Bianglala Reformasi
Gaduh di langit katulistiwa
Belum lagi usai berderai
Warta perdamaian sirna pergi
Tertelan riuh anak-anak jalanan
Dipergok kerusuhan di batas kota
Ada massa berkumpul di setiap tikungan pertikaian
Ada masalah tertimbun di kelokan-kelokan perbedaan
Got dan selokan kota tersumbat sejuta persoalan
Jalan dan lorong-lorongnya pun penuh rongsokan politik
Lantas pelataran-pelatarannya kian semarak
Berhiaskan pamflet-pamflet korupsi
Bersanding genit dengan poster-poster kolusi
Berpadu asri dengan plakat-plakat nepotisme
Di sini ada pertarungan antara nama-nama
Dalam lintas percaturan sejuta kepentingan
Yang tak pernah bisa disebutkan
Kecuali dalam isu tanpa sosok dan nama
Dengan pelakon berlabel “kelompok tertentu”
Lantaran mereka adalah putera-puteri rekayasa
Titisan sebuah rezim bernama totaliter
Ayah mereka diktator
Ibu mereka pemeras
Anak-anak pun menjadi penindas
Penebar kekerasan dan kerusuhan
Rezeki harian rakyat jelata
Yang dipaksa menjadi fakir
Dicekoki azab dan kemiskinan
Nun jauh di ufuk Loro Sae
Seonggok tanah katulistiwa pecah
Terlempar dari gumpalannya lagi retak
Gemanya menggetarkan anak-anak Papua
Bersambut gayung dengan amarah dari Sabang
Yang tak lagi sabar menggenggam azab
Yang tak lagi sanggup berkumur derita
Menuntut urai dari Pertiwi
Bagai anak-anak lepas susu
Ingin mandiri memakan rezeki
Yang lama diraup penguasa kampong tengah
Sepasukan laskar berani mati
Tiba-tiba bangkit dari dunia bawah tanah
Berbaris gagah dalam makar-makar gelap
Ke mana-mana suarkan keyakinan nisbi:
"Kemenangan kami ada di ujung kerusuhan"
Lantas jalan-jalan pun penuh sesak
Dengan kasut-kasut tanpa kaki
Berderap sumbang dalam irama penuh sangsi
Yel dan slogan sandal-sandal tanpa telapak
Yang asalnya mustahil diusut
Yang perginya sulit dilacak
Lantaran mereka semua hanyalah boneka
Di tangan berdarah dingin para dalang
Yang lagi nyenyak di vila-vila mewah
Nonton pembantaian dalam mimpi subuh
Yang lagi teller anggur kenikmatan
Dalam pesta kemenangan bergelimang darah
Yang mabuk kepayang di buih-buih kuasa
Lantaran sanggup menyulap kerusuhan
Jadi pemuas dahaga dan nafsu berkuasa mengacau
Daftar kerusuhan dan kekerasan makin panjang
Bayang-bayang kematian pun kian memanjang
Di setiap senja warta duka datang bertandang
Diiringi balada kaum terkapar digilas derita
Ditingkah ratap tangis anak-anak bangsa
Yang tak lagi bebas di negeri kelahiran
Yang tak lagi aman di kampung halaman
Yang hak bicaranya disumbat ketakutan
Yang hak hidupnya tak lagi diperhitungkan
Dan rumah diamnya ialah pengungsian
Bianglala reformasi tak lagi genit, saudara!
Nada-nada simfoninya kian minor
Dicekoki sejuta kepentingan terbius ambisi
Paduan warna-warninya tak lagi menor
Tataan corak-motifnya pun kehilangan semarak
Bianglala reformasi kita tak lagi genit!
Karena tatkala laut Banda surgakan requiem abadi
Bagi ribuan nyawa melayang di ujung kerusuhan
Bianglala reformasi di langit-langit Ambon
Menjelma jadi gerhana di mata Pertiwi
Yang tangisnya deraikan darah
Yang ratapnya cucurkan dukana
Dan dari tenggorokannya tersumbat sungkawa
Seutas Tanya berdesis pilu:
"Anak-anakku, putera-puteri dukana,
Masihkah di katulistiwa ada bianglala?"
Ende, 31 Juli 2000
Sumber: Ratapan Laut Sawu (Universitas Sanata Dharma, 2014)
Analisis Puisi:
Puisi “Bianglala Reformasi” karya John Dami Mukese bertema kegagalan reformasi dan penderitaan rakyat akibat kekacauan sosial, politik, dan moral di Indonesia pascareformasi. Penyair menyoroti bahwa cita-cita reformasi yang dahulu indah dan menjanjikan, kini telah kehilangan maknanya karena diwarnai kepentingan, kekerasan, dan kerakusan penguasa.
