Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Nanti Saja (Karya Avianti Armand)

Puisi “Nanti Saja” karya Avianti Armand bercerita tentang pertemuan imajiner seorang “Aku” dengan sosok Kematian. Kematian digambarkan datang ...
Nanti Saja
dari video Ragnar Kjartansson

Kematian:
Selamat pagi. Aku kematian

Aku:
Selamat pagi. Tapi siapa namamu?

Kematian:
Kematian

Aku:
Itu bukan nama

Kematian:
Ya. Hanya ada satu kematian.

Aku:
Apakah kamu setan?

Kematian:
Bukan. Aku tak mengenalnya.

Aku:
Apakah kamu Tuhan?

Kematian:
Bukan. Tapi kami berteman.

Aku:
Kenapa kamu membawa sabit raksasa?

Kematian:
Untuk menjemput yang hidup dan membawanya
ke dunia orang mati

Aku:
Sabit itu kelihatan palsu

Kematian:
Ini sabit kematian

Aku:
Kamu besar dan tidak menakutkan.

Kematian:
Kamu kecil dan jelek. Berhenti bicara dan ikut aku.
(Kematian mengayunkan sabitnya di atas kepalakU)

Aku (menggeleng):
Kupikir aku akan melihat cahaya di ujung terowongan.
Bukan kamu.

Kematian:
Aku datang, lalu orang akan melihat cahaya

Aku:
Kenapa aku tak pernah melihatmu selama ini?

Kematian:
Kamu tak akan melihatku sampai….

Aku:
Sampai waktuku?

Kematian:
Ya.

Aku:
Sekarang?

Kematian (melihat jam tangannya):
Bisa jadi.

Aku:
Aku habiskan sarapanku dulu. Ibu marah kalau
makananku bersisa.

Kematian (melihat jam tangannya lagi):
Baiklah. Aku kembali nanti saja. Selamat pagi.

Lalu kematian keluar menembus pintu.

18/10/2016: Jam 22.16

Sumber: Museum Masa Kecil (2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Nanti Saja” karya Avianti Armand menghadirkan dialog imajiner antara “Aku” dengan “Kematian”. Dialog tersebut ditulis dalam bentuk percakapan, seolah-olah kematian adalah sosok nyata yang bisa berbicara, berinteraksi, bahkan menawar waktu. Dengan gaya sederhana namun tajam, penyair menyingkap perenungan manusia tentang ajal yang tak terhindarkan.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kematian dan kesadaran manusia akan kefanaan hidup. Penyair menghadirkan kematian bukan sebagai sesuatu yang menakutkan, melainkan sebuah kepastian yang bisa datang kapan saja, bahkan ketika kita sedang sibuk dengan hal-hal kecil sehari-hari, seperti sarapan.

Puisi ini bercerita tentang pertemuan imajiner seorang “Aku” dengan sosok Kematian. Kematian digambarkan datang dengan membawa sabit, namun tidak menakutkan. Mereka berdialog mengenai identitas, tugas, dan waktu yang pasti akan datang. “Aku” dalam puisi ini bahkan sempat menawar agar bisa menyelesaikan sarapan dulu sebelum dijemput. Akhirnya, Kematian menunda dan berkata akan datang lagi nanti.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kematian selalu dekat, tetapi manusia sering tidak menyadarinya. Ia bisa datang kapan saja tanpa kita duga, namun manusia sering kali menundanya dalam pikiran, seakan masih punya banyak waktu. Ada juga pesan bahwa hidup sehari-hari, bahkan hal kecil seperti sarapan, tetap menjadi alasan kuat manusia untuk bertahan di dunia ini, meski ajal sudah menunggu.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini adalah kontradiktif: serius namun santai, tegang namun jenaka. Meski berbicara tentang topik besar—kematian—puisi justru terasa ringan dan akrab. Ada humor tipis dalam percakapan, misalnya ketika “Aku” berkata ingin menghabiskan sarapan dulu agar tidak dimarahi ibu. Hal ini membuat suasana menjadi tidak sepenuhnya mencekam.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah:
  • Kematian adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa dihindari, hanya bisa ditunda sesuai kehendak waktu.
  • Hargailah kehidupan sehari-hari, sekecil apa pun, karena justru hal-hal sederhana itulah yang membuat kita ingin terus hidup.
  • Bersiaplah menghadapi ajal dengan kesadaran penuh, sebab ia bisa datang kapan saja tanpa peringatan panjang.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan dialogis. Beberapa imaji yang menonjol:
  • Sabit raksasa yang dibawa Kematian, menghadirkan gambaran klasik tentang malaikat maut.
  • Cahaya di ujung terowongan, imaji populer tentang pengalaman menjelang kematian.
  • Adegan sarapan dan dimarahi ibu, menghadirkan keseharian yang sederhana namun kontras dengan topik kematian.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – Kematian digambarkan sebagai sosok manusia yang bisa berbicara, membawa sabit, melihat jam tangan, bahkan bersahabat dengan Tuhan.
  • Ironi – Kematian yang biasanya ditakuti justru tampil tidak menakutkan, bahkan memberi waktu agar “Aku” bisa menyelesaikan sarapannya.
  • Dialog dramatik – Puisi ini dibangun sepenuhnya melalui percakapan, menghadirkan nuansa teaterikal yang hidup.
Puisi “Nanti Saja” karya Avianti Armand menyuguhkan cara pandang yang unik terhadap kematian. Dengan dialog ringan namun penuh makna, penyair mengajak pembaca untuk tidak menakuti ajal, melainkan menyadari kepastiannya sambil tetap menghargai kehidupan. Kehadiran tema, makna tersirat, imaji, dan penggunaan majas yang kuat menjadikan puisi ini sebagai refleksi mendalam tentang keterbatasan hidup dan pentingnya kesadaran manusia dalam mengisinya.

Avianti Armand
Puisi: Nanti Saja
Karya: Avianti Armand

Biodata Avianti Armand:

Avianti Armand lahir pada tanggal 12 Juli 1969 di Jakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.