Adillah Kepala Desa Kami
Kami minta, ya Tuhan, dengan sungguh
Sudilah Kau datang menghakimi kami
Hakimilah kami seturut keadilan-Mu
Agar tenteramlah kami kini dan nanti
Yang pertama kami ingin Kau adili
Kepala Desa kami yang digerogot korupsi
Yang tak lagi malu mengeruk si fakir
Yang kian rakus mengail di tambak miskin
Dia Kepala Desa tapi juga Camat
Dialah Bupati tapi juga Gubernur
Dia Menteri, dia juga Kepala Negara
Penguasa terendah pun yang tertinggi
Lebih ngeri lagi ya Tuhan
Dia Hansip, dia pula Polisi
Dia Tentara, dia juga Penjara
Dia Algoju, Jaksa, dan Hakim
Kami bingung ya Yang Mahabijaksana
Kepala Desa kami dulunya miskin papa
Tapi kini kaya raya tak terhitung
Hartanya meluap hingga turunan ketujuh
Isterinya satu, ya resminya satu
Tapi punya kekasih hampir selusin
Koneksinya banyak lewat selir dan ipar
Benteng pertahanannya berlapis kerabat
Ia sangat beragama dan beribadat
Tapi juga penyembah harta dan uang
Ke tempat ibadat dengan dompet kembung
Tapi dermanya cuma kepingan uang batu
Desa kami kecil, ya kecil amat
Tapi hartanya mengalir ke mana-mana
Rupiahnya bermiliar di bank raksasa
Dollarnya bertumpuk di peti pusakanya
Ia urus lemak babi di pinggir desa
Tapi juga komponen pesawat di Jerman
Ia atur pajak ayam dan bawang merah
Pun bunga deposito di bank mancanegara
Ia memang amat dermawan di mata rakyat
Tapi juga curangnya, aduhai!
Ia royal memberi sedekah terbuka
Namun rakus nian menuntut upeti
Ia bantu lancarkan proyek-proyek
Tapi bukannya tanpa komisi mencekik
Ia sahabat royal para kontraktor
Tapi dicurigai para investor
Ya, Kepala Desa kami bisa segalanya
Ia ambil alih pimpinan klub sepak bola
Ia juga tetapkan jenis pupuk dan obat tikus
Ia beri instruksi tentang seragam sekolah
Ia pun bersuara di sindikat obat bius
Ia lerai anak-anak berkelahi di jalanan
Ia rujuk partai-partai politik di parlemen
Ia damaikan keluarga yang bermusuhan
Ia jadi saksi perkara golok warisan
Datanglah Tuhan, adili Kepala Desa kami
Ialah raja tapi juga babu cilik
Ia amat kuasa namun juga dikuasai
Kami bingung, bagaimana dia diadili
Kami serahkan Tuhan, kami pasrahkan
Hukum-hukum dunia tak mampu lagi
Mengatur dia yang terlepas kendali
Undang-undang semua sudah disunglapnya
Bawalah buku undang-undang surgawi
Juga meja pengadilan Hakim Ilahi
Siapkan memang palu hukum kasih
Adili sendiri Kepala Desa kami
Ende, 22 November 1991
Sumber: Ratapan Laut Sawu (Universitas Sanata Dharma, 2014)
Analisis Puisi:
Puisi “Adillah Kepala Desa Kami” karya John Dami Mukese merupakan karya yang tajam, satir, dan penuh muatan kritik sosial-politik. Melalui bahasa doa dan seruan kepada Tuhan, penyair menghadirkan potret masyarakat kecil yang kehilangan harapan terhadap keadilan duniawi. Di balik bentuknya yang seolah religius, puisi ini sebenarnya adalah jeritan rakyat terhadap penguasa yang korup dan serakah. Dengan gaya khasnya yang ironis dan hiperbolik, John Dami Mukese menelanjangi wajah kekuasaan yang menipu, memonopoli, dan memanipulasi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. John Dami Mukese mengangkat persoalan moral dan keadilan di tengah masyarakat yang dikhianati oleh pemimpinnya sendiri. “Kepala Desa” di sini tidak sekadar tokoh lokal, melainkan simbol dari seluruh lapisan penguasa yang haus kekuasaan — dari pejabat kecil hingga elit nasional.
