Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Masa Tua (Karya Mahdi Idris)

Puisi “Masa Tua” karya Mahdi Idris bercerita tentang seorang yang menua dan merasakan perubahan drastis dalam hidupnya. Malam-malam terasa sunyi, ...
Masa Tua

Malam-malam mulai sunyi
angin terasa ngilu menguliti tubuh
cahaya-cahaya tak lagi benderang,
jangkrik bernyanyi bisu.

Siang pun bagai malam larut
rebah dalam keterasingan,
langit kelam, buram cahaya matahari.

Lidah kelu, tak lagi berasa
tubuh terus mengeluh
mengadu perih tiada berujung,
menghampiri nafas terakhir.

Analisis Puisi:

Puisi “Masa Tua” karya Mahdi Idris adalah sebuah renungan lirih tentang perjalanan manusia menuju akhir hayat. Dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna, penyair menggambarkan masa senja kehidupan sebagai ruang sunyi di mana tubuh melemah, waktu terasa lambat, dan hidup perlahan mendekati batas terakhir.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketuaan dan kefanaan hidup manusia. Penyair menyoroti masa tua sebagai fase di mana seseorang mulai merasakan keterasingan, keheningan, serta penderitaan fisik dan batin. Dalam masa ini, segala hal yang dulu terang dan ramai perlahan memudar — cahaya, suara, bahkan rasa.

Tema ini juga menyinggung penerimaan terhadap kematian, sebab masa tua digambarkan sebagai jalan menuju “nafas terakhir” yang tak terhindarkan.

Puisi ini bercerita tentang seorang yang menua dan merasakan perubahan drastis dalam hidupnya. Malam-malam terasa sunyi, angin menjadi dingin dan menusuk, cahaya memudar, dan tubuh kian lemah. Ia menggambarkan kondisi batin seseorang yang berada di ambang akhir kehidupan, di mana dunia di sekelilingnya terasa semakin asing dan sepi.

Baris-baris seperti:

“Malam-malam mulai sunyi / angin terasa ngilu menguliti tubuh”

menunjukkan bahwa waktu tak lagi bersahabat — malam bukan sekadar gelap, tetapi membawa kesepian yang dalam.

Sementara bagian akhir:

“mengadu perih tiada berujung, / menghampiri nafas terakhir”

menegaskan perjalanan menuju kematian sebagai proses yang menyakitkan namun tak bisa dihindari.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah refleksi tentang kelemahan manusia di hadapan waktu dan kematian. Mahdi Idris seolah ingin menyampaikan bahwa sekuat apa pun manusia dalam masa mudanya, pada akhirnya akan tiba masa di mana semua energi, semangat, dan keindahan hidup memudar.

Ada pesan batin yang halus bahwa setiap manusia harus siap menghadapi perubahan tak terelakkan ini, menerima bahwa hidup memiliki ujung, dan bahwa kesunyian masa tua adalah bagian alami dari perjalanan kehidupan.

Selain itu, puisi ini juga bisa dimaknai sebagai kritik terhadap keterasingan manusia modern—ketika usia senja datang, seseorang merasa sepi bukan hanya karena tubuh renta, tapi karena dunia di sekelilingnya tak lagi hangat, tak lagi memeluknya seperti dulu.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang terasa dalam puisi ini adalah sunyi, kelam, dan melankolis. Dari awal hingga akhir, penyair membangun nuansa kesepian yang pekat: malam menjadi simbol kesunyian, angin menjadi lambang penderitaan, dan cahaya yang redup menggambarkan harapan yang mulai sirna.

Kata-kata seperti “ngilu”, “kelam”, “buram”, “mengeluh”, dan “mengadu perih” menegaskan suasana duka yang mendalam, membuat pembaca ikut merasakan keheningan masa tua yang menekan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah pentingnya menerima masa tua dengan ketenangan dan kesadaran. Penyair mengingatkan bahwa kehidupan tidak selamanya benderang dan penuh tenaga; akan tiba saatnya ketika semua melambat dan tubuh menua.

Pesan lain yang dapat ditangkap adalah agar manusia mengisi hidup dengan makna dan kebaikan sebelum waktu habis, sebab ketika masa tua datang, yang tersisa hanyalah kenangan dan penyesalan. Puisi ini juga mengajarkan kita untuk menghargai waktu muda dan tidak menunda-nunda hal baik, karena setiap manusia akan sampai pada fase “menghampiri nafas terakhir”.

Imaji

Puisi ini kuat dalam menghadirkan imaji penglihatan, perasaan, dan pendengaran.

Imaji penglihatan tampak pada:
  • “cahaya-cahaya tak lagi benderang” dan “langit kelam, buram cahaya matahari” — menggambarkan pandangan hidup yang memudar seiring usia.
Imaji perasaan muncul melalui:
  • “angin terasa ngilu menguliti tubuh” — menghadirkan sensasi dingin yang menusuk, lambang rasa sakit fisik dan batin.
Imaji pendengaran tampak dalam:
  • “jangkrik bernyanyi bisu” — paradoks yang menggambarkan keheningan mutlak; bahkan suara kehidupan pun terasa lenyap di telinga orang tua yang menua.
Semua imaji ini menyatu untuk memperkuat kesan sunyi dan keletihan hidup di ujung usia.

Majas

Mahdi Idris menggunakan beberapa majas untuk memperdalam suasana dan makna puisinya:
  • Personifikasi – “angin terasa ngilu menguliti tubuh” dan “jangkrik bernyanyi bisu” memberi sifat manusiawi pada benda mati, menciptakan kesan hidup namun menakutkan.
  • Metafora – “siang pun bagai malam larut” menjadi perbandingan metaforis antara hilangnya semangat hidup dengan gelapnya malam.
  • Hiperbola – “mengadu perih tiada berujung” memperkuat rasa penderitaan yang tak berakhir di masa tua.
Penggunaan majas-majas ini menjadikan puisi terasa lebih hidup dan emosional, meski dengan diksi yang ringkas.

Puisi “Masa Tua” karya Mahdi Idris merupakan cerminan perjalanan manusia menuju batas akhir kehidupan. Dalam kesunyian dan kelelahan, penyair menghadirkan gambaran yang jujur tentang usia senja: tubuh melemah, cahaya memudar, dan dunia perlahan menjauh.

Namun di balik kesedihan itu, terselip kesadaran mendalam bahwa masa tua adalah bagian alami dari kehidupan — sebuah pengingat agar kita menghargai waktu muda dan menyiapkan hati untuk menerima segala yang akan datang dengan lapang dada.

Mahdi Idris
Puisi: Masa Tua
Karya: Mahdi Idris
© Sepenuhnya. All rights reserved.