Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kemarau (Karya Suryani)

Puisi “Kemarau” karya Suryani mengingatkan pembaca untuk tetap tabah, menghargai alam, dan percaya pada siklus kebangkitan setelah kehancuran.

Kemarau

Kau datang dan pergi setiap tahun
Panasmu menyengat tubuh
Kau hancurkan
Bungaku yang sedang mekar

Kau biarkan
Semua binatang merintih
Seakan kau tak mau
Mendengar rintihan-rintihan mereka
Kuharap, kau mau mengerti

Aku ingin, melihat kembali
Bungaku bermekaran
Pengganti bungaku yang telah kau
Hancurkan

Sumber: Sinar Harapan (Th. XVI, 13 April 1977)

Analisis Puisi:

Puisi “Kemarau” karya Suryani merupakan karya yang menggambarkan pergumulan antara manusia dan alam, terutama bagaimana musim kemarau menghadirkan penderitaan, kehilangan, dan harapan. Dengan gaya bahasa sederhana namun menyentuh, penyair mengajak pembaca merenungkan bagaimana alam yang keras dapat memengaruhi kehidupan, sekaligus menyimpan pesan moral tentang kesabaran dan pengharapan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penderitaan dan harapan di tengah musim kemarau. Penyair menyoroti kekeringan dan kehancuran akibat panasnya kemarau, namun di balik itu tersimpan kerinduan akan kehidupan dan keindahan yang akan kembali datang. Puisi ini menampilkan konflik antara manusia dan alam, sekaligus pengharapan terhadap keseimbangan dan kesuburan yang hilang.

Puisi ini bercerita tentang datangnya musim kemarau yang membawa panas terik, kekeringan, dan kehancuran terhadap alam sekitar. Penyair menuturkan bagaimana bunga-bunga yang mekar menjadi layu, binatang merintih kehausan, dan manusia hanya bisa berharap agar kemarau “mengerti” penderitaan mereka.

Secara naratif, puisi ini memiliki alur emosional yang jelas:
  • Awal: Kemarau datang setiap tahun dengan panas menyengat.
  • Tengah: Alam menderita—bunga hancur, binatang merintih, dan kemarau terasa kejam.
  • Akhir: Muncul harapan dan doa agar bunga bisa kembali bermekaran, menggantikan yang telah hancur.
Dengan begitu, puisi ini menggambarkan siklus penderitaan dan harapan manusia di hadapan kekuasaan alam.

Makna Tersirat

Puisi ini tidak sekadar menggambarkan musim kemarau secara fisik, melainkan juga mengandung makna simbolik.
  • Musim kemarau sebagai lambang penderitaan dan ujian hidup. Panas yang menyengat dan bunga yang hancur melambangkan masa-masa sulit yang harus dihadapi manusia.
  • Bunga yang hancur sebagai simbol kehilangan dan harapan yang pupus. Bunga di sini bisa dimaknai sebagai harapan, cinta, atau kebahagiaan yang tidak mampu bertahan di tengah penderitaan.
  • Kerinduan untuk melihat bunga bermekaran kembali mencerminkan keinginan manusia untuk bangkit, memulihkan, dan berharap pada kehidupan yang lebih baik.
Makna tersirat dari puisi ini adalah pesan tentang ketabahan menghadapi masa sulit dan keyakinan bahwa setelah kemarau panjang, akan tiba saatnya kehidupan kembali mekar.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini melankolis, panas, dan penuh harapan.
  • Melankolis, karena penyair menggambarkan kehilangan dan penderitaan akibat kemarau.
  • Panas, karena seluruh imaji dan kata-kata menekankan sengatan, kekeringan, dan kehancuran.
  • Penuh harapan, karena di akhir, penyair masih menginginkan bunga bermekaran kembali, sebagai simbol kebangkitan dan kehidupan baru.
Suasana inilah yang membuat puisi terasa emosional namun tetap optimistis.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan moral dari puisi ini antara lain:
  • Hidup tidak selalu subur dan indah; ada masa-masa sulit yang harus dilalui seperti musim kemarau.
  • Manusia harus sabar menghadapi penderitaan dan tetap memiliki harapan akan datangnya kehidupan baru.
  • Kehancuran bukan akhir dari segalanya; setelah kemarau akan datang musim hujan yang membawa kehidupan.
Dengan demikian, puisi ini menyampaikan pesan tentang keteguhan, kesabaran, dan optimisme menghadapi kesulitan.

Imaji

Suryani menggunakan imaji visual dan auditif untuk menghidupkan suasana kemarau:
  • “Panasmu menyengat tubuh” → imaji rasa dan visual, pembaca dapat merasakan panas yang membakar.
  • “Kau hancurkan bungaku yang sedang mekar” → imaji visual, menggambarkan bunga layu dan kehidupan yang pudar.
  • “Semua binatang merintih” → imaji auditif, menghadirkan suara penderitaan dan kehausan.
  • “Aku ingin melihat kembali bungaku bermekaran” → imaji visual dan emosional, menggambarkan kerinduan akan keindahan dan kehidupan baru.
Imaji-imaji ini memperkuat suasana kering, panas, dan penuh kerinduan, menjadikan puisi terasa hidup di benak pembaca.

Majas

Beberapa majas (gaya bahasa) yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “Kau biarkan semua binatang merintih” dan “Kau hancurkan bungaku” menjadikan musim kemarau seolah makhluk hidup yang mampu bertindak dan merasa.
  • Metafora – “Bungaku yang sedang mekar” melambangkan harapan atau kebahagiaan yang hancur.
  • Repetisi – Pengulangan kata “kau” menegaskan kemarau sebagai sosok yang kuat dan berperan besar dalam penderitaan yang digambarkan.
  • Hiperbola – “Panasmu menyengat tubuh” memperkuat kesan ekstrem dari teriknya kemarau.
Penggunaan majas-majas ini membuat puisi terasa lebih ekspresif, emosional, dan dramatis.

Puisi “Kemarau” karya Suryani adalah refleksi sederhana namun mendalam tentang penderitaan dan harapan manusia di tengah kekuatan alam. Melalui simbol bunga, panas, dan binatang yang merintih, penyair mengungkapkan realitas kekeringan fisik sekaligus batin manusia saat menghadapi masa sulit.

Namun di balik itu semua, tersimpan pesan harapan dan optimisme: bahwa setelah kemarau yang panjang, akan datang musim hujan yang menghidupkan kembali bunga-bunga kehidupan. Puisi ini mengingatkan pembaca untuk tetap tabah, menghargai alam, dan percaya pada siklus kebangkitan setelah kehancuran.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Kemarau
Karya: Suryani
© Sepenuhnya. All rights reserved.