Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Membaca Bapak (Karya Hillari Dita Regi)

Puisi “Membaca Bapak” karya Hillari Dita Regi bercerita tentang seorang anak yang merenungkan perubahan pada ayahnya, yang kini mulai menua dan ...

Membaca Bapak

aku harus membaca bapak ketika rambatan usianya merangkak
pada kurus ringkih tubuhnya, lamban gerak dan keterbatasan
pendengarannya serta kembang-kempis iga dadanya
aku tak bisa menggantung pada punggungnya yang dulu aku
sering bertengger menuju penjual bubur di perempatan,
halaman taman kanak-kanak, berjejalan menyeruak tontonan
dugderan -- hingga berebut menonton sulapan

Membaca bapak, aku harus membaca diri
tak selamanya aku menggantung padanya
ketika bapak sudah mulai mengeluh rapuh

suatu siang, sejenak bapak kupandang: Seperti seekor burung
guratan wajahnya mendoakan aku terbang
memburu ladang kehidupan
mengais serpihan makanan yang ditaburkan dengan indah
oleh Tuhan.

Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)

Analisis Puisi:

Tema utama puisi ini adalah cinta, penghormatan, dan refleksi seorang anak terhadap sosok ayah yang menua. Hillari Dita Regi mengangkat hubungan emosional antara anak dan ayah, menggambarkan proses penerimaan terhadap perubahan waktu — ketika sosok kuat yang dulu menjadi sandaran kini mulai rapuh dan menua. Tema ini sarat dengan nilai kasih sayang, kedewasaan, dan kesadaran akan siklus kehidupan manusia.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang merenungkan perubahan pada ayahnya, yang kini mulai menua dan melemah. Penyair mengisahkan bagaimana ia dulu begitu bergantung pada sang ayah — duduk di punggungnya menuju penjual bubur, taman kanak-kanak, atau menonton pertunjukan rakyat seperti dugderan dan sulapan.

Kini, ketika usia sang ayah merangkak senja, tubuhnya kurus, langkahnya lamban, dan pendengarannya mulai terbatas, sang anak menyadari bahwa perannya telah bergeser: ia bukan lagi yang digendong, tetapi yang kini harus memahami dan menjaga.

Puisi ini juga menggambarkan momen kontemplatif ketika sang anak memandang ayahnya — wajah renta itu diibaratkan seperti burung yang berdoa agar anaknya bisa “terbang”, mengejar kehidupan, dan memetik rezeki yang disediakan Tuhan.

Kisah sederhana ini menjadi refleksi mendalam tentang perjalanan waktu, kasih sayang, dan pergantian peran dalam keluarga.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kesadaran akan perubahan dan penerimaan terhadap takdir kehidupan. Penyair menyiratkan bahwa waktu tidak hanya mengubah fisik manusia, tetapi juga hubungan antar generasi. Dulu seorang anak menggantungkan diri pada ayahnya; kini sang ayah yang membutuhkan perhatian, sementara anak harus belajar mandiri.

Selain itu, makna tersirat lainnya adalah doa dan restu orang tua sebagai sumber kekuatan anak. Ketika ayah digambarkan seperti burung yang mendoakan agar anaknya terbang mencari kehidupan, hal itu melambangkan cinta orang tua yang tulus — rela melepas demi kebahagiaan anak. Puisi ini pada dasarnya adalah meditasi lembut tentang cinta tanpa syarat, pengorbanan, dan perjalanan menjadi dewasa.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis, lembut, dan penuh perenungan. Nada puisinya tenang, tidak meledak-ledak, tetapi mengandung getaran emosional yang kuat. Ada kesedihan yang tidak diucapkan secara langsung, hanya ditunjukkan melalui detail-detail fisik sang ayah: tubuh yang ringkih, gerak yang lamban, dan napas yang tersengal. Namun di balik kesedihan itu juga tersimpan kehangatan — rasa syukur, cinta, dan penghargaan terhadap sosok ayah yang tetap menjadi cahaya kehidupan. Puisi ini menciptakan suasana hening yang mengharukan, seperti seseorang yang diam-diam menatap orang tua yang ia cintai dengan penuh hormat dan kasih.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama yang disampaikan penyair adalah pentingnya menghargai orang tua dan memahami bahwa waktu mengubah segalanya. Puisi ini mengingatkan pembaca untuk tidak hanya mengenang masa kecil ketika kita disayangi, tetapi juga siap menerima kenyataan bahwa orang tua akan menua dan rapuh — dan kini giliran anak untuk menjaga dan meneruskan kasih itu.

Amanat lainnya adalah pentingnya belajar mandiri dan melanjutkan perjuangan hidup dengan restu orang tua. Sang ayah dalam puisi menjadi simbol doa dan pengorbanan; melalui cinta dan ketulusannya, anak diarahkan untuk terbang ke kehidupan yang lebih luas, tanpa melupakan akar kasih yang telah membesarkannya.

Imaji

Puisi ini menonjolkan imaji visual dan perasaan (emosional) yang sangat kuat.

Imaji visual:
  • “rambatan usianya merangkak pada kurus ringkih tubuhnya” menggambarkan secara jelas sosok ayah yang menua.
  • “punggungnya yang dulu aku sering bertengger menuju penjual bubur di perempatan” memunculkan kenangan masa kecil yang hangat dan nyata.
  • “guratan wajahnya mendoakan aku terbang” menjadi gambaran lembut doa seorang ayah bagi anaknya.
Imaji emosional:
  • Ada rasa haru, kehilangan, dan rindu yang tidak diucapkan, tetapi terasa dari cara penyair memandang sosok ayah.
Imaji-imaji ini memperkuat keintiman dan kedalaman perasaan yang ingin disampaikan oleh penyair.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “guratan wajahnya mendoakan aku terbang” memberi sifat manusiawi pada wajah ayah, seolah-olah ia bisa berdoa.
  • Metafora – “Seperti seekor burung” menggambarkan ayah sebagai simbol kebebasan, kasih, dan doa yang mengantar anak pergi meraih kehidupan.
  • Hiperbola – “menambang bongkah cerita” (jika dibanding dengan karya penyair lain) seolah memperbesar aktivitas sederhana menjadi penuh makna batin.
  • Simbolisme – “terbang memburu ladang kehidupan” melambangkan anak yang tumbuh dewasa dan mencari jalan hidup sendiri, sedangkan “kembang-kempis iga dada” menjadi simbol perjuangan dan sisa tenaga seorang ayah yang bertahan menghadapi usia.
Puisi “Membaca Bapak” karya Hillari Dita Regi adalah karya yang menyentuh dan reflektif. Melalui bahasa yang sederhana tetapi puitis, penyair menghadirkan potret kasih sayang antara anak dan ayah yang bertransformasi oleh waktu. Ia menyoroti bagaimana cinta orang tua tidak pernah pudar, bahkan ketika tubuh melemah dan usia menua — justru dalam kerentaan itulah cinta menjadi paling tulus.

Dengan tema kasih, waktu, dan perenungan diri, puisi ini mengajarkan bahwa membaca bapak berarti juga membaca kehidupan, mengenali asal-usul kasih yang menumbuhkan, dan belajar menjadi manusia yang penuh hormat, syukur, dan kasih.

Hillari Dita Regi
Puisi: Membaca Bapak
Karya: Hillari Dita Regi
© Sepenuhnya. All rights reserved.