Analisis Puisi:
Puisi “Di Hotel Sriwijaya, Teluk Betung, Lampung” karya Wayan Jengki Sunarta merupakan karya reflektif yang sarat dengan kenangan, luka batin, dan pencarian makna hidup di tengah kesementaraan dunia. Puisi ini terbagi menjadi dua bagian — masing-masing dipersembahkan untuk dua tokoh berbeda: M. Arman AZ dan Ahmad Syubbanuddin Alwy — namun keduanya terhubung oleh benang merah yang sama: nostalgia, kefanaan, dan pencarian identitas manusia di antara reruntuhan kenangan dan gairah duniawi yang pudar.
Tema
Tema utama puisi ini adalah refleksi kehidupan dan kefanaan manusia. Wayan Jengki Sunarta memotret suasana batin seseorang yang kembali pada kenangan masa lalu — di sebuah hotel tua yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Melalui deskripsi tempat, waktu, dan suasana kota, penyair menggambarkan bagaimana waktu melunturkan segalanya: cinta, gairah, bahkan semangat hidup.
Tema lainnya yang tersirat adalah pertarungan antara kenangan dan realitas, antara masa muda yang penuh gairah dengan masa kini yang muram dan kosong. Ada juga tema pencarian makna spiritual, khususnya dalam bagian kedua, ketika penyair menyinggung tentang “akhir birahi” dan “sayap kupu-kupu” — simbol pencarian jiwa yang belum matang namun ingin terbang bebas dari nafsu duniawi.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan batin seseorang yang mengenang masa lalu di sebuah hotel tua di Teluk Betung, Lampung. Pada bagian pertama, suasananya lebih melankolis: penyair menggambarkan bagaimana tempat itu — “hotel yang menggetarkan kenangan” — menjadi ruang pertemuan antara waktu, kesepian, dan kenangan yang belum usai. Di sana ada “dinding suram kota” dan “perempuan-perempuan di tikungan”, yang mengisyaratkan adanya kisah lama tentang cinta, hasrat, atau dosa masa silam.
Pada bagian kedua, penyair berbicara kepada sahabatnya, Alwy, tentang kegelisahan batin di antara dorongan birahi dan keinginan untuk menemukan makna sejati. “Ada kupu-kupu begitu lugu / belum sempurna lepas / dari lendir kepompongnya” — menggambarkan jiwa yang masih muda, polos, dan rapuh, yang berusaha memahami dunia namun justru terluka oleh pengalaman.
Puisi ini seolah merekam pertemuan antara masa lalu dan masa kini — antara kenangan masa muda yang penuh gejolak dengan kesadaran masa tua yang penuh keheningan dan penyesalan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran tentang kefanaan hidup dan kebutuhan manusia untuk berdamai dengan masa lalunya. Hotel Sriwijaya menjadi simbol tempat singgah sementara — seperti hidup manusia sendiri. Di sana, penyair menyadari bahwa “segala bermula dari fana”. Artinya, segala pengalaman, gairah, dan kenangan yang dahulu tampak besar dan berharga kini terlihat kecil dan sementara di hadapan waktu.
Makna lain yang tersirat adalah kritik halus terhadap kehidupan modern dan urban yang kehilangan arah spiritual. Kota digambarkan murung, suram, dan penuh kesepian — mencerminkan batin manusia yang kehilangan makna karena terlalu sibuk mengejar hasrat sesaat.
Kupu-kupu yang belum lepas dari kepompongnya dapat ditafsirkan sebagai simbol jiwa yang belum matang — jiwa manusia yang masih belajar menghadapi realitas hidup dan mencari kebebasan sejati.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang muncul dalam puisi ini adalah melankolis, sepi, dan reflektif. Penyair mengajak pembaca masuk ke dunia yang dipenuhi bayangan masa lalu dan suara hati yang sunyi. Kata-kata seperti “hotel yang menggetarkan kenangan”, “dinding-dinding suram kota”, dan “jalan-jalan kota yang murung” menciptakan suasana nostalgik sekaligus getir.
Namun, di balik kesedihan itu, ada juga suasana spiritual yang tenang, seolah penyair sudah mulai menerima kenyataan tentang kefanaan hidup. Ada kesadaran bahwa segala kenangan — betapapun perihnya — tetap bagian dari perjalanan menuju kedewasaan batin.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan utama dari puisi ini adalah pentingnya menyadari bahwa hidup adalah perjalanan sementara, dan manusia harus belajar berdamai dengan masa lalu untuk menemukan makna sejati dari keberadaannya.
Puisi ini juga menyampaikan pesan tentang pentingnya kesadaran moral dan spiritual di tengah godaan duniawi. Gairah, birahi, dan kenangan indah masa muda pada akhirnya akan pudar; yang abadi hanyalah pengalaman batin dan kesadaran akan kefanaan itu sendiri.
Selain itu, penyair juga seolah ingin mengingatkan: waktu tak bisa diulang, dan kenangan yang dulu menggetarkan kini hanya menjadi gema di ruang sunyi. Namun dari kesadaran itulah lahir kedewasaan dan kebijaksanaan.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual dan imaji perasaan yang kuat. Beberapa contoh imaji yang mencolok antara lain:
- “Jemari waktu mengukir hari di dinding-dinding suram kota” → menghadirkan bayangan waktu yang menggerus kehidupan, membangun kesan visual dan metaforis yang mendalam.
- “Perempuan-perempuan di tikungan di bawah tiang listrik” → imaji visual yang menggambarkan sisi gelap kota, dunia yang remang dan murung.
- “Cahaya lampu merkuri membasuh wajahnya” → menghadirkan bayangan cahaya buatan yang dingin, menandakan kesepian modern.
- “Ada kupu-kupu begitu lugu belum sempurna lepas dari lendir kepompongnya” → imaji lembut dan simbolik yang menggambarkan jiwa yang masih rapuh, belum bebas dari belenggu kehidupan.
Imaji-imaji ini membentuk atmosfer yang kuat — seolah pembaca dapat merasakan aroma laut Lampung, melihat lampu jalan yang suram, dan mendengar suara sepi yang menekan.
Majas
Puisi ini menggunakan beragam majas untuk memperkuat ekspresi, antara lain:
Majas personifikasi:
- “Jemari waktu mengukir hari” — waktu digambarkan seperti manusia yang menulis atau mengukir, menandakan proses hidup yang terus bergerak.
Majas metafora:
- “Kupu-kupu yang belum lepas dari kepompongnya” — melambangkan jiwa manusia yang belum matang atau masih belajar dari penderitaan.
- “Cahaya lampu merkuri membasuh wajahnya” — menggambarkan pencerahan semu, atau sinar buatan yang tidak hangat.
Majas simbolik:
- Hotel Sriwijaya sebagai simbol tempat persinggahan hidup, dan lampu merkuri sebagai simbol modernitas yang dingin.
Melalui puisi “Di Hotel Sriwijaya, Teluk Betung, Lampung”, Wayan Jengki Sunarta menulis semacam renungan eksistensial tentang waktu, kenangan, dan kefanaan. Puisi ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan cermin dari kesadaran manusia yang tengah menua dan menatap kembali dirinya sendiri di cermin masa lalu.
Dengan bahasa yang puitis dan sarat simbol, penyair berhasil mengajak pembaca menelusuri ruang batin yang sunyi namun penuh makna — ruang di mana segala kenangan, dosa, dan kerinduan berpadu menjadi pelajaran hidup yang tak ternilai.
Karya: Wayan Jengki Sunarta
Biodata Wayan Jengki Sunarta:
- Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
