Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pantun Tidak Bernama (Karya Hartojo Andangdjaja)

Puisi “Pantun Tidak Bernama” karya Hartojo Andangdjaja bercerita tentang perjalanan batin seseorang yang mengenang cinta yang pernah tumbuh di masa ..
Pantun Tidak Bernama (1)

Tak seorang mau melempar pandang
bunga mekar di sela lalang
Tak seorang tahu di sebuah ladang
cinta berpendar di siang lenggang

Pantun Tidak Bernama (2)

Ada layar putih kemilau
menuju ke pulau bernyiur hijau
Ada debar kasih menghimbau
ke hari lampau di sebuah dangau

Ada mendung tergantung tebal
di ujung selatan di batas tapal
Ada untung sudah diramal
di ujung penghabisan: selamat tinggal

Pantun Tidak Bernama (3)

Ada pantai di ujung Pasaman
ada bukit melingkar hutan
Ada sangsai di ujung angan
ada sakit di lingkar rawan

Ada bunga meratap di ladang
tertinggal jauh nun di seberang
Ada mata menatap berlinang
tertinggal jauh di balik kenang

Sumber: Buku Puisi (1973)

Analisis Puisi:

Hartojo Andangdjaja dikenal sebagai penyair Indonesia yang gemar mengolah kesederhanaan bahasa menjadi wadah perasaan yang halus dan reflektif. Dalam puisi “Pantun Tidak Bernama”, ia menyusun tiga bagian yang tampak seperti pantun modern—tidak terikat pada pola a-b-a-b melainkan a-a-a-a, tetapi tetap menghadirkan musikalitas dan citra puitis yang kuat.

Setiap bagian menyimpan kisah kecil tentang cinta, kehilangan, dan kenangan yang samar, seolah menjadi catatan hati seorang pengembara yang menatap masa lalu dari kejauhan.

Tema

Puisi “Pantun Tidak Bernama” memiliki tema tentang cinta dan kehilangan yang dibungkus dalam nuansa alam dan kenangan. Dalam setiap bagiannya, penyair menggambarkan perjalanan perasaan manusia terhadap cinta yang tidak sempat diungkapkan, atau telah berlalu tanpa sempat dirayakan.

Tema cinta ini tidak hadir dengan romantisme terang, melainkan lebih sebagai perenungan sunyi—tentang sesuatu yang indah namun tidak dimiliki, tentang rasa yang pernah berpendar dan kini tersisa sebagai kenangan samar.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seseorang yang mengenang cinta yang pernah tumbuh di masa lalu, namun kini hanya tersisa bayangan dan penyesalan.
  1. Pada bagian pertama, penyair menampilkan gambaran cinta yang tersembunyi—"bunga mekar di sela lalang", yang berarti keindahan yang tak disadari oleh siapa pun. Cinta itu ada, tapi terabaikan.
  2. Pada bagian kedua, nada puisinya berubah menjadi semacam perjalanan emosional, dengan layar putih yang menuju “pulau bernyiur hijau”, metafora bagi harapan atau kenangan indah masa lalu. Namun, di akhir bagian muncul perpisahan: “di ujung penghabisan: selamat tinggal.”
  3. Sedangkan bagian ketiga menutup dengan perasaan kehilangan yang mendalam. “Ada bunga meratap di ladang / tertinggal jauh nun di seberang” memperlihatkan jarak yang tak hanya fisik, tetapi juga emosional. Cinta itu kini hanyalah kenangan yang ditatap dengan mata berlinang.
Secara keseluruhan, puisi ini menggambarkan siklus cinta—dari muncul secara diam-diam, berkembang dalam kenangan, hingga berakhir dalam kesedihan dan perpisahan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi “Pantun Tidak Bernama” adalah tentang kefanaan rasa dan waktu. Cinta yang pernah tumbuh, seindah apa pun, pada akhirnya akan berhadapan dengan jarak dan perpisahan.

Hartojo seolah ingin mengatakan bahwa manusia sering kali tidak menyadari keindahan yang ada di dekatnya (“bunga mekar di sela lalang”), hingga semuanya berlalu dan hanya tersisa penyesalan (“selamat tinggal”, “mata menatap berlinang”).

