Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Rumah Hidupku (Karya Wing Kardjo)

Puisi "Rumah Hidupku" karya Wing Kardjo bercerita tentang seorang individu yang membangun rumah hidupnya dengan batu, kayu, bambu, dan unsur-unsur ...
Rumah Hidupku

Kubangun rumah hidupku dari batu, bata, kayu, bambu, tanah air,
tumpah darah, merah putih, biru, kuning, hijau, semua warna. Ada
dana pemerintah, ada bantuan luar negeri, juga barang tentu modal
pertama orangtua. Hidup ini kubangun sendiri, kubentuk coraknya.

Sekaligus majikan dan pembantu, istana dan gudang. Ada botol
kosong dan separuh penuh. Ada gelas jatuh, piring pecah, pena patah.
Tak terhitung kutu dan debu, pakaian, majalah, koran berserakan.
Makanan sembarangan. Suara, bunyi, dari tiap sudut, meledak, berteriak,

mengeluh, mengaduh atau nyanyi mendambakan waktu. Ada dipan
lusuh tempat kerja dan istirah. Buku yang tengah dan setengah kubaca
dan yang tak pernah terbuka halaman-halamannya. Tetap gelap, tak

tertangkap sebab jendela pikiran terbuka ke segala arah sedang lampu
menyala, membakar umur. Yang tidur tak bangun karena adzan dan
ayam berkokok. Bikin rumah harus pasang tiang iman yang pokok.

Sumber: Fragmen Malam, Setumpuk Soneta (1997)

Analisis Puisi:

Puisi "Rumah Hidupku" karya Wing Kardjo merupakan refleksi eksistensial yang sarat dengan simbol-simbol kehidupan manusia. Melalui metafora rumah, penyair mengungkapkan bagaimana manusia membangun dirinya dari berbagai elemen material, sosial, dan spiritual. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang ruang fisik, tetapi juga menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan keberagaman, kekacauan, dan pencarian makna.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehidupan manusia sebagai rumah yang terus dibangun dan dipelihara. Rumah dalam puisi bukan sekadar bangunan, melainkan simbol diri, pengalaman, dan perjalanan hidup.

Puisi ini bercerita tentang seorang individu yang membangun rumah hidupnya dengan batu, kayu, bambu, dan unsur-unsur lain, termasuk “tanah air” dan “tumpah darah”. Rumah itu mewakili kehidupan yang penuh dengan kenangan, bantuan dari orang lain, dukungan keluarga, dan jerih payah pribadi. Di dalamnya terdapat berbagai kontradiksi: kerapian dan kekacauan, keceriaan dan keluhan, keseriusan dan kerapuhan.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup manusia adalah konstruksi yang kompleks, hasil dari usaha pribadi, warisan keluarga, dan interaksi dengan lingkungan sosial maupun politik. Meski ada bantuan dari luar, pada akhirnya setiap orang bertanggung jawab terhadap bangunan hidupnya sendiri. Selain itu, rumah hidup tidak akan kokoh jika tidak ditopang oleh “tiang iman”, yang menegaskan pentingnya fondasi spiritual dalam menghadapi kehidupan.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa riuh, penuh hiruk pikuk, namun juga reflektif. Ada kesan kacau ketika penyair menggambarkan “gelas jatuh, piring pecah, pena patah” dan suara dari segala arah. Namun di balik itu, ada ketenangan yang ditawarkan melalui kesadaran iman sebagai penopang utama rumah hidup.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang disampaikan adalah bahwa kehidupan manusia memang penuh kontradiksi, keramaian, dan kekacauan, tetapi semuanya bisa ditopang dengan fondasi iman dan kesadaran spiritual. Penyair ingin menekankan bahwa membangun kehidupan bukan hanya soal materi, tetapi juga soal menjaga nilai-nilai dasar agar rumah hidup tidak runtuh.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji konkret:
  • Visual: “gelas jatuh, piring pecah, pena patah”, “pakaian, majalah, koran berserakan” menghadirkan gambaran rumah yang riuh dan berantakan.
  • Auditif: “suara, bunyi, dari tiap sudut, meledak, berteriak, mengeluh, mengaduh” menciptakan suasana bising kehidupan.
  • Kinestetik: “buku yang tengah dan setengah kubaca” melukiskan gerak manusia dalam keseharian.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi antara lain:
  • Metafora: “rumah hidupku” adalah metafora dari kehidupan manusia itu sendiri.
  • Paradoks: “sekaligus majikan dan pembantu, istana dan gudang” menunjukkan kontradiksi yang ada dalam diri manusia.
  • Personifikasi: “lampu menyala, membakar umur” memberi sifat manusiawi pada lampu sebagai simbol waktu yang terus berjalan.
  • Simbolisme: “tiang iman” sebagai simbol dasar spiritual yang menopang kehidupan.
Puisi "Rumah Hidupku" karya Wing Kardjo menghadirkan gambaran kehidupan manusia yang kompleks, penuh kontradiksi, dan selalu bergerak. Rumah menjadi simbol diri yang dibentuk dari pengalaman, warisan, lingkungan, hingga keyakinan. Melalui puisi ini, penyair seolah mengingatkan bahwa meski kehidupan bisa kacau, bising, dan penuh tantangan, manusia tetap harus menegakkan tiang iman sebagai penopang utama.

Puisi Wing Kardjo
Puisi: Rumah Hidupku
Karya: Wing Kardjo

Biodata Wing Kardjo:
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja lahir pada tanggal 23 April 1937 di Garut, Jawa Barat.
  • Wing Kardjo Wangsaatmadja meninggal dunia pada tanggal 19 Maret 2002 di Jepang.
© Sepenuhnya. All rights reserved.