Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pantun di Jalan Panjang (Karya Hartojo Andangdjaja)

Puisi "Pantun di Jalan Panjang" karya Hartojo Andangdjaja bercerita tentang perjalanan menggunakan mobil tua di jalan panjang yang penuh tantangan, ..
Pantun di Jalan Panjang
(Pasaman - Bukittinggi)

Mobil tua merangkaki jalan panjang
mengerang di sepanjang bibir jurang
Dari jendela berlepasan mimpi-mimpi ke balik Kenang;
Sebuah ladang, dua hati dan satu bisikan: ah, abang

Mobil tua bergegar mendaki tanjakan
roda-roda meraba jalanan berhujan
Cinta lama terkibar dalam angan:
dua bersua, satu meminta, lain memesra: jangan

Bangsi terdengar di kaki bukit
nyanyian menyangsai ke lengkung langit
Janji tertebar di dangau alit
tangan melambai mengucap pamit

Mobil tua melata di sela hutan para
seram terberai di wajah-wajah teduh rimba
Berapa lama di pojok tanah air tercinta
salam kulambai pada wajah-wajah jauh di Jawa

Jalan melingkar di pinggang bukit
awan mengelai di kaki langit
Hidup tak kusedar betapa pahit
rawan menyangsai tanpa jerit

Mobil tua terengah tiba di senja
jalan bermuara di kota jelita
Hidup betapa merekah tiba-tiba
bergantungan di warna ria lelampu kota

Sumber: Buku Puisi (1973)
Catatan:
Bangsi = Semacam seruling di Minangkabau.

Analisis Puisi:

Puisi "Pantun di Jalan Panjang" karya Hartojo Andangdjaja menampilkan perjalanan hidup yang dipersonifikasikan melalui gambaran sebuah mobil tua yang merangkaki jalan panjang. Dengan simbol-simbol keseharian, penyair membangun suasana perjalanan yang penuh kenangan, kesunyian, hingga akhirnya berakhir pada riuhnya kota. Puisi ini sarat dengan renungan, terutama tentang hidup, cinta, dan waktu.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan hidup manusia yang penuh kenangan, cinta, kerinduan, dan kepahitan, namun berakhir pada warna-warni kehidupan kota.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan menggunakan mobil tua di jalan panjang yang penuh tantangan, diiringi oleh kenangan masa lalu, suara bangsi di bukit, janji-janji cinta, dan rindu pada tanah air. Sepanjang perjalanan, mobil tua melambangkan perjalanan hidup manusia yang berat namun terus bergerak maju, dari masa lalu yang penuh kerinduan hingga tiba pada riuh dan gemerlap kehidupan kota.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah hidup adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh liku, kenangan, dan pertemuan dengan cinta maupun kehilangan. Mobil tua menjadi metafora tentang ketahanan hidup manusia yang meski rapuh, tetap melaju menghadapi tanjakan, jurang, dan hujan.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan kontras antara kehidupan desa dan kota: desa hadir dengan keteduhan, janji, dan alam, sedangkan kota menghadirkan gemerlap lampu, hiruk-pikuk, serta kehidupan yang “merekah tiba-tiba”.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini berubah-ubah sesuai perjalanan:
  • Awalnya penuh perjuangan dan nostalgia (mobil tua di jalan panjang, kenangan cinta lama).
  • Lalu hadir suasana teduh namun juga penuh perpisahan (bangsi, janji, pamit).
  • Di tengah perjalanan muncul suasana muram dan rawan (hutan rimba, pahitnya hidup).
  • Akhirnya beralih ke suasana semarak dan berwarna (kota jelita dengan lampu-lampu).

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Amanat puisi ini adalah bahwa hidup, betapapun sulit, harus dijalani dengan tabah. Jalan panjang yang berat dan penuh kenangan adalah bagian dari kehidupan, dan meskipun ada kepahitan dan perpisahan, pada akhirnya hidup akan menemukan warna dan maknanya sendiri.

Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan bahwa kenangan cinta, kampung halaman, dan janji masa lalu tetap menjadi bagian penting dari perjalanan hidup, meski pada akhirnya manusia harus berhadapan dengan kenyataan baru di dunia yang berbeda.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif:
  • Visual: “Mobil tua merangkaki jalan panjang”, “jalan melingkar di pinggang bukit”, “warna ria lelampu kota” → menghadirkan gambaran jelas tentang perjalanan dari desa hingga kota.
  • Auditif: “Bangsi terdengar di kaki bukit”, “nyanyian menyangsai ke lengkung langit” → menimbulkan kesan suara alam dan musik tradisional yang mengiringi perjalanan.
  • Perasaan: “Hidup tak kusedar betapa pahit / rawan menyangsai tanpa jerit” → menghadirkan imaji batin tentang kepahitan dan kerentanan hidup.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Metafora:
  • “Mobil tua merangkaki jalan panjang” → perjalanan hidup manusia diibaratkan sebagai mobil tua yang tetap berjalan di jalan berliku.
  • “Jalan bermuara di kota jelita” → hidup yang akhirnya bermuara pada riuh dan gemerlap kota.
Personifikasi:
  • “roda-roda meraba jalanan berhujan” → roda digambarkan seolah memiliki kemampuan manusia.
  • “awan mengelai di kaki langit” → awan digambarkan seperti kain yang membalut.
Repetisi:
  • Pengulangan frasa “mobil tua” di awal beberapa bait untuk menegaskan perjalanan yang lambat namun pasti.
Hiperbola:
  • “nyanyian menyangsai ke lengkung langit” → membesar-besarkan nyanyian hingga seolah-olah menggema sampai ke langit.
Puisi "Pantun di Jalan Panjang" karya Hartojo Andangdjaja menghadirkan perjalanan panjang sebagai simbol kehidupan. Dengan gambaran mobil tua, bangsi, hutan, hingga kota, puisi ini menyajikan perjalanan batin manusia dari cinta, kenangan, kepahitan, hingga harapan baru. Tema yang kuat, imaji yang kaya, dan majas yang indah menjadikan puisi ini tidak hanya sebuah kisah perjalanan, tetapi juga refleksi tentang hidup yang penuh warna.
Puisi Hartojo Andangdjaja
Puisi: Pantun di Jalan Panjang
Karya: Hartojo Andangdjaja

Biodata Hartojo Andangdjaja:
  • Edjaan Tempo Doeloe: Hartojo Andangdjaja.
  • Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya.
  • Hartojo Andangdjaja lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.