Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bukit Sibisu (Karya Slamet Sukirnanto)

Puisi “Bukit Sibisu” karya Slamet Sukirnanto bercerita tentang seorang lelaki yang berhenti sejenak di Bukit Sibisu, merenungi hidupnya dengan ...
Bukit Sibisu

Tak ada waktu menggali luka
Hanya kabut dan kehijauan
- selimut pertapa! Diammu mengagumkan
Menyentuh kencana-keheningan jiwa,
Mengatas terus bertanya:
Adakah memang puncakmu sorga?
Bukit Sibisu
Dikakimu

Lelaki tertahan sejenak
Mengurai gairah. Dan lupa
Tanya hari esok
Keyakinan kokoh
Dalam ruang batinnya.
Tiba-tiba tegak
Bagaikan batu padas tanah Toba!
Bersama sunyi mengeja semesta!
Danau Toba juga batu padas dan manusia
Hidup di tebing curam
Mengoyak lebar kolam maha luas
- mandilah bulan dan matahari senja!

Ada nyanyi gersang
Dan petikan gitar
Menggeletar merongga angkasa!
Puaskan dahaga
Was-was dan kecewa
Larut bersama ombak.

Si pemabuk tuak pulang
Gontai. Di tangannya
Menggenggam erat setangkai bunga!
Beri lagi aku
Hidup bijak
Dalam keras batu
Dalam lembut bunga

Prapat, April 1979

Sumber: Luka Bunga (1991)

Analisis Puisi:

Puisi “Bukit Sibisu” karya Slamet Sukirnanto menghadirkan perpaduan antara panorama alam, kehidupan manusia, dan renungan batin yang mendalam. Dengan latar Danau Toba dan bukit di sekitarnya, penyair menghadirkan suasana kontemplatif yang menyingkap relasi manusia dengan alam dan perjalanan batin. Melalui simbol kabut, batu padas, ombak, hingga bunga, puisi ini menyuguhkan perenungan filosofis yang puitis.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perenungan manusia tentang hidup, kebijaksanaan, dan keabadian di tengah keheningan alam. Bukit Sibisu menjadi titik pijak refleksi, tempat manusia merenungkan luka, keyakinan, dan makna kebersatuan dengan semesta.

Puisi ini bercerita tentang seorang lelaki yang berhenti sejenak di Bukit Sibisu, merenungi hidupnya dengan latar Danau Toba yang megah dan sunyi. Dari keheningan alam, ia merasakan ketenangan dan sekaligus getaran kehidupan: batu yang keras, bunga yang lembut, ombak yang bergolak, hingga nyanyian gersang. Kehidupan manusia, dengan segala was-was dan kecewanya, seolah larut bersama alam yang agung.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa alam bukan hanya pemandangan, tetapi cermin batin manusia. Keheningan bukit dan keagungan Danau Toba mengajarkan manusia tentang kesabaran, kekokohan, dan kelembutan hidup. Alam memberi pelajaran bahwa kehidupan adalah perpaduan keras dan lembut, pahit dan indah, sunyi dan riuh. Dengan merenungkan alam, manusia dapat menemukan kebijaksanaan dan keteguhan dalam menghadapi perjalanan hidup.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, kontemplatif, sekaligus penuh kekuatan batin. Ada kesunyian yang membelai jiwa, ada juga gelora perasaan yang dihadirkan melalui ombak, gitar, dan nyanyian. Nuansa religius dan filosofis tampak melalui pertanyaan “Adakah memang puncakmu sorga?”, yang menggiring pembaca pada refleksi spiritual.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa kebijaksanaan hidup dapat ditemukan dalam keseimbangan antara kekokohan dan kelembutan. Seperti batu padas yang kuat dan bunga yang rapuh, manusia seharusnya belajar memadukan kekuatan dan kelembutan dalam hidupnya. Alam mengajarkan manusia untuk bijak dalam menanggung luka, menerima kegagalan, dan tetap kokoh di tengah gelombang kehidupan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang menghadirkan visual dan suasana khas Danau Toba:
  • Imaji visual: “kabut dan kehijauan – selimut pertapa”, “tegak bagaikan batu padas tanah Toba”, “setangkai bunga digenggam erat”.
  • Imaji auditori: “nyanyi gersang dan petikan gitar menggeletar merongga angkasa”.
  • Imaji perasaan: “puaskan dahaga, was-was dan kecewa, larut bersama ombak” menggambarkan kegelisahan batin manusia.
  • Imaji alam: kabut, ombak, bulan, matahari senja, bukit, dan danau menegaskan kehadiran alam sebagai saksi perjalanan manusia.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “sunyi mengeja semesta” memberi sifat manusia pada kesunyian.
  • Metafora: batu padas melambangkan keteguhan, bunga melambangkan kelembutan.
  • Hiperbola: “menggeletar merongga angkasa” memberi kesan kuat pada suara gitar.
  • Simbolisme: kabut, ombak, dan bunga menjadi simbol kehidupan, kesedihan, dan kebijaksanaan.
Puisi “Bukit Sibisu” karya Slamet Sukirnanto adalah refleksi mendalam tentang manusia dan alam. Dengan latar Danau Toba, penyair menegaskan bahwa keheningan dan keagungan alam mampu membimbing manusia menemukan makna hidup. Tema perenungan, imaji yang kuat, serta penggunaan majas yang khas membuat puisi ini tidak hanya indah dibaca, tetapi juga menantang untuk direnungkan. Alam, dalam puisi ini, menjadi guru kehidupan: mengajarkan kerasnya batu dan lembutnya bunga sebagai jalan menuju kebijaksanaan.

Puisi Slamet Sukirnanto
Puisi: Bukit Sibisu
Karya: Slamet Sukirnanto

Biodata Slamet Sukirnanto:
  • Slamet Sukirnanto lahir pada tanggal 3 Maret 1941 di Solo.
  • Slamet Sukirnanto meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2014 (pada umur 73 tahun).
  • Slamet Sukirnanto adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.