Doa
Kuhitamkan jiwaku yang putih
Kuputihkan jiwaku yang hitam
Tergusur kefanaan.
Jasad yang rongsokan
Kujotos-jotoskan kepiatuanku
Pada dendam
Kutinju-tinjukan keyatimanku
Pada kejam
Seluruhnya lumat jadi kepingan
Sekarang tinggallah kekalahan
Menyandang aib nasib hitamku
Cacat pada sisi sujudku
Kujadikan jadi milik Tuhan
Amin.
Sumber: Kultus (2021)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Doa" karya Faisal Ismail merupakan salah satu karya yang sarat dengan ungkapan batin, pergulatan spiritual, dan renungan eksistensial seorang manusia di hadapan Tuhannya. Dengan bahasa yang lugas namun penuh daya simbolis, puisi ini menghadirkan semacam perjalanan batin dari kegelapan menuju harapan akan ampunan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pergulatan batin manusia dalam mencari ampunan dan kedekatan dengan Tuhan. Penyair mengekspresikan rasa bersalah, kejatuhan, serta kerendahan diri di hadapan Sang Pencipta, yang kemudian dipersembahkan melalui doa.
Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang menyadari kefanaan dirinya. Ia merasa jiwanya telah ternoda, tubuhnya bagai rongsokan, dan kehidupannya penuh luka batin akibat kepiatuan serta keterasingan. Dalam kondisi itu, ia menghantamkan penderitaan dan kesepian kepada dinding realitas hidup, hingga akhirnya menyerahkan segala kelemahan dan kekalahannya kepada Tuhan.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup manusia penuh dengan dosa, penderitaan, dan keterbatasan, tetapi semua itu tetap dapat ditransformasikan menjadi bentuk kepasrahan dan doa kepada Tuhan. Ada kesadaran bahwa meski manusia cacat dalam sujudnya, penuh aib, dan dirundung kegelapan, ia masih dapat mencari keselamatan melalui penyerahan diri yang tulus.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa muram, getir, penuh penyesalan, dan sarat keputusasaan. Namun, di balik suasana kelam itu, terselip harapan tipis akan pengampunan Ilahi. Perasaan kontras antara kejatuhan dan kerinduan akan keselamatan menjadikan puisi ini menyentuh sekaligus reflektif.
Amanat / pesan yang disampaikan puisi
Amanat yang dapat ditangkap adalah bahwa seberat apa pun dosa dan penderitaan manusia, janganlah berputus asa dari rahmat Tuhan. Justru dalam titik terendah, doa dan kepasrahan total bisa menjadi jalan untuk kembali mendekat kepada-Nya. Puisi ini mengajarkan bahwa doa bukan sekadar ritual, melainkan seruan jiwa yang paling dalam.
Imaji
Imaji dalam puisi ini banyak berkaitan dengan pengalaman fisik yang keras dan penuh luka, seperti “kuhantamkan kepiatuanku pada dendam” atau “kutinju-tinjukan keyatimanku pada kejam”. Imaji ini menghadirkan gambaran penderitaan batin yang divisualisasikan melalui tindakan fisik, sehingga pembaca dapat merasakan kekerasan realitas hidup penyair. Selain itu, imaji religius muncul dalam kata “sujud” dan “Tuhan” yang menjadi titik klimaks sekaligus pelepasan penderitaan.
Majas
Beberapa majas yang menonjol antara lain:
- Antitesis → “Kuhitamkan jiwaku yang putih / Kuputihkan jiwaku yang hitam.” Kontras ini menekankan pertentangan moral dan kebingungan batin.
- Personifikasi → memberi sifat manusiawi pada keadaan, seperti dendam dan kejam yang seolah menjadi lawan tinju.
- Metafora → “jasad yang rongsokan” menggambarkan tubuh yang lelah, rapuh, dan tidak berdaya.
- Hiperbola → ungkapan “seluruhnya lumat jadi kepingan” menekankan kehancuran total batin penyair.
Puisi "Doa" karya Faisal Ismail adalah potret kejujuran spiritual yang pahit namun mendalam. Dengan tema pergulatan batin, cerita tentang keterpurukan manusia, serta makna tersirat berupa kepasrahan kepada Tuhan, puisi ini menghadirkan suasana getir namun religius. Imaji keras dan majas yang kontras memperkaya lapisan maknanya. Amanatnya jelas: manusia, betapapun hina dan cacat, tetap memiliki ruang untuk kembali kepada Tuhannya melalui doa dan ketulusan.
