Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lampung (Karya F. Rahardi)

Puisi "Lampung" karya F. Rahardi adalah sebuah elegi sosial yang menyingkap pergeseran wajah Lampung dari masa lalu hingga masa kini. Dengan tema peru
Lampung

(Propinsi Lampung terletak di ujung selatan
Pulau Sumatera
Propinsi ini merupakan bagian dari
Negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila
Batas-batasnya: di sebelah selatan
Selat Sunda; di sebelah timur Laut Jawa;
di sebelah utara
Propinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
di sebelah Barat
Samudera Hindia. Ibukota Propinsi Lampung
dulunya bernama
Tanjungkarang, pelabuhannya bernama
Teluk Betung. Kini kedua
kota yang berdempetan itu diberi satu nama :
Bandar Lampung).

Dulu, Lampung adalah ladang singkong
yang tiap bulan Juli dan Agustus
mengibarkan kain sarung dan menjemur gaplek
di bawah curahan deras cahaya matahari
di atas rentangan tali-tali bambu

Dulu, Lampung adalah singkong yang dibakar
waktu hari hujan, di sebuah gubuk
di tengah ladang
dimakan panas-panas, singkong bakar itu
enak sekali
dulu, makan singkong dan gaplek itu perlu
sangat perlu

Dulu, Lampung adalah perjalanan panjang
dari kawasan Gunung Kidul yang gersang
menyusuri pantai utara Pulau Jawa
truk-truk terbuka itu berkeringat dan
tersengal-sengal
berkerudung terpal cokelat tua
bangku-bangku kayu
tikar yang digelar
dan tubuh-tubuh lusuh
Lampung adalah perjalanan panjang
yang melelahkan
yang berakhir di rumah-rumah kecil
teratap seng berdinding papan
dan manakala malam tiba
yang kedengaran hanya angin
suara jangkrik
dan tangis bayi yang kekurangan susu ibu

Dulu, Lampung adalah perut lapar
telapak tangan yang menebal
dan kaki-kaki yang tak pernah bersepatu
tak pernah bersandal
dulu, kaki-kaki itu selalu terlihat
bergegas cepat sekali melarikan rumput dan
kayu bakar
dulu, rumput dan kayu bakar itu
sangat diperlukan
sangat perlu

Dan kemudian ada televisi
kaki-kaki telanjang itu perlu sandal plastik
kaus oblong itu minta deterjen
dan kuali-kuali itu harus segera diganti
dengan panci aluminium

Dan kemudian bis cepat dengan AC
dengan video, dengan kursi-kursi empuk
melaju dari Gunung Kidul di atas aspal mulus
bis-bis itu bergincu
harum
dan dari moncong knalpotnya
menyembur uap deodorant

Sekarang Lampung bukan lagi ladang singkong
kalau malam datang
yang kedengaran bukan hanya angin
bukan hanya jangkrik
bukan hanya kaset dang-dut
bukan hanya warta berita televisi
sekarang Lampung bukan hanya singkong
bukan hanya lada dan cokelat

Sekarang Lampung bukan hanya
soal perut lapar atau kenyang
bukan hanya kaki bersandal atau bersepatu
bukan hanya truk atau bis
bukan hanya rumah atau gubuk
sekarang
kalau malam sudah sangat jauh
di antara bunyi angin, di antara bunyi jangkrik
dan lagu dang-dut
bayi-bayi masih juga menangis
tapi bukan karena kurang susu ibu
bukan karena kurang susu kaleng
sekarang,
Lampung bukan hanya sekedar singkong.

Jakarta, 1989

Analisis Puisi:

Puisi "Lampung" karya F. Rahardi merupakan sebuah karya yang memadukan deskripsi geografis dengan potret sosial dan budaya masyarakat Lampung, khususnya dalam konteks perubahan zaman. Puisi ini tidak hanya menghadirkan suasana pedesaan sederhana di masa lalu, tetapi juga menyingkap bagaimana modernisasi mengubah wajah Lampung serta kehidupan masyarakatnya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perubahan sosial dan budaya masyarakat Lampung dari masa lalu yang sederhana menuju kehidupan modern yang kompleks. Puisi ini menggambarkan bagaimana masyarakat Lampung dulu hidup dalam kesederhanaan—bergantung pada singkong, gaplek, kayu bakar—lalu perlahan bergeser ke kehidupan modern dengan televisi, bis ber-AC, deterjen, dan barang-barang konsumsi lainnya.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu dan transformasi kehidupan masyarakat Lampung. Awalnya, Lampung digambarkan sebagai ladang singkong, kehidupan sederhana penuh kerja keras, dengan rumah berdinding papan dan atap seng. Kehidupan kala itu ditandai dengan kesulitan ekonomi, perut lapar, telapak tangan yang kasar, dan kaki-kaki telanjang yang harus bergegas mencari rumput serta kayu bakar.

