Hutan dalam Hutan
Aku mendengar desau rumputan
Menari bersama hembusan angin pagi
Aku melihat geraknya yang indah
Pada keluasan langit biru menuliskan
Pertarungan hidup dan mati
Lalu kuhayati akan harga yang sia-sia
Amarah dan nafsu yang dikekalkan
Manusia. Betapa dari waktu ke waktu
Hanya bangkit dan rubuh
Mengejar yang tak pernah terkejar
Sumber: Lagu dalam Hujan (Bandung: Rekamedia, 1996)
Analisis Puisi:
Puisi “Hutan dalam Hutan” karya Soni Farid Maulana merupakan karya reflektif yang mengajak pembaca merenungi hubungan antara manusia, alam, dan hakikat kehidupan. Melalui diksi yang lembut namun sarat makna, penyair menghadirkan gambaran alam sebagai cermin bagi perilaku dan kesadaran manusia. Hutan dalam puisi ini bukan hanya tempat fisik, tetapi juga simbol dari batin manusia yang kompleks—penuh pertarungan antara nafsu, amarah, dan pencarian makna hidup.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah renungan tentang kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam. Penyair menggunakan hutan sebagai metafora untuk menggambarkan pergulatan batin manusia yang tidak pernah selesai. Tema ini juga menyinggung kesia-siaan ambisi manusia yang terus mengejar sesuatu yang tak pernah bisa diraih, seperti kekuasaan, harta, atau kepuasan duniawi. Dalam kedalaman maknanya, Soni Farid Maulana mengajak pembaca untuk kembali merenungi nilai kesederhanaan dan keharmonisan dengan alam.
Puisi ini bercerita tentang seorang penyair yang sedang mengamati dan merenungi keindahan alam—rumput yang bergoyang, angin pagi yang lembut, dan langit yang luas—sembari menemukan pesan kehidupan di dalamnya. Ia mendengar “desau rumputan” dan melihat gerak angin sebagai tanda kehidupan yang selaras dan damai. Namun, di balik keindahan itu, penyair menyadari bahwa manusia justru hidup dalam pertarungan batin yang penuh amarah dan nafsu. Dari waktu ke waktu, manusia hanya “bangkit dan rubuh”—terus berjuang tanpa pernah benar-benar mencapai ketenangan. Cerita dalam puisi ini menggambarkan proses kontemplasi tentang makna eksistensi dan kesadaran moral manusia di tengah dunia yang terus berubah.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap sifat manusia yang serakah dan tidak pernah merasa cukup, sekaligus ajakan untuk kembali memahami keseimbangan hidup. Penyair menggambarkan bahwa alam selalu bergerak dalam harmoni—angin, rumput, dan langit saling menyesuaikan diri—sementara manusia justru sibuk mempertahankan amarah dan nafsu yang “dikekalkan”. Hutan di sini menjadi simbol dari hati manusia, tempat pertarungan antara kebaikan dan keburukan, kesadaran dan keserakahan. Melalui renungan ini, Soni Farid Maulana ingin mengingatkan bahwa hidup yang indah bukanlah hidup yang dipenuhi ambisi, melainkan kehidupan yang damai, selaras, dan penuh kesadaran spiritual.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini tenang, reflektif, dan sedikit melankolis. Pada awalnya, suasana terasa damai dengan gambaran rumput yang menari bersama angin pagi. Namun, seiring berjalannya bait, suasana berubah menjadi kontemplatif dan agak muram ketika penyair mulai menyadari betapa manusia hidup dalam lingkaran amarah dan kesia-siaan. Suasana ini menggambarkan pergeseran dari ketenangan alam menuju kedalaman renungan batin.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat utama dalam puisi ini adalah pesan moral agar manusia belajar dari alam tentang keseimbangan dan kesederhanaan hidup. Alam tidak pernah serakah, tidak pernah marah, dan tidak pernah berhenti memberi pelajaran bagi manusia yang mau mendengar. Namun manusia sering kali buta oleh ambisi dan keangkuhan, mengejar hal-hal yang fana. Penyair ingin menegaskan bahwa manusia harus mampu menundukkan nafsu dan amarah agar hidupnya tidak berujung sia-sia. Selain itu, puisi ini juga menyampaikan pesan spiritual: bahwa kedamaian sejati hanya dapat ditemukan melalui perenungan dan kesadaran diri.
Imaji
Puisi ini sangat kuat dalam menciptakan imaji visual dan auditif.
- Imaji visual tampak jelas dalam larik “Aku melihat geraknya yang indah / pada keluasan langit biru” yang menggambarkan pemandangan alam yang luas dan menenangkan.
- Imaji auditif muncul pada larik “Aku mendengar desau rumputan / menari bersama hembusan angin pagi”, yang menghadirkan suara alam yang lembut dan alami.
Kedua imaji ini membangun suasana hening dan reflektif, memperkuat nuansa kontemplatif yang menjadi inti puisi.
Majas
Soni Farid Maulana menggunakan sejumlah majas yang memperkaya makna dan keindahan puisinya:
- Personifikasi, tampak pada larik “desau rumputan menari bersama hembusan angin pagi”, seolah rumput dapat menari dan berinteraksi dengan angin seperti manusia.
- Metafora, hadir dalam ungkapan “pertarungan hidup dan mati” dan “mengejar yang tak pernah terkejar”, yang melambangkan perjuangan dan ambisi manusia dalam kehidupan.
- Hiperbola, tersirat dalam “harga yang sia-sia / amarah dan nafsu yang dikekalkan”, menggambarkan kebiasaan manusia mempertahankan hal-hal yang sebenarnya tidak berharga.
- Simbolisme, melalui kata “hutan” yang menyimbolkan ruang batin manusia—penuh rahasia, pertarungan, dan keheningan spiritual.
Puisi “Hutan dalam Hutan” karya Soni Farid Maulana adalah sebuah refleksi filosofis tentang kehidupan manusia di tengah alam. Melalui tema renungan kehidupan dan kritik terhadap keserakahan, penyair mengajak pembaca untuk merenungi diri dan belajar dari alam yang selalu setia menjalankan keseimbangannya.
Puisi ini menghadirkan perpaduan antara imaji alam yang lembut dan pesan moral yang mendalam, menjadikannya bukan sekadar karya estetis, tetapi juga renungan spiritual. Dengan gaya bahasa yang penuh simbol dan makna, Soni Farid Maulana berhasil menegaskan bahwa di balik keheningan hutan, manusia dapat menemukan dirinya sendiri—dan mungkin, menemukan kembali kedamaian yang selama ini hilang karena “mengejar yang tak pernah terkejar.”
Puisi: Hutan dalam Hutan
Karya: Soni Farid Maulana
Biodata Soni Farid Maulana:
- Soni Farid Maulana lahir pada tanggal 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
- Soni Farid Maulana meninggal dunia pada tanggal 27 November 2022 (pada usia 60 tahun) di Ciamis, Jawa Barat.
