Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Telepon (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Telepon" karya Wayan Jengki Sunarta bercerita tentang seseorang yang menerima panggilan telepon misterius di malam hari. Setiap kali ia ...
Telepon

kuangkat gagang telepon
"hallo, ini siapa?"
tak ada suara di seberang
jam dinding berdetak lambat
gerimis bernyanyi lirih
bersama daun-daun

"hallo, hallo..."
tak ada suara menyahut
kutaruh gagang telepon
dingin malam membekas
di meja kayu

telepon kembali berdering
"halloo, siapa di sana?"
tak ada suara. hening
malam sedingin pualam

gagang telepon menempel di kupingku
berdebar aku menunggu suara di seberang
hanya gemerisik angin terdengar

2017

Analisis Puisi:

Puisi "Telepon" karya Wayan Jengki Sunarta menggambarkan momen yang begitu sederhana namun sangat menggetarkan: percakapan telepon yang tak kunjung mendapat jawaban. Di tengah malam yang sunyi dan gerimis, si aku-lirik berkali-kali mengangkat gagang telepon, namun hanya disambut hening. Kesunyian itu lalu menjelma menjadi simbol dari kegelisahan, kerinduan, bahkan ketakutan yang menyelinap perlahan. Melalui suasana yang hening dan simbolisme yang kuat, puisi ini berbicara banyak tentang ruang kosong dalam komunikasi dan perasaan yang terkatung-katung di ujung harap.

Tema

Puisi ini mengangkat tema keterasingan, kerinduan, dan kesunyian dalam komunikasi. Tema tersebut dibangun melalui peristiwa berulang—telepon yang berdering, namun tak ada jawaban di seberangnya. Sebuah simbol kuat dari kegagalan menjalin koneksi yang bermakna.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menerima panggilan telepon misterius di malam hari. Setiap kali ia mengangkat gagang, tidak ada suara yang menyahut. Ia mendengar hening, hanya ditemani detik jam dan gerimis yang menyanyi. Telepon terus berdering kembali, menciptakan ketegangan dan misteri. Si aku-lirik pun terus menunggu, dengan telinga menempel di gagang telepon, berharap akan mendengar sesuatu—namun hanya gemerisik angin yang terdengar. Dari sini, puisi menggambarkan kekosongan komunikasi dan kerinduan yang tak tersampaikan.

Makna Tersirat

Di balik kesederhanaannya, puisi ini menyimpan berbagai makna tersirat:
  • Komunikasi yang hampa: Telepon adalah simbol komunikasi, namun justru dalam komunikasi itu tidak ada suara. Ini bisa dibaca sebagai metafora tentang hubungan antarmanusia yang terlihat tersambung, namun sebenarnya terputus secara emosional.
  • Kesepian dan kerinduan: Tokoh dalam puisi menunggu dengan harap, namun tak mendapatkan jawaban. Ini menggambarkan situasi batin manusia yang berharap akan kehadiran orang lain, namun terus-menerus disambut oleh kesunyian.
  • Ketegangan eksistensial: Puisi ini juga bisa dimaknai sebagai perenungan tentang eksistensi, tentang usaha seseorang untuk mendapatkan respons dari dunia luar—tapi yang ia temukan hanyalah gema dari dirinya sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi sangat sunyi, dingin, dan menyimpan ketegangan. Gerimis, malam, dan detak jam yang lambat membangun atmosfer yang melankolis dan hampir menyeramkan. Hening yang berkepanjangan menciptakan kesan isolasi. Tidak ada percakapan, hanya keheningan yang justru terdengar semakin nyaring.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Meskipun tak disampaikan secara langsung, puisi ini menyampaikan pesan mendalam bahwa:
  • Tidak semua bentuk komunikasi menjamin hubungan emosional yang nyata.
  • Kesepian bisa hadir bahkan dalam teknologi yang menghubungkan.
  • Dalam dunia yang makin ramai, suara hati sering justru tak bersambut.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji auditif dan visual, yang membuat pembaca dapat merasakan suasana yang dilukiskan.

Imaji auditif:
  • “jam dinding berdetak lambat”
  • “gerimis bernyanyi lirih”
  • “hanya gemerisik angin terdengar”
Imaji-imaji ini memperkuat perasaan sunyi, menggambarkan betapa tak adanya suara manusia menjadi semakin mencolok dalam hadirnya suara alam yang lembut.

Imaji visual:
  • “dingin malam membekas di meja kayu”
  • “malam sedingin pualam”
Imaji visual ini menampilkan suasana malam yang dingin dan membekukan, mencerminkan suasana batin tokoh yang terasing dan membeku secara emosional.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang memperkuat kesan suasana dan makna simbolik:

Personifikasi
  • “gerimis bernyanyi lirih” – hujan diberikan kemampuan manusia untuk bernyanyi.
  • “malam sedingin pualam” – malam diberi rasa dingin seperti batu pualam, memperkuat atmosfer.
Repetisi
  • Kata “hallo” diulang beberapa kali untuk menunjukkan penantian dan kegelisahan yang tak berujung.
Simbolisme
  • Telepon menjadi simbol komunikasi dan harapan akan koneksi emosional.
  • Hening menjadi lambang keterputusan, kesendirian, atau bahkan kehilangan.
Metafora
  • “malam sedingin pualam” juga bisa dibaca sebagai metafora dari perasaan beku, hati yang dingin, atau suasana yang tak bersentuhan lagi dengan kehangatan manusia.
Puisi "Telepon" karya Wayan Jengki Sunarta menyuarakan kesunyian yang dalam di tengah harapan akan kehadiran. Melalui simbol sederhana seperti telepon yang tidak bersuara, jam berdetak, dan suara gerimis, puisi ini memperlihatkan bahwa rasa kesepian bisa begitu nyata bahkan ketika alat komunikasi berada di tangan kita. Ia juga menampilkan perasaan-perasaan yang tak terucap, hubungan yang tidak tersambung, dan harapan yang menggantung dalam udara malam.

Sebagai refleksi, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi: apakah kita benar-benar mendengar dan didengar dalam hubungan kita dengan sesama? Atau kita hanya sekadar berbicara di ujung telepon yang tak pernah bersuara balik?

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Telepon
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.