Seiring waktu, masuklah modernisasi: televisi hadir, barang-barang kebutuhan rumah tangga mulai berganti, dan transportasi berubah menjadi lebih mewah. Namun, meski perubahan fisik terjadi, penderitaan manusia tetap ada, seperti bayi yang menangis bukan lagi karena kurang susu ibu, melainkan karena persoalan lain. Dengan demikian, puisi ini adalah potret ironi: Lampung telah berubah, tetapi penderitaan tetap ada dalam bentuk berbeda.

Makna tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah modernisasi tidak selalu membawa kebahagiaan atau menghapus penderitaan manusia. Meskipun masyarakat Lampung mengalami transformasi besar, dari ladang singkong hingga kota modern, masalah-masalah sosial tetap bertahan, hanya berganti wajah. Penyair ingin menunjukkan bahwa perubahan material tidak menjamin kesejahteraan batin.

Selain itu, ada kritik halus terhadap konsumerisme: dari sandal plastik, deterjen, hingga bis ber-AC, semua simbol modernitas tampak menutupi realitas sosial yang masih rapuh.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini sangat kontras:
  • Suasana masa lalu: sederhana, penuh perjuangan, namun hangat dalam kebersamaan. Misalnya, singkong bakar di gubuk saat hujan menghadirkan suasana intim dan bersahaja.
  • Suasana masa kini: modern, ramai, penuh hiburan, tetapi justru terasa dingin dan menyimpan ironi, seperti bayi-bayi yang masih menangis di tengah hingar-bingar televisi dan musik dangdut.
Kontras inilah yang menegaskan perbedaan antara nostalgia kesederhanaan masa lalu dengan kompleksitas masa kini.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Amanat puisi ini adalah manusia jangan terjebak dalam ilusi modernisasi. Kehidupan yang lebih “mewah” tidak selalu berarti lebih bahagia. Perubahan sosial memang membawa kemajuan, tetapi juga bisa meninggalkan luka baru jika tidak disertai kesadaran dan keseimbangan. Penyair seakan mengajak pembaca untuk merenungkan kembali nilai kesederhanaan yang dulu ada dan bagaimana kehidupan modern seharusnya tidak melupakan akar kemanusiaan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang membuat pembaca dapat merasakan suasana Lampung dari masa ke masa:
  • Imaji visual → “ladang singkong… kain sarung dan menjemur gaplek di atas rentangan tali-tali bambu”, “rumah-rumah kecil teratap seng berdinding papan”.
  • Imaji auditif → “yang kedengaran hanya angin, suara jangkrik, dan tangis bayi”, serta “lagu dang-dut dan warta berita televisi”.
  • Imaji perasaan → kesederhanaan yang penuh perjuangan, nostalgia masa lalu, dan ironi kehidupan modern yang tetap menyisakan penderitaan.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi → pengulangan kata “Dulu, Lampung…” untuk menegaskan kehidupan masa lalu dan membangun irama narasi.
  • Metafora → “Lampung adalah perut lapar” yang melambangkan penderitaan ekonomi masyarakat.
  • Personifikasi → “truk-truk terbuka itu berkeringat dan tersengal-sengal”, memberikan sifat manusia pada kendaraan.
  • Ironi → kemajuan modern seperti bis ber-AC dan televisi ternyata tidak menghapus tangisan bayi, justru menyingkap penderitaan baru.
Puisi "Lampung" karya F. Rahardi adalah sebuah elegi sosial yang menyingkap pergeseran wajah Lampung dari masa lalu hingga masa kini. Dengan tema perubahan sosial, puisi ini bercerita tentang perjalanan masyarakat dari kesederhanaan menuju modernitas. Melalui imaji yang kuat, pembaca diajak merasakan suasana pedesaan tradisional hingga hiruk pikuk kota modern, sementara makna tersirat yang muncul adalah kritik terhadap modernisasi yang tak serta-merta membawa kebahagiaan. Dengan penggunaan majas yang tepat, puisi ini menyampaikan amanat agar manusia tidak melupakan akar kehidupan sederhana dan tetap kritis terhadap ironi perubahan zaman.

Floribertus Rahardi
Puisi: Lampung
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.