Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tukang Sulap (Karya A. Muttaqin)

Puisi "Tukang Sulap" karya A. Muttaqin bercerita tentang seorang tukang sulap yang memainkan atraksi untuk menghibur penonton, namun apa yang ...
Tukang Sulap

Kubuka topi keramat
seperti membuka pagi dari jerap mimpi.

Kurahasiakan mawar, telur, roti, dan korek api.

Juga ular, merpati dan tikus putih ini,
agar mereka percaya yang gaib masih tersisa
di bumi yang kian brutal dan bebal.

Lihatlah ular ini. Ia tahu, di atas sana
seekor burung hantu dan sundel bolong
bercinta dan bersembunyi dari hari-hari
yang lebih buruk dari dengkur babi.

Tidak. Tidak. Mereka bukan burung hantu.

Bukan sundel bolong. Bukan.

Ketahuilah, si burung hantu
adalah punggawa yang memilih menepi
setelah si paduka membakar petapa
yang dituduh menyebar bidah.

Sedang si sundel bolong
adalah perawan yang memilih mencebur api
meniru si ratu ketika didakwa membuka
gelambir sorga dan bulu-bulu cinta. Begitulah.

Sejarah adalah serangkai rahasia, darah dan api.

Maka dengan gemetar dada dan sangsi
kumainkan sekian atraksi sepi.

Kusembur minyak ke kobar api
agar ia mengembang seperti geletar lapar.

Yakni lapar yang membuat gajah, harimau
ular dan marmut rela menjadi badut. Lapar
yang membuat segala yang liar
jadi jinak dan jamak, seperti para hadirin
yang duduk manis menikmati segala tipuanku itu.

Tak tahu jika menjadi lugu dan tolol begitu
mereka hanyalah bahan lelucon dan tertawaan
sekawanan kelelawar dan burung hantu.

Juga sundel bolong yang tawanya
kian mengerikan itu.

2014

Analisis Puisi:

Puisi "Tukang Sulap" karya A. Muttaqin merupakan karya yang penuh dengan simbol, sindiran, dan imaji surealis. Melalui figur tukang sulap, penyair menghadirkan kritik sosial-politik yang dibungkus dalam permainan ilusi. Puisi ini tidak hanya bicara tentang sulap sebagai hiburan, tetapi juga tentang manipulasi, kekuasaan, sejarah, dan bagaimana manusia menjadi penonton pasif dari tipu daya yang sengaja dipertontonkan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ilusi dan manipulasi dalam kehidupan sosial dan politik. Sulap dijadikan metafora tentang bagaimana kebenaran sering disembunyikan, sejarah dipelintir, dan rakyat dijadikan penonton yang pasif.

Puisi ini bercerita tentang seorang tukang sulap yang memainkan atraksi untuk menghibur penonton, namun apa yang ditampilkan bukan sekadar hiburan biasa. Dari topinya, ia mengeluarkan benda-benda, binatang, dan simbol-simbol mistis yang menyiratkan bagaimana “keajaiban” atau “gaib” masih digunakan untuk menipu publik. Dalam sulap itu, terselip kisah sejarah penuh darah, perlawanan, dan tragedi. Penonton yang lugu hanya menikmati pertunjukan, tanpa menyadari bahwa mereka sedang ditipu dan ditertawakan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kekuasaan dan masyarakat. Tukang sulap adalah simbol penguasa atau elite yang menciptakan ilusi demi mengendalikan orang banyak. Sementara penonton yang menikmati pertunjukan adalah rakyat yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dipermainkan. Ada pula pesan bahwa sejarah penuh darah dan api seringkali disulap agar tampak indah, sementara kebenaran disembunyikan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa misterius, gelap, sekaligus satir. Ada kesan magis ketika tokoh mengeluarkan mawar, ular, atau merpati, tetapi juga ada nuansa menyeramkan ketika muncul sosok burung hantu dan sundel bolong. Di sisi lain, ada sindiran getir yang menimbulkan rasa sinis terhadap masyarakat yang hanya duduk manis menikmati ilusi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang bisa ditarik dari puisi ini adalah bahwa manusia harus waspada terhadap ilusi kekuasaan dan tipu daya sejarah. Jangan hanya menjadi penonton yang pasrah, karena jika tidak kritis, kita hanya akan menjadi bahan tertawaan mereka yang bersembunyi di balik kekuasaan dan manipulasi.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan simbolik, antara lain:
  • Imaji sulap: “Kubuka topi keramat / kurahasiakan mawar, telur, roti, dan korek api.”
  • Imaji binatang: ular, merpati, tikus putih, gajah, harimau, marmut.
  • Imaji mistis: burung hantu, sundel bolong, api, darah.
  • Imaji sejarah: “si paduka membakar petapa / yang dituduh menyebar bidah.”
Semua imaji ini menciptakan dunia yang surreal, tetapi sekaligus sarat kritik sosial.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini adalah:
  • Metafora: tukang sulap sebagai simbol penguasa atau manipulator.
  • Personifikasi: “ular ini tahu, di atas sana seekor burung hantu dan sundel bolong bercinta,” memberi sifat manusiawi pada makhluk gaib dan binatang.
  • Sarkasme: “tak tahu jika menjadi lugu dan tolol begitu / mereka hanyalah bahan lelucon” — sindiran keras terhadap masyarakat yang pasif.
  • Hiperbola: gambaran “sejarah adalah serangkai rahasia, darah, dan api” yang menegaskan betapa keras dan tragisnya perjalanan hidup manusia.
Puisi "Tukang Sulap" karya A. Muttaqin adalah sebuah karya yang memadukan simbol magis dengan kritik sosial. Dengan tema manipulasi, cerita tentang pertunjukan ilusi yang menipu publik, makna tersirat tentang kekuasaan dan sejarah yang dipelintir, suasana misterius dan satir, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini menyentil pembacanya agar tidak hanya duduk manis menikmati ilusi. Amanatnya jelas: kita harus kritis dan sadar, karena jika tidak, kita hanya akan menjadi bagian dari lelucon besar yang dimainkan oleh mereka yang berkuasa.

A. Muttaqin
Puisi: Tukang Sulap
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.