Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pancaroba (Karya Hartojo Andangdjaja)

Puisi “Pancaroba” karya Hartojo Andangdjaja menggambarkan kondisi manusia yang terbakar oleh berahi, hasrat, dan gejolak jiwa, namun pada akhirnya ...

Pancaroba


Jika begini selalu
hangus jiwaku dibakar nafsu!
hangus jiwaku dibakar nafsu!

Berahi!
hanya satu yang melintas di hati!
lagak di dalam mimpi,
yakin beta
ini rasa lekas fana
aku jera!
aku jera!

Engkau akan kutinggalkan
pergi menuju Dia,
apakah jua orang katakan,
aku takut pada dogma!
aku takut pada dogma!
Akan kulalui pancaroba ini
beta kembali
kembali bergantung pada taliNya
sebagai hamba pengabdi puja!
ini pertandingan penghabisan kali
masih jadi teka-teki
aku dan pancaroba
        mana yang jaya?
        mana yang jaya?

1947

Sumber: Kumpulan Puisi (2019)

Analisis Puisi:

Puisi “Pancaroba” mengangkat tema pertarungan batin manusia antara nafsu duniawi dan kesadaran spiritual. Hartojo Andangdjaja menggambarkan kondisi manusia yang terbakar oleh berahi, hasrat, dan gejolak jiwa, namun pada akhirnya menyadari kefanaan segala kenikmatan dan berusaha kembali kepada Tuhan.

Tema ini menggambarkan proses pembersihan batin, ketika seseorang berhadapan dengan masa transisi rohani — dari kehidupan yang dikuasai hawa nafsu menuju kehidupan yang lebih pasrah dan spiritual.

Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang tengah berjuang melawan nafsunya sendiri. Ia merasakan jiwanya “hangus dibakar nafsu”, menggambarkan penderitaan batin akibat hasrat duniawi yang menguasai diri.

Namun, di tengah kelelahan spiritual itu, muncul kesadaran baru. Ia menyadari bahwa “rasa lekas fana”, bahwa kepuasan duniawi hanyalah sementara. Dalam kebingungan dan rasa jera, ia mulai berpaling — “Engkau akan kutinggalkan, pergi menuju Dia” — menuju Tuhan sebagai bentuk penyerahan total.

Kata “pancaroba” dalam puisi ini bukan sekadar menunjuk pada perubahan musim, tetapi simbol dari pergolakan jiwa: masa peralihan antara gelap dan terang, antara manusia lama yang dikuasai nafsu dan manusia baru yang mencari ketenangan spiritual.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah perjalanan spiritual manusia menuju kesadaran Ilahi setelah melalui berbagai cobaan dan kesesatan batin. Pancaroba menggambarkan masa krisis eksistensial, ketika seseorang sadar bahwa hidup duniawi yang penuh gairah dan berahi tidak membawa ketenangan sejati.

Baris “aku takut pada dogma” juga menyiratkan kritik terhadap agama formal yang kehilangan makna spiritualnya. Penyair seolah mengatakan bahwa pencarian Tuhan bukan semata soal ritual atau aturan dogmatis, tetapi tentang hubungan batin yang murni dan jujur antara manusia dan Sang Pencipta.

Dengan demikian, puisi ini menyampaikan refleksi eksistensial dan spiritual yang dalam: manusia terus berjuang antara godaan duniawi dan keinginan untuk menemukan kebenaran sejati dalam dirinya.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini tegang, penuh gejolak, dan bermuatan spiritual yang kuat.

Pada bagian awal, suasananya panas dan gelisah — tergambar lewat repetisi “hangus jiwaku dibakar nafsu!”. Rasa frustrasi dan kelelahan spiritual terasa dalam seruan “aku jera!”.

Namun, memasuki bagian kedua, suasana mulai berubah menjadi lebih tenang dan reflektif, ketika penyair mulai berbicara tentang “pergi menuju Dia” dan “bergantung pada taliNya”.

Suasana ini kemudian diakhiri dengan nada kontemplatif dan ambigu, ketika sang penyair masih mempertanyakan “mana yang jaya?” antara dirinya dan pancaroba.

Suasana yang berubah-ubah ini menggambarkan pancaroba batin itu sendiri — masa transisi antara kegelapan dan pencerahan, antara pergulatan dan penyerahan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa manusia harus berani melawan nafsu dan gejolak duniawi agar dapat kembali kepada ketenangan spiritual dan kedekatan dengan Tuhan.

Hartojo Andangdjaja menyampaikan pesan bahwa perjalanan hidup penuh dengan pancaroba — masa-masa penuh cobaan dan pergulatan batin — namun justru di situlah seseorang diuji dan dibentuk.

Pada akhirnya, hanya dengan ketulusan, kesadaran diri, dan penyerahan kepada Tuhan, manusia dapat menemukan arti sejati dari keberadaannya.

Imaji

Puisi ini kuat dengan imaji panas dan spiritual. Misalnya:
  • “hangus jiwaku dibakar nafsu” menciptakan imaji api dan kobaran — menggambarkan penderitaan batin.
  • “lagak di dalam mimpi” menimbulkan imaji kabur antara realitas dan fantasi.
  • “bergantung pada taliNya” menimbulkan imaji pasrah, seolah seseorang bergelayut di ujung tali penyelamat ilahi.
Imaji ini membantu pembaca merasakan perjalanan emosional dan spiritual tokoh lirik, dari kehancuran menuju ketenangan.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “Hangus jiwaku dibakar nafsu” — menggambarkan penderitaan batin, bukan terbakar secara fisik. “Pancaroba” — digunakan sebagai simbol perubahan batin, bukan sekadar perubahan cuaca.
  • Repetisi: Pengulangan frasa “hangus jiwaku dibakar nafsu!” dan “aku jera!” menegaskan intensitas perasaan dan tekanan batin.
  • Personifikasi: “Engkau akan kutinggalkan, pergi menuju Dia” — memberikan kesan seolah nafsu atau dunia memiliki sosok pribadi yang bisa ditinggalkan.
  • Pertanyaan retoris: “Aku dan pancaroba, mana yang jaya?” — menimbulkan efek reflektif, mengajak pembaca merenung tentang kemenangan spiritual atau kekalahan moral.
Majas-majas ini memperkaya kedalaman makna puisi dan mempertegas konflik batin penyair.

Puisi “Pancaroba” karya Hartojo Andangdjaja adalah potret mendalam tentang krisis spiritual manusia modern. Dengan bahasa yang emosional dan simbolik, penyair menggambarkan perjuangan antara hasrat duniawi dan pencarian ketenangan ilahi.

Kata “pancaroba” menjadi metafora utama — bukan sekadar perubahan musim alam, melainkan perubahan batin manusia yang tengah berjuang mencari arah hidup dan makna eksistensi.

Lewat puisi ini, Hartojo menegaskan bahwa setiap manusia pada akhirnya akan berhadapan dengan dirinya sendiri — dan di tengah badai kehidupan, hanya tali Tuhanlah tempat bergantung terakhir yang benar-benar abadi.

Hartojo Andangdjaja
Puisi: Pancaroba
KaryaHartojo Andangdjaja

Biodata Hartojo Andangdjaja:
  • Hartojo Andangdjaja (Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya) lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
  • Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.