Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Derita Kian Melata (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Derita Kian Melata" karya Wayan Jengki Sunarta adalah gambaran kuat tentang kehidupan sosial-politik yang penuh penderitaan, sekaligus ...
Derita Kian Melata

di jalanan, derita kian melata
hari-hari penuh duri,
hari-hari penuh racun
menyembur dari mulut bacin
kaum politikus

derita menjalari jelita matamu
lelampu kafe meremang
kau menjelma bebayang
memudar dan samar

di licin pinggulmu
jiwaku tergelincir 
malam membeku
dalam botol-botol bir

kaum jahanam membual
mengumbar janji di televisi
derita kian melata di jalanan

gelasku kembali kosong
kau tuang tawamu,
senyummu, rayumu
aku makin mabuk
seperti serangga buta
merayapi bunga perdu

kau yang selalu kehilangan siang
merindui hari kemilau
bau dan debu koran melekat
di dinding kusam
berbaur peluh dan wangi pupurmu

deritamu perlahan mengaliri nafasku
menjalari denyut waktu di urat nadi
tapi, tak usah peduli
kita bercinta saja hingga subuh
hingga embun membasuh
delta yang semayam
di redup matamu.

2015

Analisis Puisi:

Puisi "Derita Kian Melata" karya Wayan Jengki Sunarta menghadirkan kritik sosial yang kuat dengan balutan lirisme puitis. Penyair menggunakan bahasa yang tajam, penuh metafora, sekaligus menyelipkan nuansa personal. Ia menggambarkan kehidupan yang diliputi penderitaan, disebabkan oleh janji-janji kosong para politikus serta realitas sosial yang penuh kepalsuan. Di sisi lain, puisi ini juga menyinggung pengalaman personal yang melibatkan cinta, mabuk, dan keputusasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Tema

Tema utama puisi ini adalah derita sosial akibat kepalsuan politik dan kehampaan hidup yang dialami manusia di tengah modernitas. Puisi ini mencampurkan kritik sosial dengan nuansa personal, memperlihatkan betapa penderitaan masyarakat melekat bahkan dalam kehidupan paling intim.

Puisi ini bercerita tentang kondisi kehidupan yang dipenuhi derita, baik di jalanan maupun dalam pengalaman pribadi penyair. Ada sindiran tajam terhadap kaum politikus yang hanya menebar janji manis di televisi, sementara rakyat menderita. Selain itu, puisi juga menyajikan adegan-adegan personal seperti mabuk di kafe, bercinta hingga subuh, dan kerinduan pada hari-hari yang indah, semua ditampilkan dalam suasana muram dan getir.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah kritik terhadap realitas sosial-politik Indonesia, di mana rakyat dibiarkan menderita sementara elit politik sibuk berpura-pura. Derita di jalanan menjadi simbol penderitaan kolektif, sedangkan kisah personal penyair (tentang mabuk, cinta, dan kehilangan cahaya hidup) melambangkan pelarian dari realitas pahit. Puisi ini ingin menunjukkan bahwa penderitaan sosial bukan hanya dialami secara massal, tetapi juga meresap ke ruang pribadi setiap individu.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa muram, getir, sekaligus penuh keresahan. Gambaran jalanan penuh derita, politikus yang membual, dan tokoh aku yang terjebak dalam mabuk serta kerinduan, semuanya menciptakan nuansa suram namun puitis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah agar pembaca lebih kritis terhadap janji-janji kosong politik dan menyadari betapa penderitaan rakyat sering kali diabaikan. Selain itu, ada pula pesan personal: meski derita terasa meluas, manusia tetap mencari pelarian melalui cinta, tawa, atau mabuk, meskipun itu hanya sementara.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat:
  • Imaji visual: “hari-hari penuh racun / menyembur dari mulut bacin kaum politikus”, “lelampu kafe meremang”, “bau dan debu koran melekat / di dinding kusam”. Semua memberikan gambaran nyata tentang kehidupan yang suram.
  • Imaji peraba: “di licin pinggulmu jiwaku tergelincir”, menghadirkan sensasi fisik sekaligus simbolis.
  • Imaji penciuman: “berbaur peluh dan wangi pupurmu”, menghadirkan suasana sensual yang kontras dengan kritik sosial.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “derita kian melata” melukiskan penderitaan yang menjalar luas, seolah-olah derita itu makhluk hidup.
  • Personifikasi – “deritamu perlahan mengaliri nafasku / menjalari denyut waktu di urat nadi” memberikan sifat hidup pada derita.
  • Hiperbola – “hari-hari penuh racun” menggambarkan kondisi hidup yang begitu pahit.
  • Simbolisme – botol bir, kafe, dan embun menjadi simbol pelarian, harapan, serta kegetiran hidup.
Puisi "Derita Kian Melata" karya Wayan Jengki Sunarta adalah gambaran kuat tentang kehidupan sosial-politik yang penuh penderitaan, sekaligus refleksi personal tentang pelarian manusia dari kenyataan pahit. Dengan tema yang menggabungkan kritik sosial dan pengalaman batin, puisi ini menghadirkan suasana muram yang diperkuat oleh imaji visual, auditif, dan penciuman yang kaya. Majas yang digunakan mempertegas pesan bahwa derita tidak hanya ada di jalanan, tetapi juga meresap dalam jiwa manusia.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Derita Kian Melata
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.