Antipoda
Senyar terantuk keras-bergulung
menghadang di jalan lengang
sepi dalam hati:
Badan berbentuk bulat-bulat menantang
mata, mulut mudah bergerak mengajak
kiranya kiyal mengandung puas.
Tertiarap di tasik teduh
(laut lezat tak beralun
biduk melancar mendatar
= kelezatan berurap tenang)
tidak mungkin kumiliki
surya-kejam mengusir
Dari jauh terdengar
laun berdebur di samudra raya
(nikmat-dunia
tumpahan puas
badan kiyal-kuat, menyerah)
selalu bergoncang diaduk alun buas
aku pun Manusia.
1 Februari 1947
Sumber: Panca Raya (Juli, 1947)
Analisis Puisi:
Puisi "Antipoda" karya P. Sengodjo menghadirkan suasana batin yang penuh kontras: antara keheningan dan gejolak, antara nikmat dan keterusiran, antara kelembutan dan kekejaman. Dalam larik-lariknya, pembaca dibawa pada pergulatan manusia dengan dunia—sebuah tarik-menarik antara kesenangan jasmani, keterikatan, dan kesadaran eksistensial yang tak bisa dihindari.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pergolakan batin manusia dalam menghadapi godaan dunia dan kesadaran akan keterbatasannya. Ada ketegangan antara rasa puas, kenikmatan, dan kenyataan keras kehidupan yang akhirnya menegaskan kembali posisi manusia.
Puisi ini bercerita tentang manusia yang berhadapan dengan daya tarik kehidupan—kenikmatan, kesenangan, bahkan kepuasan jasmani—namun juga berjumpa dengan keterbatasan dan penderitaan yang tidak bisa dihindari. Penyair mengekspresikan perjalanan batin seorang manusia yang berada di tengah arus godaan duniawi dan pukulan realitas keras.
Makna tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah hidup manusia selalu berada di antara dua kutub yang berlawanan. Ada kesenangan dan ada penderitaan, ada kelembutan dan ada kekejaman, ada kerinduan untuk memiliki dan kenyataan keterbatasan. Dengan kata lain, puisi ini mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk rapuh yang tetap mencari keseimbangan di tengah dunia yang penuh tarik-menarik nilai dan perasaan.
Suasana dalam puisi
Suasana puisi terasa kontras, melankolis, dan penuh pergulatan batin. Ada keheningan “jalan lengang” dan “tasik teduh” yang menenangkan, tetapi sekaligus hadir juga “surya-kejam” dan “alun buas” yang menimbulkan ketegangan. Suasana ini membuat pembaca ikut larut dalam rasa pasrah sekaligus resah.
Amanat / pesan yang disampaikan
Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah manusia tidak bisa terlepas dari tarik-menarik antara kenikmatan dunia dan realitas keras kehidupan. Pada akhirnya, manusia harus menyadari hakikat dirinya sebagai makhluk yang rapuh, yang tak bisa memiliki segalanya, dan harus menerima keseimbangan antara nikmat dan derita sebagai bagian dari eksistensinya.
Imaji
Imaji dalam puisi ini cukup kuat, misalnya:
- “Badan berbentuk bulat-bulat menantang / mata, mulut mudah bergerak mengajak” memberikan visual tubuh jasmani yang menuntut pemenuhan hasrat.
- “Tertiarap di tasik teduh (laut lezat tak beralun)” menghadirkan gambaran tenang, lembut, dan damai.
- “Dari jauh terdengar laun berdebur di samudra raya” menghadirkan suara alam yang kuat dan menegangkan.
Imaji visual dan auditif ini memperkuat nuansa kontras dalam puisi.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “laut lezat tak beralun” sebagai lambang kenikmatan hidup yang tenang.
- Personifikasi: “surya-kejam mengusir” memberi sifat manusia pada matahari.
- Hiperbola: gambaran “badan kiyal-kuat, menyerah” menunjukkan perasaan manusia yang terombang-ambing dalam kekuatan besar.
- Antitesis: kontras antara keteduhan tasik dengan buasnya samudra, antara lezat dan kejam, menegaskan tarik-menarik makna dalam kehidupan.
Puisi "Antipoda" karya P. Sengodjo adalah refleksi tentang hakikat manusia yang berada di antara dua kutub kehidupan: kenikmatan dan penderitaan, kedamaian dan kekerasan, kepuasan dan keterbatasan. Dengan tema yang kuat, makna tersirat yang mendalam, suasana kontras, serta imaji dan majas yang kaya, puisi ini tidak hanya menghadirkan gambaran tentang perjalanan batin, tetapi juga mengingatkan pembaca bahwa pada akhirnya manusia hanyalah “aku pun Manusia”—makhluk yang tak lepas dari kelemahan sekaligus kekuatan.
Karya: P. Sengodjo
Biodata P. Sengodjo:
- P. Sengodjo (nama sebenarnya adalah Suripman) lahir di Desa Gatak, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, pada tanggal 25 November 1926.
- Dalam dunia sastra, Suripman suka menggunakan nama samaran. Kalau menulis puisi atau sajak, ia menggunakan nama kakeknya, yaitu Prawiro Sengodjo (kemudian disingkat menjadi P. Sengodjo). Kalau menulis esai atau prosa, ia menggunakan nama aslinya, yaitu Suripman. Kalau menulis cerpen, ia juga sering menggunakan nama aslinya Suripman, tapi kadang-kadang menggunakan nama samaran Sengkuni (nama tokoh pewayangan).
