Rumah
jika ingin bersendiri tanpa bersepi
jika ingin hening di tengah bising yang mati
jika terus ingin lari lalu selalu rindu kembali
jawablah:
kepada mu-kah ku mesti pergi?
Sumber: Basis (Februari, 1976)
Analisis Puisi:
Puisi pendek “Rumah” karya Landung Simatupang adalah sebuah kontemplasi tentang makna “rumah” dalam dimensi emosional dan spiritual. Bukan sekadar tempat tinggal, rumah dalam puisi ini adalah entitas batiniah yang menyimpan diam, rindu, keheningan, dan kepulangan. Meski terdiri hanya dari lima baris, puisi ini memuat kerumitan psikologis dan eksistensial yang mendalam, bahkan terasa mistis.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kerinduan akan rumah sebagai tempat pulang secara emosional, bukan sekadar fisik. Ada juga tema perjalanan batin, kegelisahan eksistensial, dan pencarian akan kedamaian dalam kebersendirian. Kata “rumah” dijadikan simbol dari sesuatu yang lebih luas: bisa seseorang yang dicintai, bisa pula refleksi dari diri atau bahkan Tuhan.
Puisi ini bercerita tentang seorang aku lirik yang merenungi makna rumah sebagai tujuan dari pelarian, kerinduan, atau keheningan yang terus dicari. Ia mempertanyakan arah pulang dari setiap kegelisahan hidup: ketika ia ingin menyendiri tanpa merasa sepi, ingin tenang di tengah kebisingan, atau terus melarikan diri tapi tak bisa berhenti merindukan. Di ujung lariknya, ia bertanya: “kepada mu-kah ku mesti pergi?”
Ini bukan pertanyaan biasa. Ini pertanyaan metafisik yang bisa ditujukan pada orang terkasih, Tuhan, atau bahkan dirinya sendiri—sebagai bentuk kehausan akan tempat berpulang yang sejati.
Makna Tersirat
Beberapa makna tersirat yang bisa ditafsirkan dari puisi ini antara lain:
- Rumah bukan sekadar tempat fisik, melainkan tempat batin untuk kembali. Bisa berupa seseorang, kenangan, atau nilai spiritual yang memberi ketenangan sejati.
- Manusia sering melarikan diri dari sesuatu, tapi pada akhirnya merindukan untuk kembali. Ada semacam siklus antara pelarian dan pulang yang tak kunjung selesai.
- Kesendirian tidak selalu berarti kesepian, dan keramaian bisa menjadi sepi jika tidak disertai kedamaian batin.
- Pertanyaan di akhir puisi mengisyaratkan bahwa kita tidak benar-benar tahu ke mana harus kembali, dan itu yang menjadi keresahan manusia modern.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dibangun dalam puisi ini sangat hening, kontemplatif, dan melankolis. Ada semacam kesunyian yang tidak sunyi, sepi yang tidak sepi. Kata-kata seperti “bersendiri”, “hening”, “lari”, “rindu” semuanya membentuk atmosfer batin yang gelisah, namun juga penuh kerinduan yang lembut.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
- Rumah adalah tempat batin yang kita rindukan dalam diam. Kita bisa berkelana sejauh apapun, tapi pada akhirnya akan bertanya kembali: di manakah tempatku pulang?
- Tak semua pelarian berarti menjauh, bisa saja itu hanya jalan berputar untuk menemukan kembali sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang.
- Kesendirian bisa menjadi tempat menyatu dengan diri dan keheningan, selama ada ruang batin yang kita akui sebagai "rumah".
Imaji
Puisi ini menggunakan imaji-imaji abstrak dan batiniah, seperti:
- “bersendiri tanpa bersepi” → membangkitkan bayangan seseorang yang duduk sendiri tapi hatinya penuh, tidak hampa.
- “hening di tengah bising yang mati” → kontras yang membangun kesan ketegangan antara suara dan keheningan, antara luar dan dalam.
- “lari lalu selalu rindu kembali” → memberi gambaran gerak batin yang tak kunjung selesai: pergi, rindu, kembali, lalu pergi lagi.
Imaji dalam puisi ini lebih bersifat emosional daripada visual, menyentuh lapisan-lapisan terdalam dari pengalaman manusia.
Majas
Meski singkat, puisi ini kaya dengan majas:
- Paradoks – “bersendiri tanpa bersepi” dan “hening di tengah bising yang mati” adalah bentuk paradoks yang kuat. Menyandingkan dua hal yang saling bertentangan untuk menampilkan kedalaman perasaan.
- Personifikasi – “bising yang mati” mempersonifikasikan bising sebagai sesuatu yang bisa hidup dan mati.
- Pertanyaan retoris – Kalimat terakhir “kepada mu-kah ku mesti pergi?” adalah bentuk tanya yang tidak selalu butuh jawaban, tapi mengundang pembaca untuk ikut merenung.
Puisi “Rumah” karya Landung Simatupang adalah karya liris yang kontemplatif, mengandung refleksi eksistensial tentang makna pulang, kesendirian, dan cinta. Rumah dalam puisi ini bukanlah bangunan atau alamat, melainkan simbol dari tempat batin yang memberi ketenangan: bisa seseorang, bisa Tuhan, atau bisa pula suara hati yang paling dalam.
Dengan larik-larik pendek namun padat, Landung mengajak kita merenungkan: ke mana arah kita pergi ketika semua kebisingan telah mati, ketika kita ingin sendiri tanpa merasa sepi, dan ketika rasa rindu selalu menjadi penutup dari pelarian?
Puisi ini menjawabnya dengan satu pertanyaan tajam yang justru menjadi pusat renungan:
"Kepada mu-kah ku mesti pergi?"
