Analisis Puisi:
Puisi berjudul “Kwatrin buat SK” karya Gunoto Saparie adalah karya singkat, padat, namun menyimpan kedalaman makna. Dengan bentuk empat baris, penyair berhasil mengemas suasana perpisahan yang tidak hanya bersifat personal, melainkan juga sarat dengan refleksi tentang perjalanan kepenyairan seseorang.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjalanan dan keresahan seorang penyair dalam menghadapi masa depan kepenyairannya. Di dalamnya ada nuansa perpisahan, kecemasan, sekaligus renungan tentang siapa yang kelak akan menjadi “raja penyair”.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang diantar ke terminal pada malam hari, namun pikirannya tidak tenang karena terus digelisahkan oleh inspirasi dan pertanyaan tentang masa depan dalam dunia kepenyairan. Adegan sederhana mengantar seseorang ke terminal berubah menjadi simbol dari perjalanan hidup dan dunia sastra yang penuh tanda tanya.
Makna tersirat
Makna tersirat yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah perjalanan hidup penyair bukan hanya tentang perpindahan fisik, melainkan juga perjalanan batin dan intelektual. Terminal bukan hanya tempat berangkat, melainkan lambang dari fase kehidupan baru yang penuh ketidakpastian. Pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi “raja penyair” merefleksikan ambisi, persaingan, serta kegelisahan dunia sastra yang dinamis.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa hening, sendu, dan sedikit menegangkan. Malam hari di terminal menghadirkan kesan sunyi, sementara kegelisahan batin tokoh membuat suasana semakin penuh perasaan tidak menentu.
Amanat / pesan yang disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah bahwa perjalanan hidup seorang penyair selalu dipenuhi gelisah, ambisi, dan pertanyaan besar tentang eksistensi. Namun, apa pun yang terjadi, perjalanan itu tetap harus dijalani. Inspirasi dan pencarian jati diri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia kepenyairan.
Imaji
Imaji yang hadir cukup kuat, misalnya:
- “kuantar kau ke terminal terboyo malam-malam” → menghadirkan imaji visual dan suasana nyata tentang perpisahan di malam hari.
- “kau selalu gelisah didera inspirasi syair” → menghadirkan imaji psikis tentang kegelisahan batin seorang penyair.
- “kau pun mengangkat kopormu sebelum lampu padam” → menimbulkan gambaran visual tentang kepergian yang terburu-buru, penuh ketidakpastian.
Majas
Beberapa majas yang dapat dikenali antara lain:
- Majas metafora → terminal menjadi simbol perjalanan hidup dan dunia kepenyairan.
- Majas personifikasi → “didera inspirasi syair” seolah-olah inspirasi memiliki kuasa untuk menekan manusia.
- Majas retoris → “siapakah kelak akan menjadi raja penyair?” adalah pertanyaan retoris yang bukan sekadar untuk dijawab, melainkan untuk direnungkan.
Puisi “Kwatrin buat SK” karya Gunoto Saparie dengan sederhana namun mendalam berhasil mengekspresikan kegelisahan seorang penyair dalam menempuh perjalanan hidup dan karya. Perpisahan di terminal menjadi simbol akan perjalanan batin yang penuh tanda tanya. Tema, makna tersirat, suasana, serta penggunaan imaji dan majas yang kuat menjadikan puisi ini bukan sekadar potret pribadi, melainkan juga cermin dari dunia kepenyairan itu sendiri.
Karya: Gunoto Saparie
GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