Puisi ini bercerita tentang kondisi Indonesia setelah runtuhnya rezim Orde Baru, ketika semangat reformasi yang seharusnya membawa perubahan positif justru berubah menjadi sumber kekacauan dan konflik. Melalui gambaran kerusuhan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan pertikaian sosial, penyair menampilkan bagaimana cita-cita reformasi yang semula penuh harapan (“bianglala”) berubah menjadi kehancuran dan keputusasaan. “Bianglala reformasi” di sini menjadi simbol keindahan semu, yang kini pudar di tengah kenyataan pahit rakyat yang masih menderita.
Makna tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa reformasi tanpa moral dan kejujuran justru melahirkan tirani baru dalam wajah berbeda. Penyair menyindir bahwa para penguasa dan elite politik pascareformasi hanyalah “anak-anak rezim totaliter” — penerus watak diktator lama yang kini bersembunyi di balik jargon kebebasan dan demokrasi. Dengan nada satir, penyair menegaskan bahwa reformasi telah kehilangan arah karena dijalankan bukan demi rakyat, melainkan demi kepentingan kelompok dan kekuasaan pribadi.
Suasana dalam puisi
Puisi ini menghadirkan suasana muram, getir, dan penuh keprihatinan. Dari awal hingga akhir, suasana tegang dan penuh amarah terasa kuat—menggambarkan negeri yang kacau, penuh kerusuhan, dan kehilangan arah moral. Nada protes dan duka menyatu dalam gambaran sosial yang suram.
Amanat / pesan yang disampaikan
Pesan yang disampaikan adalah bahwa reformasi sejati hanya akan berhasil jika dijalankan dengan kejujuran, moral, dan keberpihakan pada rakyat kecil. Penyair mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa nurani hanya akan melahirkan penindasan baru, bahkan di era yang mengaku bebas. Puisi ini adalah peringatan moral agar bangsa tidak lupa pada cita-cita awal reformasi: kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Imaji
John Dami Mukese menggunakan banyak imaji sosial dan visual yang kuat untuk mempertegas kritiknya:
- “Got dan selokan kota tersumbat sejuta persoalan” → imaji visual tentang negara yang kotor dan macet secara moral.
- “Pelataran berhiaskan pamflet-pamflet korupsi, poster-poster kolusi, plakat-plakat nepotisme” → imaji visual dan simbolik tentang wajah reformasi yang ternoda.
- “Jalan-jalan penuh kasut tanpa kaki” → imaji surealis yang menggambarkan kekacauan dan kehilangan arah rakyat.
- “Bianglala reformasi di langit Ambon menjelma jadi gerhana di mata Pertiwi” → imaji metaforis tentang suramnya nasib bangsa akibat konflik dan kekerasan.
Majas
Puisi ini kaya dengan majas yang memperkuat kritik sosialnya:
- Metafora: “Bianglala reformasi” sebagai lambang keindahan dan harapan bangsa yang kini memudar.
- Personifikasi: “Bianglala reformasi tak lagi genit” memberi sifat manusia pada simbol reformasi, menggambarkan keindahan yang telah hilang.
- Hiperbola: “Got dan selokan kota tersumbat sejuta persoalan” menekankan banyaknya masalah yang menumpuk di negeri ini.
- Ironi: Reformasi yang seharusnya membawa perubahan baik justru melahirkan kerusuhan dan kesengsaraan.
- Simbolisme: “Kasut tanpa kaki” dan “dalang di vila-vila mewah” melambangkan rakyat yang kehilangan kendali dan elite yang menikmati kekuasaan tanpa peduli penderitaan rakyat.
Puisi “Bianglala Reformasi” karya John Dami Mukese adalah sindiran tajam terhadap realitas sosial-politik Indonesia pascareformasi. Dengan gaya bahasa metaforis dan citraan yang kuat, penyair menampilkan potret bangsa yang masih kacau: rakyat menderita, elit politik berkuasa, dan cita-cita reformasi terdistorsi oleh ambisi pribadi.
“Bianglala” yang seharusnya menjadi lambang keindahan dan harapan kini “tak lagi genit”—menjadi gerhana di mata Pertiwi, tanda bahwa keindahan reformasi telah lenyap tertelan kerakusan dan kekerasan. Puisi ini adalah jeritan nurani sekaligus refleksi nasional, mengingatkan bahwa perjuangan sejati belum selesai selama reformasi masih berhenti di permukaan tanpa perubahan moral yang hakiki.
Karya: John Dami Mukese
Biodata John Dami Mukese:
- John Dami Mukese lahir pada tanggal 24 Maret 1950 di Menggol, Benteng Jawa, Manggarai Timur, Flores, NTT.
- John Dami Mukese meninggal dunia pada pukul 02.15 WITA tanggal 26 Oktober 2017 di RSUD Ende.