Penyair menyoroti bagaimana kekuasaan yang seharusnya dijalankan dengan tanggung jawab justru menjadi alat untuk memperkaya diri dan menindas rakyat. Tema ini juga berlapis dengan kritik terhadap kemunafikan religius: seseorang yang rajin beribadah, tetapi hatinya menyembah uang.
Puisi ini bercerita tentang rakyat kecil yang memohon kepada Tuhan untuk mengadili pemimpin mereka yang zalim dan korup. Tokoh “Kepala Desa” menjadi representasi penguasa yang memiliki kekuasaan absolut dan tak tersentuh hukum. Ia melakukan segala hal: dari urusan pajak ayam hingga proyek internasional, dari urusan rumah tangga hingga politik nasional.
Struktur puisinya menyerupai doa panjang, tetapi isinya penuh satire. Doa itu bukan sekadar curahan hati, melainkan bentuk protes spiritual: rakyat sudah tidak percaya pada hukum manusia, sehingga satu-satunya jalan keadilan adalah pengadilan Tuhan.
Dengan menyebut “Kepala Desa” yang juga “Camat”, “Bupati”, “Gubernur”, bahkan “Kepala Negara”, penyair menegaskan bahwa korupsi bukan hanya terjadi di level bawah, tapi sudah menjamur di seluruh tingkatan kekuasaan.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini sangat kuat dan bernada sindiran politik yang dalam. John Dami Mukese menyampaikan bahwa kekuasaan yang absolut melahirkan kehancuran moral dan sosial. Ketika penguasa memegang semua peran — dari Hansip hingga Hakim, dari pejabat kecil hingga kepala negara — maka sistem hukum dan demokrasi telah lumpuh.
Puisi ini juga mengandung pesan spiritual yang ironis: ketika keadilan dunia sudah tak berfungsi, rakyat menengadah kepada Tuhan. Namun, seruan itu bukan semata doa religius, melainkan teriakan frustrasi rakyat terhadap sistem yang busuk.
Kepala Desa yang digambarkan “sangat beragama dan beribadat” tetapi juga “penyembah harta dan uang” adalah gambaran hipokrit pejabat yang menggunakan agama untuk menutupi dosa moral. Di sinilah letak ironi dan satire sosial puisi ini: agama dijadikan topeng, dan kekuasaan menjadi alat keserakahan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh kegetiran, kemarahan, dan keputusasaan. Nada religius yang seharusnya lembut berubah menjadi seruan getir yang menggugat Tuhan agar turun tangan. Pembaca dapat merasakan suasana tegang dan ironis, di mana doa tidak lagi sekadar bentuk pengharapan spiritual, melainkan jeritan sosial-politik dari rakyat tertindas.
Ada juga suasana satir yang pedih, karena penyair memparodikan cara berdoa sebagai bentuk kritik terhadap sistem hukum dan moralitas manusia yang sudah kehilangan arah.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama dari puisi ini adalah seruan moral dan kritik terhadap rusaknya integritas kepemimpinan. John Dami Mukese ingin menyampaikan bahwa kekuasaan tanpa nurani hanya akan melahirkan penderitaan bagi rakyat. Seorang pemimpin sejati seharusnya adil, jujur, dan mengabdi, bukan memperkaya diri atau menyalahgunakan jabatan.
Puisi ini juga mengingatkan bahwa agama sejati tidak diukur dari penampilan religius atau banyaknya ibadah, tetapi dari tanggung jawab moral dan kepedulian terhadap sesama.
Selain itu, penyair menegaskan bahwa ketika hukum manusia gagal menegakkan keadilan, rakyat hanya bisa menggantungkan harapan pada keadilan ilahi — meski dalam konteks ini, seruan itu lebih bernuansa satir daripada religius murni.