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan tentang keindahan yang terabaikan. Banyak hal dalam hidup—baik cinta, kenangan, maupun kesempatan—tidak disadari nilainya sampai ia pergi. Dalam diam dan kesunyian, penyair menghadirkan renungan bahwa hidup tidak selalu memberi ruang bagi kita untuk menyapa keindahan tepat waktu.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis, lembut, dan reflektif.
  • Dari bait pertama hingga terakhir, ada nuansa senja yang perlahan memudar. Pembaca diajak merasakan perjalanan emosi dari harapan menjadi kehilangan. Tidak ada letupan perasaan yang keras; semuanya mengalir pelan seperti kenangan yang disapu angin sore.
  • Gambaran alam yang lembut—ladang, dangau, layar putih, pulau bernyiur, mendung, hingga bunga meratap—membangun suasana yang sunyi dan sendu, seolah penyair sedang menulis dari kejauhan, menatap masa silam dengan hati yang tenang namun pedih.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah pentingnya menyadari dan menghargai keindahan serta cinta selagi masih ada. Jangan sampai seperti “bunga mekar di sela lalang” yang tak pernah disadari, atau seperti “bunga meratap di ladang” yang tertinggal jauh di seberang kenangan.

Penyair juga menyampaikan pesan bahwa setiap perpisahan adalah bagian dari perjalanan hidup, dan manusia harus berani menerima takdir itu tanpa kehilangan kelembutan hati.

Puisi ini mengajarkan kita untuk tidak menunda kasih, karena waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun. Sekali “layar putih” berangkat, mungkin ia tak akan kembali lagi.

Imaji

Hartojo Andangdjaja sangat kuat dalam menghadirkan imaji alam yang mendukung suasana emosional puisinya. Beberapa contoh imaji yang menonjol antara lain:
  • “Bunga mekar di sela lalang” — menggambarkan keindahan yang tersembunyi di tengah kesemrawutan hidup.
  • “Layar putih kemilau menuju ke pulau bernyiur hijau” — menghadirkan gambaran pelayaran cinta atau perjalanan menuju kenangan.
  • “Mendung tergantung tebal di ujung selatan” — simbol duka dan perpisahan yang mendekat.
  • “Bunga meratap di ladang” dan “mata menatap berlinang” — menciptakan visual kesedihan yang sangat lembut namun kuat secara emosional.
Imaji yang digunakan tidak berlebihan, melainkan subtil dan simbolis, menggambarkan keindahan yang lembut tanpa kehilangan kedalaman makna.

Majas

Beberapa majas (gaya bahasa) yang digunakan dalam puisi ini memperkuat nuansa puitis dan emosional:
  • Personifikasi – contoh: “bunga meratap di ladang”, “cinta berpendar di siang lenggang”, keduanya memberi sifat manusia pada benda atau perasaan, menambah kesan hidup dan emosional.
  • Metafora – contoh: “layar putih menuju ke pulau bernyiur hijau” sebagai lambang perjalanan cinta menuju harapan atau kenangan masa lalu.
  • Repetisi – pada struktur “Ada…” di bagian kedua dan ketiga, digunakan untuk membangun irama dan menegaskan kontinuitas perasaan.
  • Sinekdoke – “mata menatap berlinang” mewakili keseluruhan perasaan sedih manusia melalui satu bagian tubuh.
  • Hiperbola – “cinta berpendar di siang lenggang” melebih-lebihkan intensitas cinta untuk menegaskan keindahannya.
Puisi “Pantun Tidak Bernama” karya Hartojo Andangdjaja merupakan rangkaian renungan lirih tentang cinta, kenangan, dan perpisahan. Dalam kesederhanaan struktur pantun, penyair berhasil menyembunyikan kedalaman makna: bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki untuk menjadi indah.
Dengan imaji alam yang lembut, majas personifikasi yang menawan, dan suasana melankolis yang tenang, puisi ini meninggalkan jejak rasa yang dalam—tentang sesuatu yang pernah hadir, namun kini hanya tinggal dalam kenangan yang jauh.

Puisi Hartojo Andangdjaja
Puisi: Pantun Tidak Bernama
Karya: Hartojo Andangdjaja

Biodata Hartojo Andangdjaja:
  • Edjaan Tempo Doeloe: Hartojo Andangdjaja.
  • Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya.
  • Hartojo Andangdjaja lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.