Sumber: Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan (2013)
Analisis Puisi:
Tema utama puisi ini adalah kenangan cinta yang menyisakan kehampaan. Rustam Effendi menggambarkan suasana menjelang malam yang perlahan berubah menjadi malam penuh keheningan, yang kemudian disusupi kenangan romantis—namun berujung pada rasa letih dan kehilangan.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang mengalami transisi waktu dari sore menuju malam. Pada awalnya, ia mengamati perubahan alam—matahari yang meredup, kota yang tertidur, dan malam yang menebarkan kesunyian. Dalam kesenyapan itu, hadir kenangan cinta yang begitu hangat dan intim: sentuhan lembut, bisikan mesra, dan pelukan penuh hasrat. Namun, pada akhirnya semua itu hanya tinggal bayangan, menyisakan rasa lelah emosional dan fisik.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kenangan manis, terutama yang berkaitan dengan cinta, bisa membangkitkan rasa hangat sekaligus melukai. Meski indah, kenangan tersebut dapat menimbulkan rasa kehilangan yang menekan batin. Puisi ini juga menyiratkan bahwa fantasi atau memori cinta sering kali lebih hidup dari kenyataannya, namun tetap tak mampu menggantikan kehadiran yang nyata.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini berubah secara bertahap:
- Awal: tenang, melankolis, penuh pengamatan alam menjelang malam.
- Tengah: hangat, intim, dan sensual saat kenangan cinta hadir.
- Akhir: kosong, letih, dan getir ketika menyadari bahwa semua hanyalah bayangan masa lalu.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang bisa diambil adalah kenangan, betapapun indahnya, tidak dapat menggantikan kenyataan. Cinta yang tak lagi hadir hanya meninggalkan kekosongan, sehingga manusia harus belajar menerima dan melepaskan masa lalu demi ketenangan batin.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual, pendengaran, dan perabaan:
- Visual: “Surya sudah meruyupkan mata”, “Sinar sudah menidurkan kota”, “Malam telah mengembangkan tilam”.
- Pendengaran: “Risik daun mendesirkan darah”.
- Perabaan: “Lengan rasa membujuki risah”, “Jari mainan menguruti bahu”, “Bibir lembut membisikkan bujuk”.
Semua imaji ini menciptakan gambaran yang sangat hidup tentang perubahan suasana alam dan keintiman cinta.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini:
Personifikasi:
- “Surya sudah meruyupkan mata” (matahari diibaratkan seperti manusia yang mengantuk).
- “Sinar sudah menidurkan kota” (cahaya diibaratkan mampu menidurkan kota).
Simile (perbandingan):
- “Seperti si gadis senyum tertawa” (perbandingan cahaya yang malu-malu dengan gadis yang tersenyum).
- “Bak dalam makam” (suasana malam dibandingkan dengan dalamnya makam).
Metafora:
- “Wayang kenangan” (kenangan diibaratkan sebagai bayangan atau wayang yang tak nyata).