Ketenteraman Burung Manggung
ketenteraman burung manggung
yang saling bersahutan di malam buta
menyeruak suwung kampung. Orang-orang tertidur
tetapi burung-burung itu masih mengukur kesetiaan
saat tidurmu terpulaskan
aku yang terjaga segera memandang nyala lampu di lantai dua
ternyata ayah masih menambang bongkah cerita
ia jala selaksa kata di gelap malam saat dia menikam
benak cerdas bapak menyeruak
dan hanya suara burung manggung yang patuh menemani
sampai matahari mendaki dinding pagi.
Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)
Analisis Puisi:
Tema utama puisi ini adalah ketenangan dan keheningan malam yang menyimpan makna keintiman antara manusia dan kehidupan sederhana di kampung. Melalui burung manggung yang bersuara di malam hari, penyair menyoroti suasana tenteram sekaligus mengandung refleksi tentang kesetiaan, kerja keras, dan kasih sayang dalam keluarga.
Puisi ini bercerita tentang suasana malam di kampung, ketika orang-orang telah tertidur, tetapi penyair masih terjaga dan mendengarkan burung manggung yang bersahutan. Dalam keheningan itu, ia melihat lampu di lantai dua masih menyala — pertanda bahwa ayahnya belum tidur. Sang ayah sedang bekerja, “menambang bongkah cerita”, yakni menggali pikiran dan menulis di tengah malam.
Burung-burung manggung menjadi simbol ketenangan yang menemani sang ayah dalam kesunyian, menandakan bahwa di balik hening malam, masih ada kehidupan yang bergerak diam-diam — kehidupan yang penuh makna.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah penghargaan terhadap ketekunan dan keheningan yang produktif. Burung manggung melambangkan kedamaian, kesetiaan, dan ketenteraman hidup, sementara sosok ayah menggambarkan sosok pekerja keras dan bijaksana yang tetap berkarya meski orang lain terlelap. Melalui suasana sunyi malam, penyair seakan ingin mengatakan bahwa ketenangan sejati tidak selalu berarti berhenti, melainkan bisa menjadi ruang bagi penciptaan, pemikiran, dan kasih.
Puisi ini juga mengandung makna reflektif tentang hubungan antara anak dan ayah — bagaimana sang anak diam-diam mengamati dan mengagumi sosok ayah yang teguh, sabar, dan terus berjuang tanpa keluh.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah tenang, hening, dan kontemplatif. Kesunyian malam diwarnai oleh suara burung manggung yang berulang-ulang, menimbulkan kesan damai. Namun, di balik ketenangan itu, ada pula nuansa haru dan kagum dari sang anak yang menyaksikan dedikasi ayahnya di tengah sepi. Puisi ini menghadirkan perpaduan antara suasana batin yang teduh dan rasa hormat yang mendalam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa ketenangan bukan berarti diam, dan kesunyian bisa menjadi ruang berharga bagi kerja keras dan renungan.
Penyair juga menyiratkan nilai penghargaan terhadap sosok orang tua yang bekerja tanpa pamrih, serta pentingnya kesetiaan dan kesungguhan dalam menjalani kehidupan.
Lewat simbol burung manggung, puisi ini mengajak pembaca untuk melihat bahwa kebahagiaan dan ketenteraman sering hadir dalam hal-hal sederhana yang sering luput dari perhatian.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji pendengaran dan penglihatan:
- Imaji pendengaran: “burung-burung itu masih mengukur kesetiaan”, “saling bersahutan di malam buta” menggambarkan suara burung yang mengisi kesunyian malam.
- Imaji penglihatan: “nyala lampu di lantai dua” dan “matahari mendaki dinding pagi” menghadirkan visual lembut dari suasana malam menjelang pagi.
Imaji-imaji ini membantu pembaca merasakan kedamaian, kesepian, sekaligus kehangatan dari hubungan antara anak dan ayah di tengah kesunyian kampung.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi – “burung-burung itu masih mengukur kesetiaan”, memberi sifat manusia pada burung yang seakan sedang menilai dan setia.
- Metafora – “ayah masih menambang bongkah cerita”, menggambarkan aktivitas menulis atau berpikir mendalam sebagai proses menambang sesuatu yang berharga.
- Hiperbola – “menyeruak suwung kampung”, melebih-lebihkan suara burung yang seolah-olah menembus seluruh keheningan kampung.
- Simbolisme – burung manggung melambangkan ketenangan dan kesetiaan, sedangkan nyala lampu ayah melambangkan semangat dan ketekunan di tengah kegelapan.
Puisi “Ketenteraman Burung Manggung” karya Hillari Dita Regi menghadirkan potret malam yang hening namun sarat makna. Melalui simbol burung dan sosok ayah, penyair menekankan pentingnya ketenangan batin, kesetiaan, dan kerja keras dalam kehidupan.
Dalam kesunyian kampung, justru terdapat getar kehidupan yang lembut dan penuh kasih, menunjukkan bahwa keindahan sering tersembunyi dalam hal-hal kecil yang sederhana namun tulus.
