Gunung Sampah
Anak kecil itu menutup hidungnya dengan tangan kecilnya
Cekatan memilah botol plastik
Ia terjang gunung sampah yang baunya menyengat
Demi sesuap nasi dan uang saku sekolah
Aku menatapnya sedih
Harusnya ia bermain bersama teman sebayanya
Harusnya ia tertawa riang bersama kawan-kawannya
Demi apa, dia begitu?
Membantu ibu, meringankan beban ibu
Dengan mencari sampah
Ia jadikan uang saku untuk masa depan
Sumber: Surat dari Samudra (2018)
Analisis Puisi:
Puisi “Gunung Sampah” karya Ima Yusrina adalah potret getir kehidupan sosial yang begitu dekat dengan kenyataan sehari-hari. Dengan bahasa lugas namun menyayat, penyair menghadirkan kisah seorang anak kecil yang berjuang melawan kerasnya hidup di tengah tumpukan sampah. Puisi ini tidak hanya menggugah rasa iba, tetapi juga menyentil kesadaran kita tentang ketimpangan sosial dan keteguhan hati anak-anak dari keluarga miskin yang tetap berjuang demi masa depan.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kemiskinan dan perjuangan hidup anak kecil. Ima Yusrina menyoroti realitas sosial yang sering terabaikan—anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar, justru harus bekerja keras demi membantu keluarga. Tema ini juga menyiratkan nilai pengorbanan, keteguhan, dan kasih sayang dalam keluarga, terutama antara anak dan ibunya.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak kecil yang bekerja memungut sampah di tempat pembuangan, demi mendapatkan uang untuk membantu ibunya dan membeli kebutuhan sekolah. Anak itu digambarkan dengan tangan kecil yang “cekatan memilah botol plastik”, menunjukkan betapa kerasnya ia berjuang di usia yang seharusnya penuh keceriaan.
Si aku lirik (penulis) menyaksikan pemandangan itu dengan rasa sedih dan iba. Ia sadar bahwa anak kecil itu semestinya bermain bersama teman sebayanya, bukan bertarung dengan bau busuk gunung sampah. Namun, realitas sosial memaksanya untuk menjadi “dewasa sebelum waktunya”—karena desakan hidup dan tanggung jawab terhadap ibunya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sosial terhadap ketimpangan ekonomi dan realitas kemiskinan yang membuat anak-anak kehilangan masa kecilnya. Ima Yusrina tidak hanya menggambarkan penderitaan, tetapi juga menunjukkan sisi kemanusiaan yang penuh cinta: seorang anak rela berkorban demi membantu ibunya.
Selain itu, puisi ini juga mengandung pesan moral tentang keteguhan hati dan makna perjuangan. Di tengah kondisi yang sulit, anak kecil itu tidak menyerah. Ia memungut botol plastik bukan karena menyerah pada nasib, tetapi karena ingin memperjuangkan masa depannya, “uang saku untuk masa depan”. Ini mencerminkan optimisme yang sederhana namun kuat—bahwa harapan tetap hidup, bahkan di tumpukan sampah.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah sedih, pilu, dan haru. Dari baris pertama, “Anak kecil itu menutup hidungnya dengan tangan kecilnya,” pembaca langsung dibawa ke suasana yang getir—bau busuk, panas, dan kerasnya lingkungan tempat pembuangan sampah. Namun di balik kesedihan itu, juga muncul suasana kagum dan empati, terutama ketika penyair menyadari alasan di balik perjuangan sang anak: cinta kepada ibu dan semangat hidup yang tinggi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah ajakan untuk memiliki empati terhadap kaum miskin dan pekerja kecil, khususnya anak-anak. Ima Yusrina mengingatkan bahwa masih banyak anak di dunia nyata yang harus berjuang keras demi bertahan hidup, sementara sebagian lainnya hidup dalam kenyamanan.
Puisi ini juga menyampaikan pesan moral tentang tanggung jawab dan pengorbanan. Anak kecil dalam puisi menjadi simbol ketulusan, yang tanpa pamrih membantu ibunya, membuktikan bahwa kemiskinan tidak selalu berarti kekalahan—kadang justru melahirkan jiwa yang paling tangguh dan tulus.
Selain itu, ada pesan spiritual tersirat bahwa kerja keras yang dilakukan dengan niat baik akan menjadi bekal masa depan, bukan hanya secara materi, tetapi juga sebagai pelajaran hidup yang berharga.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan kinestetik. Imaji visual tampak jelas dalam deskripsi:
- “Anak kecil itu menutup hidungnya dengan tangan kecilnya” — menghadirkan pemandangan nyata tentang bau busuk yang menyengat.
- “Cekatan memilah botol plastik” — memperlihatkan gerak tubuh anak yang aktif bekerja.
- “Ia terjang gunung sampah” — menciptakan citra kuat tentang perjuangan di tengah kesengsaraan.
Imaji tersebut membuat pembaca seolah-olah dapat melihat langsung adegan di tempat pembuangan, merasakan panas, bau busuk, dan kegetiran yang menyelimutinya. Imaji emosional pun terasa kuat dalam penggambaran rasa iba dan kekaguman aku lirik terhadap anak kecil tersebut.
Majas
Beberapa majas (gaya bahasa) yang digunakan dalam puisi “Gunung Sampah” antara lain:
- Metafora – pada frasa “gunung sampah” yang bukan berarti gunung sesungguhnya, tetapi tumpukan sampah yang menjulang tinggi seperti gunung. Ini menggambarkan betapa besarnya masalah lingkungan dan sosial yang dihadapi.
- Hiperbola – digunakan untuk memperkuat kesan penderitaan, misalnya pada gambaran anak kecil yang “terjang gunung sampah” demi sesuap nasi, seolah menghadapi tantangan besar yang berbahaya.
- Repetisi – pengulangan kata “harusnya ia…” menegaskan penyesalan dan rasa iba aku lirik terhadap kondisi anak tersebut.
- Personifikasi – walau tidak dominan, nuansa hidup pada “gunung sampah” seolah menghadirkan lawan yang menantang bagi sang anak, menggambarkan pertarungan antara manusia kecil dan kerasnya kehidupan.
Puisi “Gunung Sampah” karya Ima Yusrina bukan hanya potret realitas sosial, melainkan juga seruan nurani. Melalui kisah sederhana tentang seorang anak kecil pemungut sampah, penyair mengajarkan makna tentang keteguhan, cinta, dan kemanusiaan.
Tema kemiskinan yang diangkat terasa begitu hidup karena disampaikan dengan imaji yang kuat dan bahasa yang jujur. Pembaca tidak hanya diajak untuk merasa iba, tetapi juga merenung: betapa masih banyak anak di dunia nyata yang berjuang di tengah “gunung sampah” kehidupan.
Puisi ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap perjuangan kecil, tersimpan kekuatan besar yang lahir dari kasih dan harapan—dua hal yang membuat manusia tetap bertahan, bahkan di tempat yang paling busuk sekalipun.
Karya: Ima Yusrina
Biodata Ima Yusrina:
- Ima Yusrina lahir pada tahun 1990 di Magelang.
