatupang:
- Yohanes Rusyanto Landung Laksono Simatuandung Simatupang lahir pada tanggal 25 November 1951 di Yogyakarta.
