Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tidur Panjang (Karya Alizar Tanjung)

Puisi "Tidur Panjang" karya Alizar Tanjung tentang pengalaman seorang jamaah di masjid pada hari Jumat. Tokoh aku ingin tidur selepas salat Jumat, ...

Tidur Panjang (1)


Di masjid aku bercerita, sendiri, kapan aku
tidur, sehabis salat Jum’at, sehabis orang
berdoa, sehabis orang membaca
‘alhamdulillah’. Mataku mengantuk sekali.
Sipitnya menyimpan kelopak kuncup mawar.

Aku tidak tahu apa yang dikaji khatib, atau
mungkin tentang Tuhan, semacam Tuhan
sering singgah dari pintu ke pintu masjid,
kadang di kamar tidur garin, celengan majid,
mimbar. Yang jelas benar-benar ingin
merebahkan badan, mendengkur, agar aku
tidak menyesal pada tiap Jum’at.

Tidur Panjang (2)

Khatib telah turun mimbar, segelas air teh
dihidangkan, amplop diselipkan. Pengurus
menghitung celengan, masjid, anak yatim.

Tidur Panjang (3)

Sehabis Jum’at, sehabis doa aku tidak bisa
tidur, orang-rang ramai, langsung keluar pintu,
pakai kain sarung, peci, koko, jeans, blouse,
kemeja, katun. Di pintu jalan keluar orang berdesakan.
Sandal berdesakan. Kaki, tangan berdesakan.

Tidur Panjang (4)

Aku tidak jadi tidur, mataku ngantuk sekali,
petugas itu menggulung tikar, “permisa da”.
Aku minggir. “Silahkan.” Aku pulang. hanya
tinggal sendalku. Lantai semen. Bau
rerumputan. Panas matahari. Aku buru-buru
pulang, lebih cepat dari yang diduga. Di
rumah aku ingin tidur pulas, mengambil
bantal, karpet, menutup pintu, jendela.

Padang, Januari 2011

Analisis Puisi:

Puisi "Tidur Panjang" karya Alizar Tanjung terbagi dalam beberapa bagian yang menghadirkan refleksi sederhana namun kritis tentang pengalaman sehari-hari di masjid, khususnya selepas salat Jumat. Melalui gaya tutur yang ringan, penyair menyelipkan sindiran sosial mengenai kebiasaan, rutinitas, hingga praktik-praktik yang terjadi di ruang ibadah.

Tema

Tema puisi ini adalah rutinitas keagamaan dan potret sosial di sekitar masjid. Penyair menangkap suasana setelah salat Jumat, ketika khatib berkhotbah, jamaah berdoa, hingga kegiatan pengurus menghitung celengan. Tema ini menyingkap sisi manusiawi dalam beragama, yang tidak hanya sakral tetapi juga bercampur dengan kepentingan praktis dan kebiasaan sehari-hari.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman seorang jamaah di masjid pada hari Jumat. Tokoh aku ingin tidur selepas salat Jumat, merasakan kantuk di tengah khutbah, dan mengamati bagaimana setelah ibadah berlangsung orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada khatib yang turun dari mimbar, ada pengurus yang menghitung celengan, ada jamaah yang berdesakan keluar, bahkan ada petugas yang menggulung tikar. Semua peristiwa ini digambarkan dengan detail kecil yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik halus terhadap rutinitas keagamaan yang kadang kehilangan makna spiritualnya. Ibadah Jumat, yang seharusnya menjadi ruang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, justru dipenuhi rasa kantuk, formalitas khutbah, serta kesibukan administratif masjid. Ada juga refleksi bahwa manusia sering terjebak dalam kebiasaan lahiriah, sementara esensi ibadah bisa jadi terlewat begitu saja.

Suasana dalam puisi

Suasana yang tergambar adalah campuran antara religius, ramai, dan jenuh. Ada ketenangan masjid yang diselipkan rasa kantuk, ada hiruk-pikuk jamaah yang berdesakan di pintu keluar, ada aroma rerumputan dan panas matahari yang terasa begitu nyata ketika tokoh pulang. Suasana ini menegaskan bahwa pengalaman keagamaan juga tidak terlepas dari aspek duniawi sehari-hari.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditarik dari puisi ini adalah:
  • Ibadah jangan sekadar rutinitas, melainkan harus disertai kesadaran spiritual.
  • Kehidupan sosial-keagamaan di masjid mencerminkan wajah masyarakat, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
  • Ada ajakan untuk merenungkan kembali makna ibadah agar tidak sekadar menjadi formalitas, melainkan membawa perubahan dalam diri.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji konkret yang mudah dibayangkan:
  • Imaji visual: mata sipit yang mengantuk seperti kuncup mawar, jamaah berdesakan di pintu keluar, sandal-sandal bertumpuk, tikar yang digulung, lantai semen, rerumputan, hingga cahaya matahari panas.
  • Imaji auditif: suara doa, celoteh jamaah, hingga ucapan petugas masjid.
  • Imaji perasaan: rasa kantuk, jenuh, ingin segera pulang, dan kelegaan saat sampai di rumah.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Simile – “Sipitnya menyimpan kelopak kuncup mawar” menggambarkan mata mengantuk dengan perbandingan yang puitis.
  • Personifikasi – “Tuhan singgah dari pintu ke pintu masjid” memberi sifat manusia pada konsep ketuhanan.
  • Metafora – “Tidur panjang” bisa dimaknai sebagai istirahat yang mendalam, sekaligus simbol kehilangan kesadaran rohani.
  • Repetisi – pengulangan frasa "Jum’at" menegaskan suasana dan rutinitas.
Puisi "Tidur Panjang" karya Alizar Tanjung adalah refleksi sederhana namun tajam mengenai kehidupan beragama di ruang sosial bernama masjid. Dengan bahasa sehari-hari yang apa adanya, penyair mengajak pembaca merenungkan apakah ibadah benar-benar menjadi pengalaman spiritual, atau hanya rutinitas yang berakhir dengan rasa kantuk dan keinginan segera pulang. Imaji yang hidup, suasana yang akrab, serta majas yang halus membuat puisi ini menyampaikan kritik sosial dengan cara yang lembut tetapi mengena.

Alizar Tanjung
Puisi: Tidur Panjang
Karya: Alizar Tanjung

Biodata Alizar Tanjung:
  • Alizar Tanjung lahir pada tanggal 10 April 1987 di Solok.
© Sepenuhnya. All rights reserved.