Analisis Puisi:
Puisi "Pantai Serangan" karya Wayan Jengki Sunarta adalah sebuah karya yang penuh nuansa reflektif, kontemplatif, dan sarat makna ekologi. Melalui larik-larik sederhana namun kuat, penyair menghadirkan pantai sebagai ruang batin, tempat manusia berjumpa dengan sunyi, sekaligus menyaksikan jejak sejarah dan perubahan alam.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah hubungan manusia dengan alam yang diikat oleh kenangan, spiritualitas, dan perubahan ekologi. Penyair tidak sekadar menggambarkan pantai sebagai lanskap fisik, tetapi juga sebagai ruang batin di mana manusia bisa meresapi sunyi dan makna kehidupan.
Puisi ini bercerita tentang pertemuan batin manusia dengan Pantai Serangan. Ada suasana hening, refleksi akan kenangan masa lalu, hingga renungan mengenai perubahan alam—dari air payau yang dahulu menjadi penopang hidup peladang, kini telah berubah karena tangan manusia yang menyulapnya menjadi daratan. Penyair seakan mengajak pembaca untuk tidak melupakan keseimbangan alam dan untuk kembali menyatu dengan sunyi sebelum semuanya hilang ditelan waktu.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik ekologis sekaligus renungan spiritual. Perubahan alam yang disulap demi kepentingan manusia meninggalkan kehilangan yang tak tergantikan. Penyair menekankan bahwa manusia sebaiknya kembali meresapi alam dengan rendah hati, menjadikan sunyi sebagai sahabat, dan tidak hanya memandang alam sebagai objek eksploitasi.
Selain itu, puisi ini juga mengandung pesan tentang kefanaan: waktu dalam diri pada akhirnya akan "lelap jadi debu jadi lumpur." Manusia, sebagaimana pantai, hanyalah bagian kecil dari siklus alam yang lebih besar.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa hening, kontemplatif, dan melankolis. Ada ketenangan yang dibalut dengan kesedihan, terutama ketika penyair mengingat perubahan bentang alam dan mengajak pembaca untuk kembali menemukan kesunyian yang hakiki.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam dan menghargai sunyi sebagai ruang batin. Penyair ingin menyampaikan bahwa eksploitasi berlebihan hanya akan meninggalkan kehampaan. Lebih baik manusia belajar menyatu dengan alam, menjadikan sunyi sebagai inspirasi, dan menuliskan pengalaman itu dalam bentuk puisi atau karya kehidupan.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji alam yang kuat, misalnya:
- "bayang bulan di air payau" menghadirkan gambaran visual yang tenang dan puitis.
- "kecipakkan diri di bakaubakau di pasirpasir di payaupayau" membangkitkan imaji auditif dan kinestetik.
- "lelap jadi debu jadi lumpur" menghadirkan imaji transformasi alam yang menyiratkan kefanaan.
Imaji-imaji ini membuat pembaca seakan hadir langsung di pantai, merasakan hening sekaligus menyaksikan perubahan bentang alam.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “baiknya buai sunyi itu jadikan puisi” — seolah sunyi bisa membuai.
- Metafora: pantai dan air payau dijadikan simbol kehidupan, perubahan, dan kenangan.
- Repetisi: penggunaan kata berulang seperti “payaupayau,” “pasirpasir,” dan “bakaubakau” menimbulkan efek musikalitas sekaligus penekanan makna.
Puisi "Pantai Serangan" karya Wayan Jengki Sunarta adalah puisi yang tidak hanya menggambarkan lanskap alam, tetapi juga menyelipkan renungan tentang perubahan ekologi, kefanaan manusia, dan pentingnya menyatu dengan kesunyian. Dengan tema reflektif, imaji alam yang kuat, serta penggunaan majas yang indah, puisi ini memberi pengalaman membaca yang hening sekaligus penuh makna.
Karya: Wayan Jengki Sunarta
Biodata Wayan Jengki Sunarta:
- Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