Imaji
Puisi ini dipenuhi imaji sosial dan politik yang tajam. John Dami Mukese menulis dengan cara yang konkret, menggunakan gambar-gambar kehidupan nyata agar kritiknya terasa hidup dan menggigit.
Contoh imaji visual dan sosial yang kuat:
- “Kepala Desa kami yang digerogot korupsi” menimbulkan gambaran tubuh moral yang busuk dari dalam.
- “Keringat si fakir yang dikeruk” menghadirkan imaji penderitaan rakyat miskin yang dieksploitasi.
- “Hartanya meluap hingga turunan ketujuh” memperlihatkan betapa rakusnya sang penguasa dalam mengumpulkan kekayaan.
- “Dompet kembung tapi dermanya cuma kepingan uang batu” menghadirkan kontras tajam antara kekayaan dan kikirnya hati.
Imaji-imaji ini membuat pembaca tidak hanya memahami secara intelektual, tapi juga merasakan ketidakadilan secara emosional.
Majas
Puisi ini kaya akan majas (gaya bahasa), yang memperkuat daya satir dan ironi sosialnya. Beberapa majas yang menonjol antara lain:
Sarkasme / Satire
Hampir seluruh puisi ini dibangun dengan nada sarkastik: doa yang seharusnya tulus malah menjadi alat sindiran.
- Contoh: “Ia sangat beragama dan beribadat / Tapi juga penyembah harta dan uang.”
Hiperbola (penggelembungan makna)
- “Hartanya meluap hingga turunan ketujuh.”
- “Ia Hansip, ia pula Polisi, ia Tentara, ia juga Penjara.”
Majas ini digunakan untuk menekankan keserakahan dan kekuasaan yang berlebihan.
Ironi
- “Ia amat dermawan di mata rakyat / Tapi juga curangnya, aduhai!”
Ironi ini menggambarkan dua wajah penguasa — dermawan di depan publik, tetapi jahat di balik layar.
Metafora
- “Kepala Desa” dijadikan metafora universal bagi seluruh pemimpin yang korup.
- “Buku undang-undang surgawi” menjadi simbol harapan terhadap keadilan Tuhan.
Repetisi
- Pengulangan frasa “Ia...” dan “Dia...” berfungsi menegaskan sifat dominan, rakus, dan omnipoten dari sosok Kepala Desa tersebut.
Majas-majas ini memperkuat kesan emosional dan memperdalam kritik sosial yang dikandung puisi.
Puisi “Adillah Kepala Desa Kami” karya John Dami Mukese merupakan salah satu contoh terbaik dari puisi protes sosial Indonesia yang berani dan tajam. Di balik bentuknya yang menyerupai doa, puisi ini adalah cermin keputusasaan rakyat terhadap pemimpin yang korup dan sistem hukum yang gagal.
Melalui gaya bahasa sarkastik, hiperbolik, dan penuh ironi, John Dami Mukese menyuarakan bahwa keadilan dunia telah mati — tinggal keadilan Tuhan yang diharapkan datang untuk mengadili mereka yang “berkuasa namun juga dikuasai” oleh keserakahan.
Puisi ini tetap relevan hingga kini, karena pesan moralnya bersifat universal: bahwa kekuasaan tanpa keadilan adalah kezaliman, dan agama tanpa kejujuran hanyalah topeng moral. Maka, puisi ini bukan hanya doa, melainkan gugatan nurani rakyat terhadap kekuasaan yang kehilangan arah dan kemanusiaan.
Karya: John Dami Mukese
Biodata John Dami Mukese:
- John Dami Mukese lahir pada tanggal 24 Maret 1950 di Menggol, Benteng Jawa, Manggarai Timur, Flores, NTT.
- John Dami Mukese meninggal dunia pada pukul 02.15 WITA tanggal 26 Oktober 2017 di RSUD Ende.